44. Devon (2 Tahun Lalu)

87 15 0
                                    

     Aku duduk di kursi mobil sambil menunggu Boss yang jalan tergopoh-gopoh sambil membawa dua pakaian yang harus aku pakai nanti. Boss terlihat jauh lebih baik saat aku ijinkan istirahat sehari. Wajahnya lebih segar dan nampak antusias. Berarti keputusanku sangat tepat untuk memintanya libur.

     "Oke. Sepertinya semuanya sudah," ujar Boss sambil meletakkan semua pakaian-pakaian yang dibungkus pelindung dari plastik di bagian belakang mobil. "Kamu mau aku duduk dimana kali ini?"

     Boss menatapku dengan ekspresi yang bersemangat. Kata orang, semangat dan antusiasme itu menular ke orang lain. Tapi semenjak aku mengetahui bahwa Boss dulu pernah hampir menikah dengan Brendan Maulana, entah mengapa aku jadi tidak tertular sedikitpun semangat dan antusiasmenya.

     "Di depan aja." jawabku datar.

     "Oke." sahut Boss lalu membuka pintu depan dan melompat naik.

     "Assalamu'alaikum, Pak!" sapa Boss pada Pak Misbah.

     "Wa'alaikumussalam, Non," jawab Pak Misbah ramah. "Hari ini kita mau kemana dulu?"

     "Ke studionya oom Johan. Yang di jalan Doktor Sutomo itu, pak."

     "Ooo. Ya ya. Bapak tahu tempatnya."

     "Siiip, deh. Kalau sama Pak Misbah, nggak perlu akses google map."

     "Mbah Misbah lebih tahu tentang jalanan daripada mbah Google." gurau Pak Misbah.

     Boss terkekeh geli. Tawanya terdengar ringan dan menyenangkan. Siapa sangka bahwa Boss belum terlalu lama pernah tidak jadi menikah? Satu-satunya bekas yang masih terlihat adalah sikapnya yang cenderung dingin pada laki-laki, kecuali yang sudah tidak muda lagi seperti Pak Misbah. Meski Boss cukup sering tersenyum padaku, aku sering merasakan bahwa ia masih menjaga jarak denganku. Aku mulai menyadari hal itu saat pertama kali aku memaksakan kehendakku untuk mengantar Boss ke Rumah Sakit menemui ibunya. Nampak sekali Boss merasa tidak nyaman aku berada di sana dan berusaha untuk mengusirku pergi segera. Bahkan Boss juga terang-terangan tidak menyukai ide ibunya yang mengijinkan aku untuk datang sewaktu-waktu menjenguk ke Rumah Sakit.

     Setelah mendengar cerita dari mbak Febby, sedikit banyak aku mulai memahami dan memaklumi mengapa Boss begitu menahan diri saat bersamaku dan berusaha keras agar hubungan kami hanya sebatas profesionalisme dalam pekerjaan. Aku pernah hendak membantunya membawa tas perlengkapan syutingku yang cukup berat. Tapi Boss langsung menolaknya dengan tegas.

     "Sudah, biar aku yang membawanya. It's my job. And it's not that heavy." ujar Boss sambil langsung menjinjing tas perlengkapan syuting tanpa menoleh ke arahku lagi. Saat itu aku merasa tidak berguna.

     Aku mendengus keras karena gusar. Boss langsung menoleh ke arahku.

     "Ada apa, Dev?" tanya Boss penasaran.

     Aku mendengus lagi tapi kali ini jauh lebih pelan.

     "Kamu capek?" tanya Boss lagi.

     Aku memilih untuk diam tidak menjawab.

     "Kalau kamu memang capek, aku akan bilang ke Oom Johan supaya mengusahakan agar pemotretannya tidak terlalu lama." ujar Boss lagi.

     Aku menatap Boss sejenak, kemudian melihat ke arah jalan. Sebenarnya aku memalingkan wajahku bukan karena aku membenci atau kesal pada Boss. Melainkan karena aku kuatir pipiku akan merona lagi karena terpesona pada wajah manis Boss.

     "Moodmu sedang jelek ternyata," ujar Boss akhirnya setelah melihat reaksiku. "Nanti aku belikan es krim, deh."

     Aku menghela napas sambil menutup mataku. Lalu berkata lirih dengan nada ogah-ogahan, "Saya bukan anak kecil."

Reading RainbowWhere stories live. Discover now