98. Devon (Saat Ini)

66 11 4
                                    

Aku menatap wajah lelah Boss dengan penuh penyesalan. Wajah yang biasanya selalu terlihat bersemangat itu kini terlihat kuyu dan sedikit pucat. Matanya terpejam dan beberapa butir keringat terlihat muncul di dahinya.

Dokter baru saja pulang untuk memeriksa kondisi Boss. Sesaat setelah Boss pingsan, aku baru menyadari bahwa tubuh Boss sangat panas. Segusar apa sebenarnya Boss sampai tidak sadar bahwa dirinya sedang demam tinggi. Dokter mengatakan Boss hanya kelelahan dan sedang mengalami stress. Ia hanya perlu banyak istirahat, mengkonsumsi vitamin, dan harus mengurangi stressnya.

Meski aku lega Boss tidak sakit parah, aku jadi menyesal melihat kondisinya saat ini. Stress yang ia rasakan sepertinya berasal dari ulahku yang sembrono. Aku harus segera merubah sikapku kalau masih ingin Boss berada dekat denganku.

Tapi tunggu...

Apa Boss masih mau menjadi manajerku setelah aku tidak hanya menyatakan perasaanku tetapi juga melamarnya?

Aku mendengus keras menyesali kelakuanku sendiri. Tapi aku juga sudah tidak bisa menyembunyikan perasaan sukaku pada Boss. Aku tidak bisa jauh darinya. Aku ingin selalu bersamanya.

"Devon..."

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku.

Tisya sudah berdiri di dekat pintu kamar. Aku tadi menelponnya supaya ia segera datang menjaga Boss. Tisya rupanya juga sama sekali tidak menduga Boss akan pingsan. Setelah aku mengangguk tanda mempersilahkan ia masuk, Tisya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan berdiri di samping Boss yang sedang terbaring di atas tempat tidurku untuk melihat keadaan Boss.

"Apa Ranti baik-baik aja?" tanya Tisya cemas.

Aku mengangguk. "Iya. Dokter bilang hanya kelelahan dan stress,"

Tisya mendengus pelan.

"Kamu sumber stress-nya. Kamu tau itu, kan?" ujar Tisya tanpa basa-basi.

Aku menghela napas berat lalu mengatakan pada Tisya apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku sepertinya memang sumber stress-nya. Tadi aku menyatakan perasaanku dan melamarnya. Setelah itu, Boss mendadak pingsan,"

Tisya mendelik dan menutup mulutnya yang menganga karena kaget mendengar ceritaku.

"Kamu...melamar Ranti?!" tanya Tisya setengah berbisik.

Aku mengangguk.

"Woooow...", ujar Tisya spontan. Mulutnya melongo lebar. Matanya mendelik tidak percaya. "Devon Regner, aku nggak nyangka kamu bakal seagresif ini,"

"I'm not being aggressive-..."

Alis Tisya langsung terangkat sebelah setelah mendengarku mencoba menyangkal.

"Well... Maybe,..."

Tisya kini nyengir tanda tidak percaya kata-kataku.

"Okay. Tapi aku sudah nggak tahan terus-menerus menyembunyikan perasaanku. Di lain pihak aku selalu was-was karena Brendan masih mengejar Boss dan... selain itu juga aku merasa... Oom Marlon juga sepertinya tertarik pada Boss..."

"APA?!! Pak Direktur?!!" pekik Tisya kaget.

Aku mengangguk. "Iya, itu benar. Oom Marlon bilang sendiri saat aku ketemu dengan dia,"

"Beliau bilang gimana? Tunggu. Tapi kan beliau nggak pernah ketemu Ranti?!" tanya Tisya heran setengah mati.

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Secara langsung mungkin memang belum pernah. Tapi Oom Marlon yang awalnya mengagumi kemampuan Boss akhirnya jadi selalu mengikuti kabar tentang Boss. Makanya saat ada ribut-ribut antara aku dan Brendan, Oom Marlon langsung panggil aku untuk ketemu. Beliau langsung menanyakan apa hubungan yang aku miliki dengan Boss," jelasku panjang lebar.

Tisya melongo. Nampak sekali ia tidak menduga bahwa Oom Marlon, Boss Besarnya, ternyata selama ini adalah salah satu orang yang juga menaruh hati pada Boss.

"Eh... tapi...," celetuk Tisya setelah tersadar dari kekagetannya. "Pak Direktur bisa juga hanya mengagumi Ranti. Selama ini Ranti belum pernah cerita tentang Pak Direktur. Aku yakin beliau hanya mengagumi Ranti. Bukan naksir,"

Aku hanya mendengus mendengar analisa Tisya. Memang sih, Oom Marlon nggak pernah bilang jelas perasaannya. Tapi beliau Oom-oom kaya raya yang masih single. Penampilan beliau yang selalu parlente jelas menarik perhatian kaum hawa. Mungkin termasuk Boss jika ia punya kesempatan bertemu langsung dengan Oom Marlon.

Ah, memikirkan hal itu aku jadi kesal sendiri.

"Sya, aku keluar dulu. Tolong temani Boss ya? Kalau nanti sudah siuman, tolong tenangkan dulu perasaannya, aku yakin Boss tidak mau ketemu aku dulu. Jadi aku tunggu di luar aja," ujarku akhirnya.

"Iya. Nanti aku akan ngobrol sama Ranti saat dia sudah siuman," ujar Tisya menenangkan.

Aku beranjak dari kursiku ketika Tisya bertanya hal yang membuatku terdiam lama dan rasanya tidak sanggup menjawab.

"Dev, kalau setelah ini Ranti benar-benar nggak mau menjadi manajermu lagi bahkan nggak mau ketemu kamu lagi, apa yang bakal kamu lakuin?"

"Aku... "

Kalimatku menggantung di udara. Aku tidak bisa meneruskan kalimatku sendiri. Hatiku tiba-tiba terasa perih. Bayangan harus menjalani hari-hari tanpa Boss seperti saat Boss pergi menemani Brendan berobat ke Singapura membuat semangatku turun drastis.

Semoga saat Boss siuman, yang ada dalam hatinya adalah perasaan lega. Bukan perasaan was-was atau takut bertemu denganku.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang