Bab 72

98 8 0
                                    

Bagian 72 : TEMPAT RAHASIA BIMA DAN PERMOHONAN DINARA

Dinara menghirup udara segar. Bima membawa Dinara ke rooftop sekolahannya. Dan ternyata di rooftop ada satu sudut yang bisa di pakai untuk rebahan dan bersantai.

"Kenapa gue baru tau ada yang kayak gini di sini ?"

Bima terkekeh, "biasanya hanya gue yang ada di sini. Lo tau kan siapa gue ?"

Dinara memutar bola matanya.

"Iya. Anak dari yang punya uang gede untuk mendirikan sekolah ini."

Bima tertawa. "Sini duduk."

Dinara menuruti keinginan Bima. Mereka duduk di atas rumput sintetis yang ada di sana. Di atas mereka ada semacam atap transparan tapi tidak panas. Entah dari bahan apa, yang Dinara tau harganya tidak murah.

Kemudian, Dinara juga melihat lebih jauh lagi di tempat itu. Ada tenda kecil di sana. Selimut dan bantal lengkap dengan perabotan masak kecil - kecilan.

"Lo beneran cuman ke sini sendiri ?"

Bima mengangguk, "kenapa ?"

Dinara menatap tenda itu lalu menunjuk dengan dagunya, "lo tidur di sekolah gitu ? Serem amat."

Lagi - lagi Bima terkekeh, "gue biasanya pake kalo mau tidur siang tanpa di ganggu siapa - siapa. Di sini enak, adem walaupun di atap tapi ini bahannya kayak ga tembus aja sinar mataharinya."

Dinara mengangguki pernyataan Bima, "ada kipas angin juga di dalam tenda."

Bima mengembalikkan anggukan Dinara tadi. "Iya, kalo diem di dalam tenda itu adem banget. Dan mau tidur tuh enak. Mau coba ?"

"Kita bakal bolos lagi pelajaran terakhir ?"

Bima mengangguk, "ga papa, sekali - kali jadi budak badung sih, Di."

Dinara terkekeh.

Sebenarnya, Bima sudah berhasil membuat Dinara lupa akan masalah dengan pesan singkat itu. Bima sudah bisa membuat Dinara lupa dengan tempat nyaman ini. Dan Bima sudah berhasil hanya dengan hal sederhana seperti ini.

Dinara membuka sepatunya lalu masuk ke dalam tenda. Di susul Bima dan kipas angin yang bertiup. Dinara duduk melipat kakinya lalu memeluk lututnya dan menyimpan kepalanya di atas lutut.

"Adem kan ?"

Dinara mengangguk lalu tersenyum ke arah Bima, "thanks again, Bi."

Bima juga tersenyum. Lalu tangannya melayang ke arah kepala Dinara mengusapnya lembut dan pelan. Dinara sudah mulai memejamkan matanya. Rasanya, Dinara memiliki obat tidurnya. Karena setelah itu, Dinara menjadi mengantuk.

"Lo bisa tiduran, Di. Gue ga akan ngerusak lo."

Dinara tersenyum miris.

Di dalam hatinya, Dinara berteriak jika dirinya sudah kotor dan rusak. Bima harus tau suatu saat nanti.

Dinara sudah mulai tertidur. Bima pun sama. Dan tidak terasa, waktu mereka sudah sampai di detik mereka bangun bel sekolah untuk menandakan pulang dibunyikan.

Baik, mereka tidur dari jam sebelas siang sampai jam dua. Dinara bangun setelah Bima. Bima sudah bangun karena getaran di ponsel Dinara. Dan Dinara baru menyadari itu.

"Bunda lo, ga lo angkat ?"

Dinara berdeham.

"Gue ileran ga ?"

Seketika, Dinara membuat Bima tertawa keras. Ngakak sejadi - jadinya.

"Kenapa si ? Gue beneran ileran ?"

Dinara mengelap - ngelap sudut bibirnya. Lalu setelah Bima selesai tertawa, Bima mengambil alih tangan Dinara yang dari tadi sibuk mengelap entah apa di sudut bibirnya.

"Ga ada, Di. Gue malah suka liatin lo saat tidur."

Dinara diam, "terus kenapa lo ketawa ?"

Bima terkekeh, "ya abis, lo bangun tidur dan gue ajak ngomong serius malah nanyain lo ileran apa engga. Kan ngakak gue."

Dinara sekarang terkekeh, "gue seneng lo ketawa. Gue lagi ngebangun mood gue deh kayaknya. Siapin buat sore ini."

Bima menatap Dinara sendu. Bima juga tidak bisa berbiat apa - apa. Tapi Bima juga harus tetap ada di samping Dinara bagaimanapun keadaanya.

"Gue akan selalu ada di samping lo. Gue bisa jadi di depan lo saat lo butuh gue ada di depan buat ngalangin orang yang nyerang lo." Kata Bima menggenggam erat tangan Dinara, "dan gue juga bisa ada di belakang lo. Menunggu lo saat lo butuh gue. Lo tinggal bilang, lo mau gue ada di mana."

Dinara tersenyum kecil.

Lagi - lagi Abimanyu ini membuat Dinara tidak bisa berkata apa - apa selain bisa senyum dan ucapan terima kasih dalam hatinya.

"Gue mau lo ada di depan gue. Kayak gini."

Dinara lalu melepaskan genggaman Bima dan menyimpan kedua tangannya di masing - masing pipi Bima. Lalu menarik Bima mendekat dan mengecup bibir Bima sebentar.

"Dan kayak gitu setiap gue butuh." Ucapa Dinara melanjutkan perkataan sebelumnya.

"Bilang kodenya, Di."

"Kode ?"

"Kalo lo butuh gue cium, lo mau bilang apa ?"

"Satu kata ?"

Bima mengangguk lalu tangannya sekarang ada di kedua pipi Dinara. Posisinya sama dengan Dinara yang memegang pipi Bima.

"Senar."

Bima mengerutkan keningnya seakan bertanya pada Dinara apa maksudnya.

"Senar butuh gitar untuk bisa di gunakan. Dan gue butuh lo untuk bisa menenangkan."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Dinara sudah ada di dalam mobil ibunya. Perjalanan menuju butik yang sudah di reservasi untuk ibunya itu terasa lama dan canggung. Sejak berpisah dengan Bima, Dinara menjadi sosok yang sangat dingin tanpa ekspresi.

Sebenarnya, Dinara bisa saja menolak ajakan ibunya. Namun Dinara sudah memikirkan akan melakukan permohonan lagi sekali lagi untuk membatalkan pernikahan ini. Dan Dinara sudah merencanakan dengan cukup matang.

Dinara sampai di butik itu. Dinara mengecheck ponselnya terlebih dahulu sebelum turun. Bima sudah sampai di rumahnya. Kabar dari Bima membuat Dinara tersenyum kecil tanpa sebab. Lalu ketukan di kaca jendela di samping Dinara membuat Dinara harus bersikap super dingin lagi.

Langkah Dinara cukup berat ketika langkahnya masuk ke dalam butik itu. berjejer baju indah dan gaun yang sangat mewah. Dan juga pakaian bermerk internasional dari designer internasional juga.

"Bunda akan coba beberapa baju dulu. Pilih yang menurut kamu cocok sama bunda. Abis itu, kamu menyesuaikan."

Ibunya berkata lalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Dinara. Lantas, Dinara hanya akan duduk di kursi itu ? Bisa tidak Dinara menyebutnya kursi panas ? Karena Dinara tidak nyaman dan rasanya Dinara ingin segera pergi dari situ.

Pakaian pertama, ibunya keluar. Gaun berwarna putih di sertai garis coklat ke kuningan menambah kesan glamour itu sangat cocok dengan kulit ibunya Dinara yang putih.

"Gimana ?"

Dinara mengangguk, "bagus."

Kemudian ibunya masuk lagi ke ruangan ganti. Dinara bersandar membuat dirinya nyaman walaupun sebenarnya tidak nyaman sama sekali. Lalu ibunya keluar dengan baju kedua. Saat itu, Dinara sedang bermain game dengan teman - temannya yang lain. Saling beradu kekuatan dan tentu saja beradu skill.

"Ara. Yang ini ?"

Dinara meliriknya sekali lalu fokus lagi ke handphonenya.

"Hm, bagus."

Dinara bosan.

Apa Dinara pergi saja sekarang ?

Tapi ruangan di sebelahnya rame. Dinara agak sedikit tidak enak.

Dan ah iya.

Bagaimana dengan permohonannya ? 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now