84. Devon (6 Bulan Lalu)

64 18 2
                                    

     Aku mendengus tertawa saat Boss menyemburkan air minumnya secara tidak sengaja ke lengan bajuku gara-gara aku mengatakan secara terang-terangan bahwa aku menyayanginya di depan mbak Gita. Lalu sikap Boss yang buru-buru mengambil tissue dan mengelap lengan kemejaku yang basah, bagiku terkesan sangat imut.

    "Maaf, ya? Aku nggak sengaja," ujar Boss dengan wajah bersemu merah karena malu sambil mengelap lengan kemejaku.

     Aku mengambil tissue dari tangannya lalu mengelap kemejaku sendiri.

     "Nggak apa-apa. Lagipula sebentar lagi saya mau ganti baju yang lebih santai," tanggapku kalem.

     Mbak Gita tertawa ringan.

     "Wow wow wow... Bahkan kalimatmu sekarang beda banget ya dengan biasanya," tanggap mbak Gita setelah menyaksikan interaksiku dengan Boss. "Ranti, kamu pakai jampi-jampi apa sampai Devon takluk begini?"

     Boss tersenyum. Tapi ia tidak menjawab pertanyaan mbak Gita. Mungkin Boss menghindari pembahasan lebih jauh tentang hal ini dengan mbak Gita.

     "Yang jelas, aku senang Devon akhirnya tidak gonta-ganti manajer lagi. Kamu benar-benar sangat meringankan beban pekerjaanku, Ranti. Aku akan mengusulkan pada pak Direktur untuk memberimu bonus," lanjut mbak Gita sambil bersandar pada kursi kerjanya yang empuk.

     "MaasyaAllah. Alhamdulillah. Terima kasih," ujar Boss dengan mata berbinar bahagia. Ia tersenyum senang.

     Cantik sekali.

     "Devon sayang, kamu istirahatlah dulu di ruangan sebelah. Nanti aku akan membangunkan kamu kalau sudah waktunya ketemu Brendan," ujar mbak Gita kalem. Ia lalu menguap tanda badannya mulai lelah.

     "Aku aja yang membangunkan Devon, Ta. Kamu istirahat aja," sahut Boss yakin.

     "Are you sure? Kamu kan juga capek, Ran?"

     Boss mengangguk meyakinkan. "Jangan kuatir. Aku masih belum terlalu lelah."

     Mbak Gita menguap lebar lagi.

     "Baiklah... Aku tidur dulu sebentar, ya? Nanti kita akan diskusi setelah Devon pergi,"

     "Oke." jawab Boss lalu beranjak dari kursinya dan mendorongku pelan ke arah pintu keluar menuju ruangan istirahat tempat aku menghabiskan waktu menunggu jadwal syuting kalau sedang malas pulang ke rumah.

     "Iya... Oke... Saya akan istirahat," ujarku pasrah karena Boss terus memelototiku karena tidak segera masuk ruangan tempat istirahat.

     Aku membuka pintu ruangan dan menyalakan lampu. Ruang istirahat itu cukup nyaman dengan sebuah tempat tidur single yang empuk, bantal lebar, serta selimut yang nyaman. Di pojok ruangan ada sebuah sofa panjang dan  sebuah meja kecil. Aku meraih remote AC di sebelah saklar dan menyalakan AC dengan suhu yang tidak terlalu rendah.

     Boss melangkah masuk lalu langsung duduk di sofa panjang. Ia duduk sambil menyandarkan kepalanya. Kemudian ia melepas sepatu high heels-nya yang berkilau. Sepertinya ia sebenarnya juga sedang lelah.

    "Saya akan membiarkan pintunya tetap terbuka," ujarku sambil meletakkan remote AC di tempatnya.

    "Thanks." sahut Boss singkat. Matanya terpejam.

     "Boss, apa nggak lebih baik saya yang di sofa?" tanyaku masih berdiri di dekat pintu. Aku merasa Boss harusnya istirahat di tempat tidur saja.

     "No. Biar aku di sini..." tolak Boss dengan suara lirih. "Supaya aku bisa membangunkan kamu tepat waktu."

     "Oke. Saya akan mengambil minum dulu. Saya haus," pamitku.

     Boss diam tidak menjawab. Matanya tetap terpejam.

     Aku melangkah menuju ruangan mbak Gita untuk mengambil minum. Saat masuk ruangan, aku melihat Mbak Gita sudah tertidur lelap. Kursinya yang empuk rupanya membuat ia cepat tidur dengan nyaman. Setelah mengambil air minum, aku mematikan sebagian lampu lalu keluar ruangan menuju ruangan tempatku istirahat.

     Saat masuk, aku melihat kepala Boss sedikit terkulai. Napasnya teratur. Rupanya Boss sudah tertidur lelap. Ia pasti sangat kelelahan hari ini meski ia tidak pernah menunjukkannya.

     Aku meletakkan gelas berisi air minum di atas meja dengan sangat hati-hati. Lalu aku meraih bantal dan meletakkannya di sofa. Aku menggeser posisi Boss duduk dengan sangat hati-hati agar ia tidak terbangun saat kepalanya sudah menyentuh bantal. Mungkin karena Boss memang sudah sangat lelah, ia tidak terbangun saat posisi duduknya kurubah agar bisa rebahan di sofa.

     Boss kini sudah tidur dalam posisi nyaman di sofa. Aku mengamati wajahnya saat tertidur begini. Alis tebalnya sangat cantik. Membuatku ingin menyentuhkan jariku pada alisnya. Tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Karena Boss sangat menjaga dirinya, aku merasa harus menjaganya juga.

     Aku melangkah pelan-pelan nyaris berjingkat ke arah tempat tidur untuk mengambil selimut. Selimut nyaman berwarna abu-abu muda itu aku letakkan di atas kaki Boss yang masih memakai kaos kaki tipis. Lalu aku menyelimuti Boss sampai bahu.

     Boss sama sekali tidak terbangun. Aku duduk berjongkok di dekat Boss agar bisa mengamati wajah tidurnya. Kadang dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. Kadang juga wajahnya nampak lebih rileks. Bahkan dalam tidur pun Boss masih ekspresif. Aku berharap ia mimpi indah terlepas dari kejadian luar biasa yang ia alami hari ini.

     Aku berdiri dan berjalan pelan menuju tempat tidur. Aku tidak tidur. Aku hanya duduk sambil mengamati Boss yang tertidur lelap. Melihatnya tidur entah mengapa membuatku iba padanya.

     Selama ini Boss pasti sudah kelelahan berjuang menghidupi dirinya dan keluarganya sendirian. Apa Boss sekarang bahagia? Jika ia kesulitan, apakah ada yang datang menolongnya?

     Seberapa banyak rasa jengkel dan lelah yang pernah aku timpakan padanya saat mengurusku selama ini?

     Apa aku sudah kelewatan membuatnya selalu kerepotan?

     Apa yang membuatnya bertahan mengurusku?

     Seandainya aku bisa, aku pasti akan memeluknya saat ia bangun nanti. Aku menyesal selalu membuatnya repot. Aku juga berterimakasih padanya karena ia memilih bertahan menghadapiku daripada pergi meninggalkanku seperti semua manajerku sebelumnya.

     Sebenarnya sejak Boss memilih untuk menemani Brendan selama masa penyembuhannya di Singapura, aku merasa kehilangan yang sangat dalam. Meski Boss masih menghubungiku setiap hari untuk memantau, tetap saja rasanya sangat berbeda. Berkali-kali aku harus menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku sebenarnya sangat merindukannya saat ia menelepon. Aku bertahan agar Boss tidak merasa bingung. Aku terpaksa mengalah agar ia tidak merasa lebih terbebani lagi.

     Kini saat ia sudah datang lagi ke Indonesia, Brendan malah ingin merebutnya dariku. Tentu saja aku tidak akan membiarkannya. Apapun yang terjadi, Boss harus tetap berada di sampingku. Aku akan merebutnya kembali dari Brendan malam ini.

     Aku tidak peduli meskipun hal itu berarti aku harus berhadapan dengan hukum, hujatan fans Brendan yang getol menjodohkan Boss dengan Brendan, dan cemoohan haters seantero negri ini.

     Aku siap kehilangan karirku, ketenaranku, kontrak kerjaku, bahkan sponsorku. Aku siap kehilangan semua itu.

     Tapi aku tidak siap kehilangan Boss.

      Tidak lagi.

      Kali ini aku tidak akan membiarkannya pergi. Aku akan mempertahankannya di sisiku.

      Bagaimanapun caranya.

    

Reading RainbowNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