4. Devon (2 Tahun Lalu)

131 18 0
                                    

Aku tersenyum sendiri mendengar suara tegas calon manajer baruku di kejauhan saat menerima telpon dari Tisya. Nampaknya ia wanita tangguh. Ini adalah permainan sekaligus tantangan bagiku untuk melihat seberapa tahan dia dalam menghadapiku.

Setelah Tisya memutus pembicaraan sehabis mengatakan bahwa calon manajer baruku itu akan datang menemuiku besok, aku merasa sangat bersemangat untuk mengerjai calon manajerku itu.

Aku sudah terbiasa dikenal sebagai pembuat ulah di kalangan selebriti. Aku bahkan menduga bahwa lebih dari lima puluh persen followers-ku di Instagram sebenarnya bukan fans-ku. Tapi haters-ku.

But, who cares!

Aku tidak peduli hal itu. Semakin mereka membully-ku, semakin banyak perhatian yang tersedot padaku. Dan itu artinya uang dalam rekeningku akan semakin melimpah. Hal itu karena semakin banyak sponsor yang menginginkan aku sebagai bintang iklan mereka begitu melihat banyaknya perhatian yang tertuju padaku.

Alasanku berbuat ulah sebenarnya karena aku sangat kesepian. Kedua orangtuaku tinggal di Tegernsee, Jerman sejak aku menginjak bangku SMA. Aku tetap tinggal di sini karena masih terikat kontrak kerja. Siapa sangka ternyata semakin bertambah usiaku, semakin banyak pekerjaan datang sehingga aku tidak jadi menyusul orangtuaku untuk tinggal bersama mereka. Apalagi mereka berdua tahu sekali bahwa aku memang mencintai dunia akting sejak kecil. Cita-citaku adalah menjadi aktor yang terkenal tidak hanya di Indonesia, tapi dunia. Maka mereka mendukungku untuk tetap tinggal di Indonesia membangun karir di dunia akting. Meski mungkin berat meninggalkan anak lelaki satu-satunya jauh dari mereka.

Kesibukanku bekerja membuat aku tidak punya teman akrab saat SMA. Apalagi aku harus sering absen karena semua pekerjaan itu. Aku juga tidak mengenyam bangku kuliah karena kesibukanku itu. Praktis aku menjadi tidak punya teman. Aku berpikir hal itu tidak masalah sampai pada akhirnya aku sadar bahwa ternyata hingar-bingar dunia selebriti sama sekali tidak membuatku merasa punya teman. Yang benar-benar teman sejati. Yang mau mendengarkanku saat aku sedang mempunyai masalah, yang menemaniku saat aku sedang terpuruk, yang menyemangatiku saat aku kehilangan motivasi, yang menegurku saat aku melakukan kesalahan. Orang-orang di dekatku hanya ada karena hubungan kerja. Mereka terpaksa tahan menghadapiku karena aku membayar mereka lebih banyak daripada selebriti lain. Senyum mereka padaku palsu. Pujian mereka padaku palsu. Perhatian mereka padaku juga palsu. Mereka melakukan semuanya hanya karena satu hal.

Uang.

Semua manajerku tidak pernah bertahan lebih dari enam bulan. Setelah dirasa cukup mendapat gaji tinggi dariku, mereka semuanya mengundurkan diri. Mereka tidak peduli padaku. Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri. Asalkan aku membayar mereka dengan uang melimpah, mereka akan berusaha bertahan. Tapi setelah dirasa cukup mengumpulkan pundi-pundi uang dariku, mereka semua berhenti bekerja padaku. Dengan predikat sebagai mantan manajer Devon Regner, mereka pasti mendapat pamor yang lebih bergengsi setelah resign dariku.

Dasar manusia-manusia licik!

Aku berinisiatif menelpon agensiku untuk bertanya siapa nama calon manajer baruku sekaligus untuk mencari informasi orang seperti apakah dia. Ini penting agar aku bisa melancarkan misiku untuk menantang dirinya dalam menghadapiku.

Nada tunggu dua kali terdengar sebelum suara cempreng mbak Gita terdengar. Mbak Gita adalah wakil dari agensi yang khusus mengurus semua urusan kontrak kerjaku dengan pihak lain.

"Ya, Devon sayang! Ada apa menelponku? Apa kamu berbuat konyol lagi?" cerocosnya nyaring.

"Nope," sahutku cepat. Dalam hati aku merasa geli mendengar kalimat mbak Gita. Aku yakin sekali ia sudah sering kubuat jengkel dengan berbagai ulahku. "Saya dengar dari Tisya bahwa saya sudah mendapatkan manajer baru. Apa mbak Gita sudah tahu siapa orangnya?"

"Tentu saja, Devon sayang. Mbak Gita-mu ini selalu cepat mendapatkan informasi." jawab mbak Gita centil.

"Jadi? Siapa dia?" tanyaku tidak menggubris kecentilan mbak Gita.

"Oh... well well well... kali ini kamu benar-benar mendapatkan yang terbaik. Aku tidak menyangka Tisya akan menawarkan pekerjaan ini padanya dan dia mau menerimanya. Sepertinya dia lagi tidak terikat kontrak kerja sebagai manajer artis lain. Dia terkenal sebagai Joan d'Arc di kalangan manajer artis." celoteh mbak Gita antusias.

"Joan d'Arc?" tanggapku skeptis.

"Ya! Dia manajer senior yang terkenal tegas dan berani. Dia banyak membantu para artis pendatang baru berurusan dengan pihak lain agar tidak ditipu saat penandatanganan kontrak. Benar-benar wanita tangguh. Manajer yang melegenda!" lanjut mbak Gita semakin semangat.

"Oh ya?" tanggapku tidak percaya.

"Of course! Aku yakin dia akan bertahan lama menjadi manajermu." timpal mbak Gita yakin.

Aku terkekeh. Lucu sekali. Tahan lama menjadi manajerku? Well... rasanya tidak mungkin. Baiklah... ternyata manajerku kali ini adalah seorang tante-tante senior yang tangguh.

"Oke. Kamu boleh tertawa sekarang. Tapi dengar ya? Dia adalah mantan manajer dari Brendan Maulana. Sainganmu itu." lanjut mbak Gita merasa menang.

Aku terdiam. Ah, kenapa harus nama itu lagi. Brendan yang selalu mengintai kepopuleranku dengan berbagai cara. Aktor muda yang selalu disandingkan denganku sebagai perbandingan. Tentu saja publik lebih mencintainya karena image 'artis baik-baik' yang ia bawa. Meski para sutradara masih tetap lebih memilihku daripada dia karena kemampuan aktingku memang lebih baik. Dan hal itu diakui para kritikus film.

Kini, di saat aku paling malas berurusan dengannya, malah muncul kabar bahwa manajer baruku adalah mantan manajer Brendan. Takdir kadang memang penuh kejutan. Tapi jika memang benar ia adalah mantan manajer Brendan, berarti kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Brendan saat ini menjadi salah satu selebriti muda paling sukses selain diriku, tentu saja.

"Dia yang mengantarkan Brendan untuk bisa sukses seperti sekarang?" tanyaku penasaran.

"Benar sekali!" sahut mbak Gita tanpa ragu. "Dia yang mendidik dan membimbing Brendan mulai awal karirnya hingga sukses. Bahkan nggak hanya Brendan, lho. Jemima Nabilla, Rangga Syakieb, dan Aluna Velicia juga pernah dia bimbing. Kamu tahu sendiri kan ketiga nama itu juga tenar sama sepertimu."

"Oke, oke. Cukup," tanggapku acuh berusaha tidak terkesan dengan prestasi calon manajerku itu. "Siapa namanya?"

Mbak Gita dengan semangat menyebutkan nama calon managerku.

"Ranti. Ranti Candradewi."

Dan entah mengapa, mendengar nama itu disebut, aku merasakan darahku berdesir.

Reading RainbowWo Geschichten leben. Entdecke jetzt