Bab 70

88 7 0
                                    

Bagian 70 : RESMI BERPACARAN, HORAY !

Pertandingan cukup sengit antara tim Bima dan tim lawannya. Padahal, menurut Dinara sendiri, Bima sudah cukup terlatih. Tapi masih saja kewalahan dengan tim lawan. Mungkin karena tim dari Bima bukan tim inti pemain basket seperti biasanya, jadi agak kurang kekompakannya. Untung saja ada Putra yang membantu.

Tim Bima masih memimpin. Lalu setelah Bima baru saja memasukkan bola di garis luar ring, mencetak tiga angka, peluit tanda selesai pertandingan dibunyikan wasit.

Tim Bima dinyatakan menang di pertandingan ini. Bima tersenyum saat melihat Dinara yang sedang menatapnya. Lalu berlari ke arah Dinara. Setelah mendapatkan jarak yang cukup dekat dengan Dinara, Bima berhenti. Mengambil nafas kemudian Bima dengan lantang berbicara.

Ah tidak.

Bukan berbicara.

Tapi berteriak, sedikit.

"Di, gue nunggu moment ini. Moment kebahagiaan, buat gue dan lo karena sama - sama menang dalam pertandingan. Dan lo berhasil membuat gue bangga, lo bisa main basket dan menang bareng tim lo. Gue berhasil buat lo keluar dari zona nyaman lo yang ga pernah mau pegang bola basket. Gue bener ?"

Dinara diam, melirik ke sekitarnya dan merasa tidak nyaman.

Semua orang memperhatikan Dinara dan juga Bima. Tidak di tengah lapangan tapi di sini cukup jadi sorotan bagi semua orang yang menonton pertandingan.

Dinara mengangguk kecil. Lalu tersenyum saat melihat Bima tersenyum lebar.

"Gue udah cukup seneng liat lo berhasil, menang dan gue juga menang."

Bima menarik nafasnya, "apa boleh gue nambah kesenengan gue lagi ?"

Dinara masih menatap Bima. Jujur, Dinara bingung harus bersikap seperti apa sekarang. Jantungnya berdegup lebih cepat seakan sedang berlarian di dalam tubuhnya.

"Apa yang ngebuat lo tambah bahagia hari ini, Bim ?"

Bima tersenyum lalu berjalan mendekati Dinara.

"Saat lo nerima gue jadi pacar lo."

Semua kaum hawa di sana mendesah kecewa. Ada juga yang menatap Dinara dengan tatapan iri. Ada juga yang masih mengagumi Bima dengan bentuk pernyataan Bima yang terbilang cukup terbuka dan sangat manis. Dan ada beberapa orang yang mendukung Bima dan juga Dinara.

"Lo mau jadi pacar gue, Di ?"

Dinara diam menatap Bima.

Satu yang membuat Dinara percaya jika Bima masih bisa menjadi Bima yang sekarang membuatnya nyaman dan menerima Dinara dengan segala jenis masalah yang sedang dihadapi Dinara adalah rasa suka Bima terhadap Dinara sampai Bima mungkin saja tidak akan seperti ini jika bukan Dinara yang ada di hadapan Bima hari ini.

Tapi di satu lain, Dinara ragu.

Ragu akan perasaan Bima nanti.

Nanti ketika Dinara memberitahukan hal yang menurut Dinara adalah aib dan membuat dirinya terkunci diam seperti ini.

Tapi, Dinara juga tidak bisa menahan rasanya. Dinara juga meyukai Bima dari sikap lembut Bima. Sifat Bima yang berubah saat mengenal Dinara lebih jauh. Dan tentu saja, Bima harusnya berjanji jika dia tidak akan meninggalkan Dinara sendiri.

Dinara tidak bisa di tinggalkan lagi.

Entah apa yang akan terjadi jika Bima meninggalkannya seperti ayahnya yang meninggalkan Dinara walaupun masih bisa bertemu. Seperti Bara yang sudah jelas meninggalkan Dinara dengan sengaja. Dan, mungkin bundanya juga akan menyusul meninggalkannya.

"Gue ga bisa janji ga akan nyakitin lo." Kata Bima lagi karena belum juga mendapat jawaban apapun dari Dinara.

Bima mengerti, Dinara perlu memikirkannya.

"Tapi gue akan berusaha, Di. Berusaha buat ga ninggalin lo atau nyakitinlo. Gue juga ga bisa janji kalo lo akan tetap seseneng gue yang sekarang karena menang pertandingan. Tapi gue harap, lo kasih gue kesempatan untuk berusaha ngebuat lo seseneng gue hari ini."

Dinara masih menatap Bima.

Di mata Dinara, Bima benar - benar tulus dan Bima benar - benar mengatakan hal - hal yang di keluarkan dari mulutnya setulus hatinya. Dinara merasakan itu setelah Bima mendekat. Memeluknya erat dan tentu saja, setelah Dinara mengangguk.

Dinara dan Bima.

Hari ini.

Resmi berpacaran.

* * * * * * * * ** * * * * ** * * * ** * * * * ** * * * * ** * * * * * *

"Cie yang udah punya pacar sekarang dikit - dikit buka hp. Dikit - dikit cek ponsel." Seru Fathur saat bermain ke kamar Dinara.

Bukan bermain lebih tepatnya.

Meminta makanan, mungkin lebih tepat dan sesuai dengan fakta.

Dinara terkekeh. "Gue kira lo yang bakal nembak gue."

Fathur menyemburkan air yang tadi di minumnya.

"Di, kira - kira kalo mau bercanda."

Dinara tertawa sekarang melihat Fathur mengusap air di dagunya. lalu menggeleng.

"Bercanda doang. Lo juga udah ga ada rasa kan sama gue ?"

Fathur diam. Jika di tanya seperti itu oleh orang yang pernah ada di hatinya, Fathur bisa saja mengelak dalam mulut. Tapi hatinya, tidak bisa berbohong bahwa masih ada sakit kecil saat Dinara tadi di akuisisi oleh seseorang yang baru di kehidupan orang di depannya.

"Gue harap juga engga." Desah Fathur lalu memakan camilan milik Dinara yang baru Dinara buka baru saja.

Dinara mengangguk.

"Lo udah punya cewek yang bisa ngebuat lo nyaman. Kenapa ga lo ngomong sama dia ?"

"Ngomong apa ?"

Dinara mengendikkan bahunya, "berkomitmen mungkin." Kata Dinara cuek.

"Komitmen seperti apa yang lo maksud ? Nikah ?"

Dinara tertawa. "Gue ga mikir sejauh itu. Tapi semua cewek butuh kepastian."

Fathur menatap Dinara, "termasuk lo ?"

Dinara mengangguk polos, "termasuk gue."

Bukankah seperti itu seharusnya. Dinara merasa sering berada di tengah - tengah ketidakpastian saat bersama Bara terutama. Waktu itu, Bara selalu mengabaikan keberadaan Dinara dan tentu saja. Dinara merasa tidak ada yang pasti dihubungan Dinara dan juga Bara.

Kepastian menurut sebagian besar perempuan merupakan hal terbesar yang ingin di capai. Jika tidak ada kepastian, mengapa perempuan di suruh menunggu bahkan harus dalam jangka yang lama. Dan untuk kepastian sendiri, tidak harus berupa ikatan pacaran atau pun apapun. Kepastian bisa dibuat dengan cara berkomitmen.

Seperti Bima, yang berkomitmen akan berteman dengan Dinara sampai umur delapan belas tahun. Dan setelah delapan belas tahun, Bima punya komitmen lain.

Tadi, Dinara sempat bertanya pada Bima tentang kenapa Bima membuat Dinara menjadi pacaranya, padahal komitmen Bima itu adalah delapan belas tahun. Dan jawab Bima membuat Dinara sedikit tergelitik.

"Ya elah, Di. Ulang tahu ke delapan belas gue tinggal ngitung hari. Dan gue ga bakal ngebiarin ke senenangan gue terpotong - potong karena harus nembak lo pas hari ulang tahun gue."

Dinara terkekeh begitu mengingat omongan Bima di mobil karena mengantar Dinara pulang tadi.

"Senyum aja terus. Buat gue jatuh cinta lagi sama lo."

Fathur mendengus saat Dinara hanya menyentil dahi miliknya.

"Kalo udah ada kepastian lo mau apa ?"

Dinara diam, "melanjutkan atau berhenti mungkin bisa ada di dalamnya. Melanjutkan jika benar itu adalah pilihan terbaik. Atau berhenti karena ada pilihan yang lebih baik."

Senior RuwetKde žijí příběhy. Začni objevovat