59. Ranti (1,5 Tahun Lalu)

58 16 0
                                    

Menatap punggung Devon yang pergi menuju tempat Oom Baron, anehnya membuatku merasa ingin menyusulnya daripada harus tetap di sini bersama Brendan. Mungkin selain karena aku merasa masih canggung berada bersama Brendan, sebagai manajer Devon, aku merasa wajib mengetahui segala hal tentang apa yang Devon kerjakan dalam pekerjaannya. Aku ingin membantu Devon semaksimal yang aku bisa. Apalagi setelah enam bulan memanajeri Devon, aku merasa Devon sebenarnya selalu bikin ulah karena ia merasa kesepian dan berita yang beredar tentang Devon kebanyakan berita yang dipelintir sedemikian rupa oleh awak media sehingga Devon selain dipuji, ia juga sangat sering digosipkan dan dihujat. Salah satu faktor yang menyebabkan film-film Devon selalu sukses adalah karena Devon ternyata sangat hati-hati dalam memilih proyek film tetapi sayangnya sering disalahartikan sebagai sikap sombong atau jual mahal. Devon juga ternyata sangat sering mendapatkan telepon atau pesan dari banyak gadis di sekitarnya yang kebanyakan adalah kaum selebriti atau model. Tetapi selama aku bersamanya, dia hanya mau menerima telpon dari Gita yang bertanggungjawab mengatur proyek iklan Devon di agensi, lalu dari Tisya karena ia MUA pribadinya, dari Bik Nah, dan tentu saja dariku. Jadi sebenarnya rumor tentang kedekatannya dengan banyak gadis ternyata hanyalah berita hoax karangan awak media infotainment demi menaikkan rating. Jadi praktis sebenarnya Devon hanya sering berinteraksi dekat dengan orang yang sangat terbatas. Yaitu Bik Nah, Pak Misbah, Tisya, dan aku sendiri. Aku merasa Devon sebenarnya adalah pemuda yang sangat kesepian.

"Kak Ranti sudah makan?" tanya Brendan tiba-tiba.

"Ha? Oh, sudah." jawabku cepat- langsung tersadar dari sibuknya benakku memikirkan Devon.

Brendan tersenyum. Lalu aku baru melihat ternyata Brendan membawa dua bungkus makanan yang aku bisa tahu isinya adalah burger dengan melihat desain dan logo kertas pembungkusnya.

"Kamu...belum makan?" tanyaku ragu.

Brendan tersenyum dan mengangguk. "Aku tadi sibuk menghapalkan dialogku. Nggak terasa ternyata sudah saatnya pindah lokasi."

Aku terdiam. Jika Brendan memang tidak punya manajer seperti kata Oom Baron, itu berarti dia selalu sendirian mengurus dirinya dan bisa jadi tidak ada yang mengingatkannya untuk makan siang. Keputusannya bekerja tanpa manajer sebenarnya kurang bijaksana jika mengingat kini ia semakin sibuk dibandingkan dulu saat masih bersamaku.

"Makan sianglah dulu," ujarku akhirnya.

Brendan menatapku sejenak. Lalu ia berjalan mendekat dan menyodorkan salah satu burgernya padaku.

"Kak Ranti makan sama aku, ya?" ujar Brendan sambil tersenyum.

Aku menatap Brendan dengan ragu. Sejujurnya aku masih kenyang, tetapi saat melihat ekspresi Brendan, aku jadi merasa iba padanya. Brendan pasti kuwalahan bekerja sendirian. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, akhirnya aku memutuskan untuk menerima burger Brendan.

"Kamu harus cepat menghabiskan burgermu. Sebentar lagi syuting dimulai," ujarku sambil celingukan mencari tempat untuk duduk.

"Kita duduk di sana aja yuk, Kak!" sahut Brendan sambil menunjuk ke arah dua buah batu besar yang ada di bawah pohon.

Aku mengangguk dan berjalan mendahului Brendan menuju ke sana. Aku mempercepat langkahku agar tidak ada waktu dimana aku berjalan beriringan dengan Brendan.

Begitu sampai di dua batu besar, aku langsung duduk dan meletakkan ranselku di atas salah satu batu. Brendan datang dan duduk di batu besar di sisi lainnya. Ia langsung membuka bungkus burgernya dan makan dengan lahap. Melihatnya makan dengan semangat, aku jadi semakin iba. Apalagi aku melihat beberapa butir keringat di ujung dahi Brendan. Ia pasti sudah berusaha dengan keras selama ini.

Reading RainbowOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz