49. Ranti (3, 5 Tahun Lalu)

71 12 0
                                    

Suara alunan musik slow jazz terdengar dari speaker cafe Indigo, tempatku menunggu kedatangan Mami Brendan yang ngotot ingin bertemu dan bicara denganku. Seluruh nuansa cafe ini adalah warna biru. Mulai biru tua sampai biru muda menghiasi seluruh ruangan. Aku sampai merasa sedang berada di dalam kolam luas saat ini karena motif dinding dan langit-langit cafe yang dibuat dengan motif bergelombang berwarna gradasi biru laut ke biru muda.

Aku melirik jam tanganku yang jarum jamnya ternyata sudah menunjukkan tepat pukul satu siang. Mami Brendan masih belum terlihat memasuki cafe ini. Maka aku memilih menghabiskan waktu dengan membaca kabar terbaru dunia entertainment. Bukan karena aku ingin mengetahui berita gosip para artis, tapi lebih kepada ingin mengikuti info-info penting seperti trend yang ada di mereka karena itu menentukan pakaian seperti apa yang cocok dipakai untuk beberapa waktu syuting ke depannya.

Kemudian mataku tertuju pada sebuah artikel yang membuat pandanganku terpaku setelah membaca judulnya.

Sambil Tersenyum, Aktor Brendan Maulana Akui Jika Sudah Punya Kekasih.

Aku membaca artikel tersebut dengan jari-jari gemetar dan tenggorokan yang mendadak terasa kering. Tiap kalimat artikel tersebut membuat darahku berdesir. Aku merasa wajahku tidak dialiri darah lagi. Aku yakin sekali wajahku menjadi pucat saat ini.

Aku melihat tanggal penerbitan artikel fenomenal itu. Ternyata baru kemarin. Mungkin aku tidak sempat melihatnya karena hanya bisa fokus pada pengobatan Ibu yang membutuhkan perhatian lebih.

Aku menduga Mami Brendan ingin menemuiku hari ini karena artikel tentang Brendan, putra kesayangannya ini muncul dengan begitu fenomenal. Brendan sedang dalam situasi yang krusial bagi karirnya saat ini. Dan artikel seperti ini bisa jadi akan menurunkan pamor Brendan yang sudah diperjuangkan dengan susah payah.

Kemudian aku mendengar bunyi lonceng mungil yang menempel pada pintu cafe. Setiap pengunjung yang masuk dan keluar dari cafe Indigo akan terdeteksi dari bunyi lonceng mungil tersebut. Aku spontan menoleh untuk melihat siapa yang datang atau masuk.

Sesosok wanita paruh baya yang anggun dan elegan memasuki ruangan. Sosok wanita itu tinggi semampai dengan rambut panjang bergelombang yang dibiarkan tergerai. Wajahnya khas perpaduan kecantikan Indonesia-Perancis. Setelan blazer dan rok selutut warna krem muda membuatnya terlihat awet muda dan menawan. Wajahnya yang cantik dipoles dengan make-up bold yang mengingatkan aku pada sosok antagonis pada telenovela. Saat sudah dekat dengan posisi dimana aku duduk, tercium aroma parfum mahal yang mengusik hidungku.

"Saya tidak terlambat, kan?" ujar wanita cantik itu padaku.

"Tidak, Mami. Silahkan duduk." jawabku berusaha menyuguhkan senyum ramah dan percaya diri meski kepalaku terasa penuh dan hatiku masih was-was dengan kondisi Ibu.

Mami Brendan duduk dengan anggun di hadapanku. Ia meletakkan handbag putih gading mahalnya di atas meja. Tas yang harganya hanya bisa aku capai dengan menabung selama bertahun-tahun.

"Saya orang yang tidak suka berbasa-basi. Jadi saya akan langsung saja." ujar Mami Brendan sambil menyunggingkan senyum. Tapi meski bibirnya tersenyum, aku merasa sorot matanya sangat dingin menatapku.

"Apa benar Brendan punya pacar?"

Pertanyaan tanpa basa-basi itu seperti langsung menghujam ke jantungku. Meski aku sudah menduga Mami Brendan akan datang dan menanyakan hal tersebut, tetap saja rasanya dadaku sesak begitu mendengarnya. Aku berusaha keras menjaga agar ekspresi wajahku tetap tenang sebelum menjawab.

"Brendan hanya mengatakan bahwa dia memang punya seseorang yang ia sukai." jawabku akhirnya sambil memberanikan diri menatap Mami Brendan langsung.

"Dan kamu tidak melakukan apapun untuk mencegahnya?" tanya Mami Brendan dengan nada menuduh yang jelas terlihat.

"Saya percaya bahwa tidak ada seorang pun di dunia yang bisa mengontrol perasaan orang lain," tanggapku berani. "Tentu hal itu juga berlaku untuk saya. Saya tidak bisa mencegah perasaan Brendan."

Raut wajah Mami Brendan berubah kesal. Senyuman telah hilang dari wajahnya. Kini ia mulai gusar dan kehilangan kontrol dirinya.

"Tidak peduli siapapun gadis yang Brendan sukai, seharusnya kamu katakan pada Brendan untuk membuang perasaannya itu demi karirnya!" protes Mami Brendan dengan dahi berkerut dan membuat kedua alisnya yang digambar sempurna seperti saling bertaut.

"Mohon maaf sebelumnya, Mami. Tapi saya tidak bisa." jawabku teguh pendirian.

"Buat apa seorang manajer jika tidak bisa mencegah hal seperti ini terjadi?!! Karir Brendan akan hancur!" ujar Mami Brendan dengan nada yang tajam penuh kemarahan. "Dulu saya percaya rekomendasi agensi tentang kamu. Mereka bilang kamu sangat bisa diandalkan. Kamu bisa membuat Brendan menjadi aktor papan atas. Tapi rupanya harapan saya itu hanya harapan  palsu! Kamu sama sekali tidak layak disebut sebagai seorang manajer!"

Luapan kemarahan Mami Brendan yang berisi kalimat merendahkan itu berusaha aku redam dengan sabar dan mencoba berpikir dari sisi Mami Brendan. Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Mami Brendan jika beliau sampai semarah ini. Meski kalimat merendahkan dari beliau tadi masih belum bisa aku terima.

"Saya bersedia mengundurkan diri jika Mami menginginkan hal itu. Tapi ijinkan saya untuk menjelaskan semua duduk perkaranya pada Brendan agar ia tidak gegabah." ujarku akhirnya setelah setengah mati menahan luapan kemarahanku.

"Baik. Kamu bisa menjelaskan pada Brendan dan jangan bawa nama saya dalam hal ini! Saya tidak ingin memiliki hubungan yang buruk dengan anak saya sendiri." tanggap Mami Brendan masih dengan raut wajah kesal namun sudah berkurang tingkat marahnya.

"Terima kasih," sahutku jelas. "Hari ini juga saya akan bicara pada Brendan. Dan hari ini juga saya akan mengurus semua artikel yang muncul agar tidak menimbulkan masalah ke depannya bagi Brendan."

Mami Brendan menatapku dalam diam. Kemudian berkata sambil memegang handbagnya tanda ia sudah tidak betah di cafe ini.

"Lakukan segera. Semoga saya tidak pernah berurusan dengan kamu lagi!"

Selepas mengatakan kalimat itu, Mami Brendan beranjak dari duduknya dan pergi keluar dari cafe.

Sepeninggal Mami Brendan, aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan mencoba berpikir agar aku bisa mengambil keputusan yang benar.

Aku sudah menduga reaksi Mami Brendan akan sebegini dahsyat. Beliau pasti tidak ingin karir putra kesayangannya hancur atau berhenti karena hal seperti ini. Tapi saat aku memikirkan bagaimana reaksi Brendan saat mengetahui bahwa aku mengundurkan diri dari menjadi manajernya, rasanya dadaku sesak dan nyeri.

Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, aku menghubungi Brendan. Dengan tangan masih sedikit gemetar aku mencari nama Brendan di ponsel, lalu menghubunginya.

Setelah dering ke-3 aku mendengar suara riang Brendan di seberang telepon. Tapi aku hanya bisa menanggapi dengan datar dan berkata singkat,

"Brendan, we need to talk... "

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang