9. Ranti (2 Tahun Lalu)

97 17 0
                                    

     Tisya datang tepat waktu lalu langsung mulai bekerja mendandani Devon agar siap untuk menuju studio Excelcio. Untuk artis sekelas Devon, penampilan harus benar-benar diperhatikan. Karena apa yang Devon kenakan biasanya akan menjadi trend di kalangan anak-anak muda. Karenanya, selain dari film, pundi-pundi kekayaan Devon juga berasal dari berbagai macam produk yang ia promosikan. Baik secara terang-terangan di publik saat ia tampil di televisi atau film, maupun yang Devon kenakan sehari-hari.

     Aku lega Devon nampak menurut saja didandani oleh Tisya. Aku kuatir dia akan berulah, tapi ternyata tidak. Karenanya aku memutuskan untuk menuju ruang tamu agar aku bisa menelpon ibuku.

     Dering ke-3 kudengar. Lalu aku mendengar suara lembut ibuku.

     "Halo, assalamu'alaykum."

     "Wa'alaykumussalam," jawabku sambil tersenyum. Suara menenangkan ibuku selalu bisa membuat hatiku tenang. Suara beliau kali ini lebih tegas. Rupanya kondisi ibu sedang bagus dan aku lega sekali mendengarnya. "Ibu sudah makan?"

     "Ini suster baru mengantarkan makan tambahan," jawab ibuku riang. "Kamu juga sudah sarapan?"

     "Alhamdulillah, sudah. Ranti harus bekerja mengurus Devon, Buk. Jadi harus makan banyak." ujarku sambil tertawa ringan.

     Ibuku ikut tertawa. "Betul itu. Kamu sudah sering menghadapi artis-artis muda. Kali ini juga jangan kalah dari mereka, ya?"

    Aku tersenyum. Ibuku paling tahu bahwa setiap aku mengurus artis muda, aku pasti lebih sibuk. Tentu saja reputasi Devon yang 'luar biasa' rupanya juga sudah Ibuk ketahui. Karenanya beliau menyemangatiku.

     "Iya, buk." tanggapku bersemangat.

     "Boss."

     Aku menoleh ke arah suara dan mendapati Devon sudah berdiri di dekatku. Melihat Devon, dalam hati aku mengakui bahwa Tisya memang sangat berbakat memancarkan semua aura aristokrat Devon. Devon terlihat sangat tampan dan berkelas meski sebenarnya ia hanya mengenakan kemeja hitam yang lengan panjangnya ditekuk agak asal-asalan dan celana panjang putih di atas mata kaki. Mata biru gelap Devon terlihat membius siapa pun yang memandang ke arahnya.

     Ah... Seandainya ia punya sikap yang tidak menyebalkan, aku tidak keberatan memuji penampilannya.

     "Tunggu sebentar, ya?" ujarku pada Devon yang dahinya langsung berkerut tanda ia tidak menyukai tindakanku yang menyuruhnya menunggu sejenak.

     "Ibuk, sudah dulu, ya? Ranti mau berangkat ke studio." pamitku pada Ibu dan tidak mempedulikan tatapan kesal Devon.

     "Iya. Jangan lupa sholat dan makan." sahut ibuku.

     "Iya, Buk. InsyaAllah. Ibuk juga sehat terus, ya? Assalamu'alaykum." tanggapku sambil memutuskan pembicaraan setelah mendengar Ibu menjawab salamku.

     Setelah memasukkan ponselku ke dalam tas, aku memandang Devon yang kini nampak tidak kesal seperti tadi.

     "Itu tadi Ibunya Boss?" tanya Devon dengan nada ramah. Aku cukup terkejut mendengarnya sehingga aku mengamati raut wajah Devon sejenak sebelum menjawab. Karena aku melihat ekspresi serius Devon, maka aku simpulkan bahwa Devon tidak sekedar basa-basi.

     "Iya," jawabku singkat. "Ayo kita berangkat."

     "Oke." jawab Devon singkat lalu berjalan mendahuluiku. Saat ia melewatiku, aku mencium bau wangi parfum mahal Devon yang mengesankan bahwa Devon adalah pemuda berkelas yang cinta kebersihan.

     Aku tersenyum sendiri lalu berjalan mengikuti Devon menuju mobil Toyota Alphard warna putih mengkilap yang sudah siap di depan teras rumah. Toyota Alphard dengan nopol D 3 VON itu benar-benar menggambarkan pemiliknya yang narsis dan pecinta kebersihan. Interiornya sangat bersih dan di salah satu kursi terdapat beberapa majalah dengan cover depan memajang foto tampan dan artistik sang pemilik mobil.

     Sebelum masuk ke mobil, Tisya muncul dari dalam rumah setengah terburu-buru menghampiriku.

     "Ada apa, Sya?" tanyaku pada Tisya saat sudah di dekatku.

     "Jangan lupa ya?", ujar Tisya dengan napas memburu memulai penjelasannya. "Jas biru gelap yang dipakai untuk muncul di stasiun TV itu dari sponsor. Jadi harus dipakai Devon karena sponsornya udah bayar mahal."

     "Oke. Terima kasih sudah diingatkan." tanggapku sambil tersenyum pada Tisya.

     "Ranti..." panggil Tisya.

     "Hm?"

     "Good luck, ya?" ujar Tisya sambil tersenyum padaku. Sorot mata Tisya berkilat menyemangatiku dari balik kacamata merahnya yang unik.

     Aku mengangguk mantap, lalu masuk ke dalam mobil. Aku duduk di kursi sebelah kiri dari kursi yang Devon duduki. Lalu aku menangkap ekspresi Devon yang menatapku keheranan. Saat sudah memakai sabuk pengaman, aku menoleh ke arah Devon.

     "Ada apa?" tanyaku datar.

     "Duduklah di depan, Boss. Saya tidak suka ditemani duduk di belakang." jawab Devon santai dengan senyuman menyebalkan.

     Aku memaksa diriku untuk tersenyum pada Devon. Ternyata tidak hanya ketampanannya yang di atas rata-rata. Tingkat menyebalkan Devon juga di atas rata-rata.

     Aku memutuskan untuk tidak meladeni sikapnya yang menyebalkan. Meski kursi di interior Alphard adalah kursi individual, ternyata Devon tetap membedakan 'kasta' antara dirinya dan manajer yang mengurusnya. Dalam hal ini adalah aku. Maka tanpa banyak bicara, aku membuka sabuk pengamanku, lalu turun dari mobil. Kemudian masuk kembali untuk duduk di kursi depan sebelah kiri sopir. Aku berusaha tidak berekspresi apapun. Aku tidak ingin Devon merasa puas telah mengerjaiku.

     Sopir Devon menatapku iba. Beliau adalah laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan yang berwajah ramah. Beliau menumbuhkan kumisnya yang sudah beruban dan mengguntingnya dengan rapi. Aku tersenyum santai pada beliau untuk memberi kesan bahwa aku baik-baik saja.

     "Pagi, Pak. Saya Ranti, manajer Devon yang baru." sapaku ramah.

     "Selamat pagi, Non Ranti. Nama saya Pak Misbah. Sopirnya mas Devon." sambut sopir Devon balas memperkenalkan diri dengan sangat sopan.

     "Baik, pak. Mulai hari ini, saya akan jadi asisten Bapak, ya? Saya menemani Bapak di depan sini." ujarku riang.

     "Siap, Non." sahut Pak Misbah sambil tersenyum.

     "Jadi sampai kapan kita di sini?" tukas Devon tiba-tiba dari kursinya.

     Pak Misbah melirikku sambil menahan senyum. Aku tersenyum pada Pak Misbah lalu berkata, "Kita ke jalan Dharmahusada dulu pagi ini, Pak. Ke studio Excelcio."

     "Siap, Non. Saya sudah tahu tempatnya." sahut Pak Misbah sambil menyalakan mesin mobil.

    "Sip! Kalau begini, kita tidak usah pakai mbah Google Map, pak. Kita pakai Mister Misbah Map saja." gurauku riang.

     Pak Misbah tertawa renyah sambil mengemudi dengan tenang. Dari cara menyetirnya, aku bisa mengetahui bahwa Pak Misbah orang yang sangat hati-hati dan sabar.

     Dalam hati aku bersyukur. Karena duduk di samping pak Misbah ternyata jauh lebih menyenangkan dibanding duduk di samping pangeran narsis di kursi belakang yang membaca majalah dengan cover foto dirinya. Entah sudah berapa kali dia membaca majalah itu. Yang jelas, pangeran narsis ini adalah pemuda paling narsis dan menyebalkan yang pernah aku temui selama hidupku.

    

Reading RainbowWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu