6. Devon (2 Tahun Lalu)

100 15 0
                                    

Today is the day.

Manajer baruku akan datang ke rumahku setelah aku iseng memaksanya untuk datang menemuiku jika dia benar-benar ingin menjadi manajerku. Aku penasaran setengah mati pada sosoknya. Ranti Candradewi, yang katanya Joan d'Arc di dunia manajer artis. Aku benar-benar penasaran setangguh apakah dia sampai dijuluki sebagai Joan d'Arc.

Saat memikirkan hal ini, tiba-tiba Bik Nah, asisten rumah tangga yang sudah kuanggap sebagai nenek sendiri, lewat di depanku sambil membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi yang mengepul asapnya. Kopi itu pasti untukku. Tapi Bik Nah tidak tahu aku saat ini sedang tidak di dalam kamar, melainkan di taman belakang.

"Bik Nah!" panggilku sambil bergegas menghampiri beliau. "Bik Nah yang cantik!"

Bik Nah menoleh ke arahku lalu tersenyum. Senyum yang selalu mampu menenangkan perasaanku saat aku dalam kondisi bad mood. Beliau berdiri menungguku mendekat ke arahnya.

"Itu kopi untuk saya, kan?" tanyaku saat sudah dekat ke arah Bik Nah.

"Iya. Bik Nah bikinkan sesuai pesanan. Kopi istimewa racikan Bik Nah sendiri." sahut Bik Nah berpromosi. Raut wajah ramahnya yang kocak membuatku spontan tersenyum.

"Terima kasih, Bik Nah. Bik Nah cantik, deh. Jauh lebih cantik daripada Meriam Bellina." godaku usil sengaja memplesetkan cara baca nama artis legendaris Indonesia itu sambil mengambil cangkir kopi dari nampan.

"Meriam? Dasar bocah bandel!" tukas Bik Nah pura-pura marah sambil mengangkat nampannya seperti hendak memukulku.

Aku langsung berkelit sambil terkekeh geli. Kehidupanku yang membosankan membuat aku sangat sering iseng pada Bik Nah yang sama sekali tidak pernah marah saat kuisengi. Mungkin setelah bertahun-tahun bersamaku dan merawatku sejak kecil, Bik Nah menganggap aku sudah seperti cucunya sendiri.

"Bik Nah, ngomong-ngomong hari ini manajer baru saya mau datang ke sini jam sembilan." ujarku sambil meletakkan secangkir kopiku di meja dekat pintu kaca yang memisahkan rumah utama dengan taman belakang.

"Alhamdulillah! Mas Devon sudah dapat manajer baru?" seru Bik Nah bersemangat. Binar antusias tergambar jelas di wajahnya yang bulat.

"Iya. Namanya Ranti. Tante-tante gitu deh." jelasku sekenanya.

"Wah... Bik Nah senang sekali. Akhirnya Mas Devon dapat pengganti Non Rizka." sahut Bik Nah terlihat lega.

"Kenapa? Bik Nah nggak suka ya sama Rizka?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Bukan begitu. Mas Devon kalau nggak segera dapat manajer baru, nanti Bik Nah yang terus diisengi." jelas Bik Nah lugas. Meski Bik Nah tidak pernah mengatakannya, sebenarnya aku tahu bahwa Bik Nah tidak menyukai manajerku yang terakhir, Rizka. Bik Nah selalu memasang wajah datar saat bersama Rizka. Padahal biasanya beliau selalu ramah.

"Tenang, Bik. Kata banyak orang, manajer baru saya ini orangnya tangguh seperti pendekar padepokan silat. Bukan seperti Rizka yang jago dandan tapi kerjanya berantakan." tanggapku santai.

Sebenarnya aku tidak tega memberhentikan Rizka beberapa waktu lalu. Karenanya aku sengaja berulah supaya Rizka mengajukan berhenti dari pekerjaannya sebagai manajerku dengan sendirinya. Aku sengaja membuatnya pusing tujuh keliling dengan membuatnya berkali-kali mengganti konsep penampilanku untuk sebuah acara amal para selebriti. Pada akhir acara, Rizka akhirnya menyerah menjadi manajerku.

"Namanya Non Ranti, ya? Bik Nah akan bersiap-siap menyambut di dekat pintu depan sambil bersih-bersih nanti menjelang jam sembilan." ujar Bik Nah bersemangat.

"Iya. Nanti tolong Bik Nah antarkan tante Ranti ke taman belakang, ya Bik? Saya mau kasih makan koi." pesanku sambil membawa secangkir kopiku menuju taman belakang.

"Gombal. Masa ngasih makan ikan koi kok dandannya keren begitu," cibir Bik Nah menggodaku. "Wangi lagi."

Aku memang sengaja tampil keren supaya Tante Ranti terpesona padaku dan akan memenuhi semua tuntutan pekerjaan dariku. Bahkan aku menyemprotkan lebih banyak parfum supaya wangiku terasa seperti malaikat Subuh.

"Sudah, sekarang sudah mau jam sembilan, lho." ujarku sambil melihat ke arah jam dinding berbentuk lingkaran dari kaca bening di tembok dekatku.

"Astaghfirullah... Cepat sekali. Sudah ya, Mas. Bibi mau ke depan dulu." pamit Bik Nah lalu bergegas menuju ruang tamu.

Aku kembali menuju taman belakang sambil membawa secangkir kopi panasku yang harum. Bau tanah basah sisa hujan kemarin malam masih terasa. Di taman belakang, aku langsung menuju tangga bambu untuk mulai memberi makan ikan-ikan koiku sembari menunggu kopiku agak sedikit dingin.

Aku meletakkan secangkir kopiku di gazebo mungil ala Jepang yang lengkap dengan meja minum tehnya. Lalu aku mengambil kaleng tempat makanan koi yang aku simpan selalu di laci meja berbentuk kotak kecil di gazebo.

Langkah kakiku rupanya sudah dihapal oleh ikan-ikan koi gembulku yang sehat dan berwarna cerah. Mereka langsung bergerombol di dekat jembatan bambu tempatku selalu memberi mereka makan. Sebentar saja, mereka sudah membuka mulut mereka lebar-lebar sambil berdesakan dan menggeliat antusias menanti makanan kulemparkan ke arah mereka.

Lalu aku mendengar suara bel pintu depan. Kalau aku tidak salah menduga, rupanya manajer baruku sudah datang. Aku melirik jam tangan Rolexku. Tepat jam sembilan.

Wow... Ternyata manajer baruku sangat tepat waktu. That's nice.

Tiba-tiba mataku menangkap sekelebat makhluk gembul berlompatan di dekat kakiku. Aku nyengir mengingat bahwa aku sudah berniat mengerjai manajer baruku itu sejak awal ketemu.

Aku mendengar samar suara Bik Nah sedang bercakap. Mungkin sedang berbicara pada manajer baruku. Aku segera memasang pose membelakangi pintu kaca agar manajer baruku nanti hanya melihat punggungku. Bukan langsung melihat wajahku.

Suara Bik Nah dan manajer baruku semakin terdengar. Aku langsung bersiap menyambut manajer baruku itu secara dramatis.

Setelah Bik Nah pamit ke dapur, aku memasang telingaku baik-baik agar mendengar langkah kaki manajer baru ittu mendekat ke arahku.

"Permisi, Devon."

Wow. Nada suara yang acuh tak acuh. Rupanya wanita yang satu ini belum mendengar reputasiku yang bisa membuat wanita jatuh hati hanya dalam tiga detik pertama. Baiklah, aku akan menaklukkanmu, wahai Joan d'Arc.

"Devon!" panggil manajer baruku sekali lagi dengan suara lebih lantang.

Aku sengaja mengatur wajahku dengan senyuman tipis dan tatapan mata membius yang katanya mampu merontokkan hati wanita berikut dengan semua kewarasan dan harga dirinya, lalu berbalik secara dramatis menghadap si Joan d'Arc.

Kini aku melihat sosok manajer baruku secara langsung. Dia berdiri di depanku dengan percaya diri. Ujung jilbabnya melambai tertiup angin sepoi. Anehnya begitu melihat sosoknya memandangku lurus, seketika itu juga untuk pertama kalinya, aku kehilangan fokus dan segala ide ketengilanku tiba-tiba minggat entah kemana.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang