63. Ranti (1,3 Tahun Lalu)

69 17 0
                                    

Bau wangi pengharum mobil beraroma bunga lembut memanjakan penciumanku. Hawa sejuk pendingin mobil samar-samar menyentuh kulit wajahku. Pagi ini cuaca cerah dan jalanan nampak ramai lancar lalu-lintasnya seperti biasa. Beberapa orang nampak bersepeda dengan tertib. Senang rasanya saat ada yang memahami cara bersepeda yang benar di jalan raya. Karena sering kali banyak yang abai tentang aturan tersebut dan bersepeda sampai berjejer memenuhi jalan sehingga membuat macet. Ada juga bapak-bapak paruh baya yang bersepeda motor sambil mengangkut dagangan kerupuknya yang menjulang tinggi. Sampai sekarang aku belum mengetahui bagaimana cara bapak-bapak itu menyeimbangkan diri berkendara agar ia dan dagangan kerupuknya aman sampai tujuan.

Devon sedang menyetir dengan tenang di sampingku. Jika saja aku tidak ingat sikapnya yang seenaknya sendiri, aku sudah terpesona pada penampilannya hari ini. Kemeja putih yang dipadukan dengan vest rajut warna senada dan celana jeans warna biru yang cutting-nya pas sekali dengan kaki jenjangnya membuat penampilan Devon seperti bercahaya. Rambut hitam lurusnya ditata rapi dan beberapa poni dibiarkan jatuh ke pelipisnya. Ujung garis matanya yang agak naik membuat Devon terkesan dingin, meski ketika Devon tersenyum, garis matanya melengkung dan membuat kesan dinginnya hilang seketika berganti dengan kesan menggemaskan. Mata biru gelapnya yang membius sedang serius melihat ke arah jalan. Kulitnya yang putih bersih membuat Devon terlihat bersinar. Jari-jari panjangnya mencengkeram setir mobil dengan santai. Melihatnya seperti ini seperti sedang melihat syuting iklan mobil.

"Kenapa? Saya kelihatan lebih tampan ya hari ini?" celetuk Devon menyadarkanku dari sibuknya benakku mengamati penampilan Devon.

"Well... Kamu memang nggak pernah jelek." tanggapku berusaha santai lalu kembali melihat ke arah jalan. Aku melirik pada Devon untuk melihat reaksinya.

Devon tersenyum.

"Meski begitu, kamu harus tetap menyamar saat sampai di Rumah Sakit," tambahku buru-buru. "Jangan sampai kehadiranmu membuat kekacauan di sana."

"Saya bawa topi baseball. Aman." jawab Devon yakin.

"Hei hei... Itu nggak cukup, Dev." protesku. "Kamu itu terlalu... Apa ya namanya...,"

Aku berpikir menemukan kata yang pas. "Mencolok! Ya. Itu dia. Kamu terlalu mencolok. Aura di sekelilingmu itu seperti berpendar gitu lho. Nggak cukup cuma pakai topi baseball saja."

Devon tersenyum lebar sampai kedua matanya membentuk garis lengkung. Sepertinya dia menganggap aku memujinya.

"Nggak usah senyum begitu. Aku nggak memuji. Hanya mengungkapkan fakta." timpalku cuek.

Devon masih tersenyum dan tidak menanggapi kalimatku. Sikap tenangnya ini justru membuatku kikuk rasanya. Aku merasa lebih baik Devon membalas dengan kalimat-kalimat usil atau narsisnya daripada menanggapiku dengan senyuman dan sikapnya yang tenang begini. Apalagi Devon tidak menghidupkan radio di mobilnya. Sehingga aku tidak bisa mengalihkan perhatianku atau membicarakan hal-hal yang ada di radio. Rasanya sangat canggung berada bersamanya pagi ini.

"Ibuk tahu saya ikut datang?" tanya Devon memecah keheningan.

"Tidak." jawabku singkat.

"Kenapa Boss tidak memberitahu Ibuk?"

"Tidak ada alasan khusus," timpalku santai.

"Seharusnya Boss bilang bahwa anak laki-lakinya ikut datang menjemput." celetuk Devon tiba-tiba. Aku menangkap seringai usil di wajahnya. Hatiku langsung merasa lega. Devon sudah kembali usil. Lebih baik dia usil begini.

"Aku tidak punya adik bandel sepertimu." tanggapku datar.

"Adik?" sahut Devon.

"Iya. Kan kamu barusan bilang anak laki-lakinya Ibuk. Berarti kan adikku," timpalku santai. "Ingat, ya? Aku hampir sepuluh tahun lebih dulu lahir ke dunia ini. Saat aku sudah hapal perkalian, kamu baru saja lahir."

Reading RainbowWhere stories live. Discover now