Bab 37

16K 1.3K 60
                                    

Bagian 37 : SI BRENGSEK FATHUR

.

.

.

Dinara bangun siang hari itu. Seminggu terakhir sebelum masuk sekolah kelas dua belas. Atau kelas tiga di putih abu – abu. Dinara harusnya membuat kenangan indah. Tapi kebanyakan, kenangan buruk yang Dinara terima. Entah untuk dirinya atau untuk orang lain. Setidaknya, Dinara sudah memiliki teman untuk berfoto bersama saat kelulusan nanti.

Kalau Dinara lulus di sekolah itu.

Dinara mungkin bisa saja pergi dari sekolah itu dan pindah ke sekolah lain. Itu kemungkinan terjadi. Tapi Dinara tidak ingin pindah lagi. Dia sudah lelah menghindari kenyataan bahwa teman – temannya tau dia pernah gila.

Iya. Dinara pernah gila.

Dia pernah gila. Tidak mau makan dan tidak menerapkan kebersihan. Dinara benar – benar seperti orang gila. Maka dari itu, kelas sepuluh, dia sekolah di rumah. Karena Dinara masih tidak nyaman jika bersekolah di sekolah normal.

Dinara senang jika teman – temannya kali ini tidak mencari informasi tentang masa lalu Dinara. Mereka hanya menanyakan kenapa Dinara home schooling, tanpa bertanya lebih lanjut.

Dia menguap, melemaskan badannya lalu berjalan menuju dapur. Mengambil minum lalu balik lagi ke kamar tidur. Waktu di tempatnya menunjukkan jam sebelas. Dinara benar – benar tertidur nyenyak. Pengaruh obat penenang tentu saja.

Sejenak, Dinara sudah melupakan masalahnya. Namun saat Dinara bangun, masalah itu kembali muncul di pikirannya. Banyak sekali sampai rasanya, kepala Dinara sudah mau pecah dan tidak bisa menahannya lagi.

Tidak apa – apa. Hanya perasaannya saja yang hancur. Bukan berarti dia harus menyerah sekarang bukan ?

Dinara mengambil bungkus rokok di meja simpanannya kemudian menyesapnya di balkon. Dinara rasa, hari ini dia tidak mau di temani siapapun.

"Hoy cewek."

Kecuali Fathur.

"Mau mati lo ?"

Fathur terkekeh saat Dinara mengomeli Fathur. Jarak balkon mereka cukup jauh. Hanya saja Fathur benar – benar memaksakan dirinya untuk memanjat dan melewati ruangan tengah Dinara dan sampai di depan Dinara.

"Bagi dong."

Fathur mengambil alih rokok yang tengah di hisap Dinara. Dinara dongkol lalu dia menipuk kepala Fathur cukup keras sampai – sampai Fathur mengaduh.

"Lo udah bikin gue jantungan dengan nyebrang lewat sana," Dinara kembali mengomel,, "dan sekarang lo mau buat gue mati lebih cepet gara – gara kesel sama lo ?"

Fathur mengusap kepalanya yang kena pukul Dinara. "Lagian, gue sautin pake telepon mana ada ngangkat lo."

Dinara baru ingat, handphonenya entah di mana. Kemarin malam, Dinara langsung pergi ke kamar dan handphonenya mungkin ada di dalam apartemen. Tapi di mana ya, Dinara tidak ingat.

"Lupa hp gue di mana." Dinara terkekeh lantas menyalakan lagi rokok barunya.

"Si anjir, gue kira lo punya satu. Mana dah, gue minta yang baru. Ini gue balikin."

Dinara benar – benar di uji kesabarannya oleh Fathur. Dinara mengambil nafas untuk memarahi Fathur, namun Fathur lebih cepat dari suara yang akan keluar dari mulut Dinara. Fathur membungkam mulut Dinara dengan telapak tangannya. Kemudian bibirnya menyentuh pipi Dinara.

"Anjinc lo. Ngapain sih ah." Kata Dinara benar – benar mengumpat seenaknya. Bahasa kasar dan binatang semuanya Dinara keluarkan. Tangannya tidak berhenti memukuli Fathur.

"Ampun, Ra ampun."

Mereka berdua tertawa. Menyesap rokok dan menikmati siang itu.

"Lo kemana semalem ? Gue liat Bara."

Dinara terkekeh, "keganggu banget lo sama si Bara sialan itu ?"

Tidak tau dalam hai Fathur, Bara membenarkan jika Bara itu sialan. Lagian kenapa benci sama Fathur ? Apa salah Fathur ? Harusnya dia sadar diri. Siapa yang meninggalkan Dinara dalam keadaan sekarat ? Dan apa salah Fathur membantu Dinara saat itu ?

Sialnya, Bara tambah benci kepada Fathur karena Fathur membawa pengaruh buruk. Rokok dan alkohol menurut Bara yang tidak pernah di konsumsi Dinara, jadi konsumsi sehari – hari Dinara. Padahal, Bara tidak tau saja, sebelum bertemu dengan Fathur, Dinara sudah pernah mabuk.

"Engga sih. Cuman kalo cuman berdua saja, gue yang canggung."

"Kenapa harus canggung ? Lo ga salah apa – apa ."

Dinara benar. Kenapa juga Fathur harus canggung ?

"Lo ga inget gue ketemu Bara pertama kali ?"

Ucapan dari Fathur membuat Dinara sejenak berfikir dan mengulang masa lalunya.

Waktu itu, Fathur menemukan Dinara di club. Lalu Dinara mabuk dan di bawa ke apartemen Fathur. Untung saja Fathur bisa menahan diri terhadap Dinara. Kalau tidak, mungkin Fathur tidak akan sedekat ini dengan Dinara.

Pagi harinya, Fathur bangun dengan keadaan telanjang dada. Sudah kebiasaan tidur ga pake baju untuk Fathur. Fathur terbangun ketika ponsel Dinara terus menampilkan nama Bara. Di sertai hati waktu itu.

Fathur mengangkat telepon itu lalu menyebutkan alamatnya tinggal. Bara datang dengan cepat sampai Fathur lupa memakai bajunya. Dan dari situ, Bara justru membuat kecanggungan yang berakibat kepada Fathur.

Bara menganggap jika Fathur sudah meniduri Dinara. Padahal mereka hanya tidur bersama. Dalam artian yang sebenarnya.

"Inget. Cuman samar. Lo sih, kenapa juga pake acara nyebutin apartemen temen lama lo."

Iya. Yang di datangi waktu itu oleh Bara adalah apartemen teman Fathur yang lama. Fathur menganggapnya seperti apartemen sendiri waktu itu. Karena tentu saja, Fathur juga ikut andil dalam pembayarannya.

"Ya abis, gimana. Masa gue bawa lo ke apartemen ini."

"Ya kenapa emang ? Apartemen di sini lebih enak."

Fathur menganggukinya. Fathur pernah sekali membawa Dinara ke apartemennya. Menginap saat mereka beradu tangkas dengan pembalap motor lain dan di kejar polisi. Dan sekali lagi waktu Dinara dan Fathur benar – benar sama – sama mabuk.

"Gue tau lo tau dengan sangat pasti kenapa gue ga bawa lo ke sini waktu itu."

"Lo takut khilaf sama gue ?"

Fathur menganggukinya. Beanr. Fathur sudah sangat takut khilaf. Apalagi, kamar di sebelah apartemen Dinara ini adalah tempat di mana dia biasa meniduri beberapa perempaun. Tapi lihat Dinara, dia masih mau berteman dengan cowok seberengsek Fathur.

"Gue heran. Bara juga mungkin brengsek ninggalin lo waktu itu." Fathur menatap Dinara yang menghisap dalam rokok di jemarinya, "tapi gue lebih brengsek dari dia, Ara. Kenapa lo benci dia, tapi masih mau bergaul sama gue ?"

Dinara terkekeh menatap Fathur.

"Gue mau tanya sama lo." Dinara berdeham, "kalo lo ngeliat adek lo, sekalipun adek tiri, dia sedang sekarat, apa yang bakal lo lakuin ?"

Fathur tampak berfikir.

"Tergantung sih. Gue benci sama adek tiri gue atau engga." Fathur menyesap rokoknya, "kalo gue benci sama adek tiri gue gara – gara dia gue di asingkan di rumah, gue bakal ninggalin dia tentu saja. Tapi kalo adek tiri gue sama gue ga ada masalah, gue ga bakalan ninggalin dia gitu aja."

"Masuk akal." Dinara menuntaskan rokoknya lalu mematikannya. "Kalo lo takut darah dan punya trauma akan darah yang bergenang banyak, apa lo bakal ninggalin gue saat itu ?" 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now