102. Devon (Saat Ini)

73 16 4
                                    

Sebenarnya aku sangat ingin memeluk dan menciumnya. Itu benar. Naluriku sebagai laki-laki normal mendorong diriku untuk melakukannya.

Siapa yang bisa menahan rasa bahagia yang begitu membuncah sampai rasanya dada terasa sesak?

Apalagi aku sudah lama memendam dan menahan perasaanku padanya sejak beberapa bulan lalu. Kini begitu dia menyatakan bahwa dia punya rasa yang sama padaku, rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili rasa bahagiaku.
Satu-satunya yang menahanku untuk tidak melakukan hal terlarang itu adalah karena Allah masih mengijinkan aku untuk mempertahankan kewarasanku. Akalku menyadarkan aku bahwa Boss pernah sangat takut padaku saat aku tiba-tiba ingin menyentuh wajahnya. Kalau aku saat ini membiarkan nafsu menguasai dan aku sampai benar-benar memeluk dan menciumnya, mungkin dia akan pergi dariku selamanya bahkan mungkin tidak ingin bertemu denganku lagi seumur hidupnya.

Ranti Candradewi.

Siapa yang pernah menyangka hatiku malah memilih dia. Wanita mandiri seperti Joan D'Arc yang berani dan cerdas. Wanita yang biasanya selalu penuh digdaya itu beberapa saat lalu berdiri gugup di hadapanku. Wajahnya merah merona karena malu. Bahkan ia sampai beberapa kali menyebut nama lengkapku yang menandakan bahwa ia sebenarnya sudah mencapai batas maksimum pengendalian dirinya atas diriku. Dia kuwalahan menghadapi keusilanku dan bagiku itu terlihat sangat manis.

Aku suka melihatnya seperti ini. Ia terlihat polos dan menggemaskan. Cara bicaranya yang biasanya tegas kini menjadi terbata-bata dan penuh pertimbangan. Beberapa kali ia seperti kehilangan kata-kata dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Boss yang seperti ini membuatku semakin terpesona.

Meski mungkin sangat sulit baginya untuk mengakui perasaannya padaku, bahkan mungkin itu melukai harga dirinya, Boss tetap melakukannya. Bagiku, pengorbanan Boss kali ini sangat luar biasa. Dia tinggalkan semua egonya dan kini berani menghadapi perasaannya.

Pasti berat dan sulit baginya.

"Boss..."

"Ya?"

"Apa aku masih boleh menerima tawaran film romantis?" tanyaku penasaran.

"Lho kenapa nggak boleh?" tanggap Boss bingung.

"Ya kan sekarang aku calon suamimu. Siapa tau Boss sekarang lebih suka aku main film action brutal atau film horor yang tanpa ada adegan romantis apa pun. Sebagai calon suami yang baik, aku-... Aduh! Aduh! Ampun! Iya iya. Aku diem," ujarku sambil meringis menahan sakitnya tinju Boss mengenai lenganku.

"Calon suami apaan?!" gumam Boss kesal.

"Lah kan betul? Boss bilang nggak mau menganggap aku pacar, tapi lebih serius dari itu. Berarti Boss menganggap aku calon suami, kan?" ujarku membela diri sambil nyengir usil.

"Kamu boleh usil begini kalau nggak ada siapapun di sekitarmu, oke? Jangan sampai istilah calon suami itu terdengar oleh yang lainnya," tanggap Boss lugas.

"Boss nggak mau orang lain tau kalau aku sudah jadi punyamu?" tanyaku sambil menggigit bibir bawah menahan senyum usil.

Boss kembali meninju pundakku dengan kesal.

"Kamu bukan punya siapa-siapa! Kamu bebas menerima skenario yang kamu suka. Aku nggak akan mencampuri keputusanmu," ujar Boss yakin.

"Waaah... Boss bikin aku kecewa," sahutku.

"Kenapa?!"

"Yah... aku pikir Boss bakal bilang, 'mulai sekarang kamu jangan coba-coba menerima tawaran main film romantis. Hanya aku yang boleh berlaku romantis ke kamu'. Waaaah... rasanya aku bakal melayang ke langit kalau sampai Boss bilang begitu. Well... tapi ternyata enggak,"

"Aku nggak mau membatasi kamu," tanggap Boss singkat.

