92. Devon (4 Bulan Lalu)

45 15 3
                                    

"Hey, so how is it going? Did they catch our bait?" tanya Julia sambil meminum es degannya dengan santai. Rupanya ia penasaran apakah akting kami berhasil membuat heboh dunia infotainment Indonesia. Julia paling suka membuat kehebohan semacam ini. Karenanya ia dengan senang hati membantuku. Rambut pirang panjangnya ia biarkan tergerai dan ia tidak melepas kacamata hitamnya yang besar.

"They did. They swallowed it perfectly," jawabku.

"Yes!" serunya senang. Julia setuju membantuku membuat heboh agar aku bisa kembali ke Indonesia dengan kehebohan yang tidak biasa. Semua ini agar Boss terpancing untuk segera menangani semua keributan yang tercipta dan terpaksa harus berkomunikasi denganku lagi. Sebagai gantinya, aku harus membiayai semua biaya perjalanan dan liburan Julia selama di Bali.

Melihat kehebohan semua acara infotainment yang memberitakan kami berdua bertubi-tubi, sepertinya akting kami berdua sangat meyakinkan.

"Did your manager call?" tanya Julia sambil membuka kacamata hitamnya lalu bersandar pada kursi rotan yang ia duduki.

"Not yet," jawabku. "But I think she will never call."

"Don't tell me she's going to handle it alone," sahut Julia sambil membelalakkan mata hazelnya penuh antusiasme.

Aku tertawa. "She will."

Julia bertepuk tangan spontan.

"Wow! She's one of a kind! Now I know why you're so crazy about her," celoteh Julia penuh semangat.

Aku tersenyum mendengarnya.

Apakah aku memang terlihat tergila-gila pada Boss?
Julia pasti mengatakannya karena dia belum pernah melihatku begitu berusaha mendapatkan hati seorang wanita. Karena biasanya wanita lah yang berusaha mendekatiku. Bukan sebaliknya.

Ponselku menyala.

"Is it your manager?" tanya Julia antusias.

Aku melirik layar ponselku dan melihat nama 'Mbak Gita' terpampang.

"No. But I have to take this call," jawabku sambil beranjak menuju ke dalam kamar.

"Halo, mbak Gita."

"Suaramu cukup santai untuk seorang yang sedang bikin heboh seluruh negri," sindir mbak Gita dengan nada kesal.

Aku meringis.

"Ranti baru saja selesai menemuiku dan kini ia sedang menyiapkan sebuah wawancara singkat untuk klarifikasi. Kamu tau kan apa yang akan terjadi kalau Ranti menghadapinya sendirian?" cerocos mbak Gita tanpa memberiku kesempatan bertanya bagaimana kabarnya.

"Boss akan mengadakan wawancara kapan dan dimana?" tanyaku cepat.

"Devon sayang, kamu sengaja membuat Ranti kerepotan, ya?" sahut mbak Gita tanpa menjawab pertanyaanku.

"Mungkin,"

Mbak Gita mendengus kesal setelah mendengar jawabanku.

"Kamu tau kan kalau Ranti sudah tiga kali mengajukan pengunduran dirinya selama kamu pergi?" tanya mbak Gita lagi. "Kalau setelah ini ia mengajukan pengunduran dirinya lagi, aku tidak akan menahannya pergi."

"Saya tau. Tapi Oom tidak akan membiarkan Boss pergi," sahutku yakin.

Mbak Gita mendengus lagi.

"Kamu sudah bilang apa ke Pak Direktur sampai-sampai beliau turun tangan langsung sampai tiga kali untuk mencegah Ranti resign?"

Aku menghela napas berat.

"Beberapa hal penting. Yang jelas, Oom sudah tau apa akibatnya kalau membiarkan Boss resign,"

"Devon sayang, kesabaran Ranti ada batasnya. Kamu membuatnya menunggu hampir delapan minggu tanpa kabar. Sekarang tiba-tiba kamu muncul dengan kehebohan ini. Apa kamu tidak kelewatan?" protes mbak Gita.

"Saya memang sudah melewati batas. Makanya saya akan bertanggungjawab," ujarku yakin. "Kapan dan dimana Boss akan wawancara klarifikasi?"

"Dua hari lagi. Jam sembilan malam di hotel Grand Casa Nueva. Setelah peluncuran perdana mobil SUV yang iklannya kamu bintangi," jawab mbak Gita terdengar pasrah.

"Oke. Terima kasih, mbak," sahutku sambil mengingat informasi yang mbak Gita berikan.

"Devon sayang..."

"Ya?"

"Tidak bisakah kamu membiarkan Ranti sedikit santai? Dia memang manajermu, tapi dia juga temanku. Sejak kepergianmu ke Jerman yang tanpa pamit itu, Ranti terus menyalahkan dirinya,"

Apa?

Boss menyalahkan dirinya?

Bukannya malah marah padaku?

"Devon sayang, kalau kamu memang masih menyukai Ranti, segera temui dia. Oke?" sambung mbak Gita lagi dengan nada lelah.

Setelah itu mbak Gita mengakhiri pembicaraan tanpa menungguku menyahut. Rupanya ia sendiri sudah merasa lelah mengikuti segala macam tingkah polahku.

Jika mbak Gita merasa begitu lelah, lalu bagaimana dengan Boss?

Aku bergegas menelpon resepsionis hotel dan meminta mereka mencarikan tiket pesawat untuk malam ini juga. Setelah beberapa menit menunggu, mereka mendapatkan tiket penerbangan untukku 4 jam lagi.

Maka aku bergegas menuju teras kamar untuk menemui Julia yang masih bersantai menikmati suara deburan ombak yang bisa terdengar jelas dari teras kamar hotel ini.

"Julia, I have to catch a flight this evening. And that means I have to leave you alone here. Is it okay?" tanyaku tanpa basa-basi begitu sampai di teras.

Julia menoleh lalu memandangku dengan antusias.

"Are you going to meet your manager?" tanyanya penasaran.

Aku mengangguk.

"Yes! How wonderful!," seru Julia sambil bangkit berdiri lalu meninju pundakku dengan ceria. "Now you go get her and never let her go again, okay?"

Aku mengangguk.

"Thanks for everything. And enjoy your holiday."

Julia tersenyum senang.

"I am happy for you, Dev. And... I will use your credit card WISELY." ujar Julia menekankan suaranya pada kata 'wisely' yang berarti aku harus siap dengan tagihan menggunung.

Aku tertawa. Julia memang sepupuku yang paling ugal-ugalan tapi sebenarnya ia berhati baik.

"And I will give it back to you. So don't worry." sambung Julia lalu menuju kursi rotannya lagi sambil menari-nari berputar dan melambai-lambaikan rok pantai panjangnya dengan riang.

Aku menghela napas panjang dan berjalan menuju kamarku untuk berkemas.

Ya. Liburanku sudah selesai.

Kini sudah saatnya aku kembali.

Reading RainbowМесто, где живут истории. Откройте их для себя