16. Devon (2 Tahun Lalu)

81 18 0
                                    

Aku berusaha mengikuti langkah Boss yang ringan dan cepat. Nampaknya ia benar-benar tidak ingin aku menjejeri langkahnya. Kakiku yang panjang sebenarnya bisa segera menyusul langkah Boss yang berayun cepat. Tapi aku memutuskan untuk menghormati keinginannya untuk tidak terlihat datang bersamaku. Mungkin Boss masih kesal padaku karena aku tidak menuruti keinginannya agar menurunkan dia di lobby Rumah Sakit saja. Rupanya ia orang yang tidak suka jadi pusat perhatian.

Sepanjang jalan menyusuri selasar Rumah sakit, Boss sama sekali tidak menoleh ke belakang. Ia tidak mengecek satu kali pun keberadaanku. Rupanya ia benar-benar berniat berjalan meninggalkan aku di belakangnya tanpa peduli aku ketinggalan jauh atau tidak.

Setelah menyusuri selasar Rumah Sakit yang cukup panjang dan suram karena di sana-sini terlihat orang sedang sakit, akhirnya Boss berhenti di depan sebuah pintu ruang Rawat Inap berwarna abu-abu muda. Aku berhenti di belakangnya dan menunggu.

Boss mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka pintu di depannya. Lalu ia masuk dengan perlahan. Aku mengikutinya masuk dan berusaha agar langkah kakiku tidak menimbulkan bunyi apapun.

Saat sudah berada di dalam ruangan, hidungku mencium aroma lavender. Lampu di ruangan ini masih menyala terang. Kemudian di tengah ruangan ada ranjang pasien yang di atasnya sedang duduk bersandar seorang wanita berumur sekitar enam puluh tahunan sedang memandang ke arah Boss dengan sorot mata bahagia. Jilbab wanita itu berwarna biru muda dan terulur panjang hingga ke perutnya yang tertutup oleh selimut hijau muda. Wajahnya nampak letih. Tapi senyum dan sorot matanya ramah. Gurat kecantikan masa lalu masih ada di wajahnya. Wajahnya agak mirip dengan Boss. Hanya saja Boss memiliki ujung mata yang lebih panjang dan terkesan tajam.

"Assalamu'alaikum, Buk." salam Boss dengan suara yang lembut lalu mencium tangan wanita di depannya.

"Wa'alaikumsalaam." jawab wanita yang pasti adalah ibu dari Boss.

"Kamu agak malam hari ini." ujar ibu Boss.

Aku langsung merasa bersalah mendengar hal itu. Maka aku langsung maju ke hadapan ibu Boss untuk bertanggungjawab.

"Maaf, Buk. Itu karena saya," jelasku sambil maju ke depan Boss dan buru-buru membuka penutup kepala hoodie-ku.

Ibu Boss melihatku dengan kaget. Untuk beberapa saat, beliau tidak berkata apa-apa. Boss yang ada di belakangku langsung buru-buru maju menghampiri ibunya.

"Devon?" tanya ibu Boss pada putrinya masih dengan ekspresi kaget yang tadi.

"Iya, Buk. Tadi Devon memaksa ingin ikut kemari," sahut Boss cepat.

Ibu Boss ganti melihat padaku sambil tersenyum ramah. Senyum itu khas senyum seorang ibu. Melihat senyum itu, hatiku merasa hangat dan aku jadi teringat Mamaku di Tegernsee karena usia Ibu Boss sepertinya sepantaran dengan Mamaku.

"Terima kasih sudah datang menjenguk ibu. Tapi... selebriti seperti kamu seharusnya tidak muncul di tempat umum seperti ini," ujar ibu Boss bijaksana. Suaranya yang keibuan membuat aku seperti dinasehati oleh Mamaku sendiri.

"Iya, Buk. Sebenarnya saya tadi sudah diingatkan oleh Boss. Makanya saya akhirnya pakai jaket yang ada penutup kepalanya. Biar tidak ada orang yang mengenali saya," tanggapku bangga dengan ideku sendiri.

"Boss?" tanya ibu Boss keheranan.

"Iya, Buk. Devon minta supaya bisa memanggil Ranti dengan sebutan Boss," sahut Boss sambil nyengir dan mengangkat bahunya tanda ia tidak paham juga mengapa aku memilih memanggilnya dengan sebutan 'Boss'.

Ibu Boss ganti melihat padaku sejenak lalu berkata, "Jangan-jangan kamu ini tidak mau memanggil dia 'Mbak' atau 'Bu' karena Ranti terlihat masih muda?"

DEG!

Jantungku tiba-tiba berdegup agak kencang. Aku merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan sebuah kesalahan dan disiarkan langsung oleh berbagai media televisi. Aku melirik Boss yang kini dahinya berkerut tanda berpikir.

Apa-apaan ini?! Mengapa aku jadi gugup?!

Aku mendengus tertawa untuk meredakan kegugupanku. Aku berusaha menutupi kecanggunganku dengan akting tertawa lepas yang piawai. Lalu setelah menarik napas panjang, aku menjawab pertanyaan skak-mat ibu Boss.

"Saya memanggil begitu agar saya ingat untuk menurut dan tidak banyak protes pada putri ibu karena mulai hari ini putri ibu adalah manajer saya."

Ibu Boss tersenyum padaku. Lalu berkata dengan nada yakin, "Ranti ibu didik sebagai wanita yang mandiri dan tangguh. Ibu yakin, kamu akan menurut pada Ranti secara alami. Bahkan mungkin kali ini kamu tidak akan berganti manajer lagi untuk selamanya."

Aku tersenyum mendengar kalimat ibu Boss yang sangat yakin itu. Tapi entah kenapa aku tidak merasa bahwa ibu Boss hanya mengada-ada. Boss memang mempunyai beberapa karakter yang tidak dimiliki semua manajerku sebelumnya. Mungkin hal itulah yang menjadikan Boss melegenda.

"Saya juga berharap begitu, Buk. Saya capek ganti manajer terus." tanggapku akhirnya.

Boss melihat ke arahku sambil nyengir skeptis. Sepertinya ia tidak mempercayai kalimatku barusan.

"Kalau memang benar nggak ingin ganti manajer lagi, mulai hari ini tolong menurutlah pada saya. Oke?" ujar Boss santai.

"Aku." sahutku cepat.

"Ha?" celetuk Boss heran.

"Boss pakai kata 'aku' saja mulai sekarang agar saya merasa lebih junior." tantangku sambil nyengir.

"Oke. Nggak masalah." tanggap Boss santai.

"Ibu yakin kalian berdua bisa jadi tim yang solid. Resepnya adalah saling memahami. Itu saja." sahut ibu Boss tiba-tiba.

Saling memahami.

Apakah aku bisa memahami Boss dengan segala karakternya yang unik itu? Dan apakah Boss bisa memahami aku?

Sepertinya hal itu akan sulit, mengingat kami berdua sama-sama keras kepala. Ibu Boss nampaknya terlalu optimis terhadap kami.

"Sudah malam. Kamu pulang saja. Besok kita banyak jadwal." usir Boss tanpa basa-basi.

"Boss mengusir saya?" tanyaku bandel.

"Iya." sahut Boss cepat. Ekspresinya datar seperti tidak memikirkan apa yang barusan dia ucapkan.

Ibu Boss mendengus tertawa. Akhirnya aku juga ikut tertawa karena merasa bahwa dialog kami cukup kocak meski kesannya seperti hendak bertengkar.

"Oke. Saya pulang," tanggapku akhirnya. "Apa boleh buat karena saya sudah diusir."

"Lain kali datanglah lebih sore. Biar bisa lama mengobrol sama Ibuk." ujar ibu Boss ramah sambil tersenyum padaku.

Aku mengangguk senang. Sepertinya ibu Boss orang yang menyenangkan. Aku juga seperti sedang mengobrol dengan mamaku sendiri.

"Saya pamit, Bu. Sampai ketemu lagi," pamitku sambil melirik Boss. "Segera."

Boss mendengus kesal. Rupanya ia benar-benar tidak ingin aku berada di Rumah Sakit ini. Mungkin Boss tidak ingin kerepotan menangani penggemarku atau para wartawan infotainment jika aku sampai ketahuan berada di sini. Menyadari hal ini membuatku semakin semangat untuk datang lagi ke Rumah Sakit menjenguk ibu Boss.

"Ranti, ayo antarkan Devon ke lobby." perintah ibu Boss yang ditanggapi dengan agak ogah-ogahan oleh Boss.

Aku menahan senyumku melihat Boss yang dengan enggan berjalan mendahuluiku untuk mengantarku ke lobby. Aku sadar Boss pasti kesal padaku karena membuat ia tidak berkutik. Tapi entah kenapa hal itu malah membuatku semakin bersemangat. Aku jadi tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya besok dan kembali membuat ulah agar Boss menjadi kesal padaku.

Reading RainbowWhere stories live. Discover now