27. Ranti (2 Tahun Lalu)

92 16 0
                                    

     Dapur rumah Devon sangat bersih dan moderen. Semua furnitur dipelitur warna maple coklat tua berpadu dengan warna putih dan kilau stainless steel pada beberapa bagian. Ada aroma wangi vanilli yang menyegarkan di dapur. Semua peralatan dapur tersimpan dengan rapi dan bersih di dalam lemari.

     Aku membuka lemari untuk mengeluarkan gelas, sendok, dan teko. Dalam hati aku memuji kebersihan dapur ini. Benar-benar bersih sekelas hotel bintang 5.

    Aku tersenyum sendiri mengingat ekspresi wajah Devon yang malu luar biasa saat aku iseng mengajaknya makan bareng. Aku pura-pura tidak paham bahwa sebenarnya ia malu. Aku berkata dengan santai wajahnya merah karena demam. Ternyata Devon punya sisi imut juga di balik tingkahnya yang menyebalkan.

    Setelah selesai membuatkan minuman jeruk nipis hangat dan madu, aku kembali ke kamar Devon sambil membawa nampan yang di atasnya ada piring, lauk, segelas air putih, dan segelas jeruk nipis hangat plus madu milik Devon.

     Devon tadinya berbaring. Namun saat melihatku datang, ia berusaha bangkit duduk. Wajahnya masih agak pucat tapi sudah tidak murung. Ia membiarkanku meletakkan nampan di meja samping tempat tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Lalu aku mengambilkan Devon segelas jeruk nipis hangat dan aku sodorkan padanya.

     "Kamu suka ayam saus inggris, kan?" tanyaku sambil menyiapkan sepiring nasi selama Devon meminum jeruk nipisnya sedikit demi sedikit.

     "Ya." jawab Devon singkat.

     "Syukurlah. Karena hanya ada lauk itu," tanggapku sambil menyendokkan beberapa potong ayam ke dalam piring. "Makanlah yang banyak supaya lekas sembuh."

     Devon hanya menatapku tapi tidak berkomentar apa-apa. Aku menyodorkan sepiring nasi dengan lauk ayam saus inggris padanya yang ia terima setelah meletakkan gelas yang dipegangnya di meja. Devon terlihat bimbang saat akan menyuapkan makanan ke mulutnya.

     "Kenapa?" tanyaku.

     Devon tidak menjawab. Lalu melihatku dengan sorot mata ingin menanyakan sesuatu tapi diurungkannya.

     "Katanya kamu suka ayam saus inggris. Kok nggak dimakan?" ujarku keheranan.

    Seperti anak kecil yang sedang sakit, Devon kembali melihat ke piringnya lalu perlahan menyendok nasi dan lauk. Akhirnya ia menyuapkan ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan perlahan.

     "Kamu makan pelan banget," gumamku lirih yang ditanggapi Devon dengan lirikan sekilas. "Baru kali ini aku melihat pemuda dewasa makannya sepelan ini."

     Devon diam tidak menanggapi gumamanku. Dia masih mengunyah pelan-pelan seolah tidak mendengar apa yang aku katakan.

     "Atau... kamu mau aku suapi?" tanyaku mulai usil.

     Devon langsung tersedak dan batuk-batuk. Ia buru-buru meraih segelas air di meja yang seharusnya itu adalah air minumku lalu meminumnya. Aku setengah mati berusaha menahan senyum melihat kecanggungan sikap Devon. Ternyata ia semudah ini bisa diisengi. Benar-benar masih polos seperti anak-anak.

      "Boss sengaja mau membunuh saya, ya?" tanya Devon ketus lalu batuk-batuk lagi.

     "Nggak lah. Nanti siapa yang bayar gajiku?"

     Devon melihatku dengan tatapan mata yang aku artikan sebagai kekecewaan. Lalu ia kembali menatap piringnya dan kembali makan. Selama beberapa saat, ternyata Devon sama sekali tidak berusaha memulai percakapan. Setelah beberapa kali suapan, aku melihat ada beberapa butir keringat muncul di pangkal dahinya. Hal ini menunjukkan bahwa tubuhnya mulai menjalankan tugasnya bermetabolisme setelah ada makanan masuk untuk dicerna.

Reading RainbowDove le storie prendono vita. Scoprilo ora