Aku tersenyum mendengarnya. Meski Boss tidak mempermasalahkan hal itu, sebenarnya aku ingin ia menunjukkan sedikit rasa cemburu karena itu berarti bukti bahwa dia benar-benar suka padaku.

"Serius nih? Aku masih boleh peluk-peluk cewek lawan mainku untuk adegan film?" tanyaku lagi mencoba membuat Boss bereaksi cemburu.

Tapi Boss ternyata sangat santai. Kini ia menatapku dengan sorot mata acuh tak acuh.

"Ya kan itu resiko pekerjaanmu. Aku sudah bilang kan? Aku nggak akan membatasimu," jelas Boss santai. Tidak ada nada keraguan saat mengatakannya.

Aku nyengir saat mendengarnya. Sebenarnya aku bertanya hal itu karena seminggu lagi aku akan mulai shooting film baru dan ini film komedi romantis yang cukup klise tentang dua orang sahabat sedari kecil yang akhirnya saling jatuh cinta. Memang adegan romantisnya sebatas memeluk saja karena aku sendiri tidak pernah menerima tawaran skenario film dimana aku harus mencium lawan mainku. Aku merasa aneh mencium orang lain dimana aku tidak punya perasaan istimewa padanya. Maka kalaupun adegan itu ada, aku selalu mengatakan pada sutradara untuk menghilangkannya atau membuat seolah aku melakukannya padahal tidak. Pengambilan gambar dari angle yang pas bisa menyamarkannya.

"Calon istriku ternyata berhati baja... ADUH!" gumamku pelan lalu kaget karena Boss ternyata mendengarnya dan meninju lenganku lagi. Dia tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebenarnya aku juga sama sekali tidak merasa sakit, tapi aku sengaja menggodanya seolah tinjunya menyakitiku.

Boss melirikku dengan sorot mata kesal. Tapi pipinya merona karena malu.

Wahhh... Manis sekali. Pikirku.

Tak seberapa lama, kami pun sampai di rumah Boss yang lampu teras dan rumah utamanya masih menyala. Menandakan penghuninya masih belum tidur.

Boss membuka sabuk pengaman dan berpamitan padaku.

"Thanks sudah nganter aku. See you tomorrow, okay?"

"Oke." jawabku singkat.

Boss membuka pintu mobil dan ketika melihat Boss akan turun tiba-tiba aku merasa tidak rela berpisah. Maka belum sempat aku menyadari apa yang aku lakukan, tanganku sudah meraih tali tas Boss dan hal itu membuat Boss terkejut dan menoleh padaku.

"A-... ada apa lagi?" tanya Boss gugup. Sorot matanya memandangku dengan tegang.

Aku tersenyum lalu melepaskan tali tas Boss.

"Enggak apa-apa. Aku cuma ingin mengajak Boss sarapan bareng besok pagi sebelum berangkat ke agensi," ujarku akhirnya berusaha terdengar santai agar Boss tidak takut padaku.

"Oh, oke. Aku akan datang lebih pagi kalau begitu," tanggap Boss sambil tersenyum canggung.

"Tolong bikinin aku telur dadar eksotis, ya?" pintaku sambil berusaha menahan senyum.

"Eksotis? Gosong, maksudmu?" timpal Boss sambil nyengir.

Aku mendengus tertawa. Boss juga ikut tersenyum mendengar kalimatnya sendiri.

"Apapun deh. Asalkan nggak beracun," ujarku akhirnya.

"Sayangnya semua masakanku berpotensi mengandung racun. Jadi siap-siap aja, ya?" ujar Boss mulai santai kembali. Ia lalu melompat turun dari mobilku. Setelah menutup pintu mobil, ia melambaikan tangannya padaku dengan canggung. Pipinya yang terkena cahaya lampu jalan kembali merona.

Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan senyum karena gemas sekali melihat tingkah Boss yang bagiku sangat manis.

Waaaahh... kalau pipinya terus merona seperti itu saat bersamaku, bisa berbahaya bagi kesehatan jantungku. Karena setiap melihat Boss yang malu-malu, jantungku berdebar kencang sampai dadaku terasa sesak.

Well... well... Devon Regner, kuatkan dirimu. ujarku pada diri sendiri.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang