Bab 23

17.6K 1.6K 38
                                    

Bagian 23 : FATHUR YANG SUDAH SEMBUH

.

.

.

Dinara baru saja menyelesaikan urusan dengan Renny. Sudah malam dan Dinara tidak bisa tidur. Banyak hal yang ada di dalam pikirannya. Tentang ayahnya, Bara dan juga Bima. Tadi, Renny menelepon untuk meminta saran bagaimana cara memberitahu Bima jika Renny sudah mempunyai pacar yang hampir besamanya selama satu tahun.

Bima adalah sosok yang overprotective pada orang – orang yang di anggapnya penting. Dan menurut Dinara, itu sosok yang sangat jarang. Dan banyak yang tidak tahan dengan sikap seperti yang Bima miliki. Namun pada kasus kehidupan Dinara, Dinararasanya butuh sosok seperti itu di kehidupannya.

Dinara terlalu tidak peduli tentang hal yang menurutnya tidak penting. Tapi menurut orang lain penting. Seperti telepon Gege saat itu, tentang pertandingan basket itu, menurut Dinara itu tidak terlalu penting. Tapi menurut orang semacam Gege, itu penting.

Kata Gege, di sana bisa lihat otot perut laki – laki yang bisa membuat Gege menganga dan sulit untuk di alihkan. Bagian akhir pertandingan yang membuat Gege dan orang – orang dengan sepemikiran Gege sulit beranjak di kursi penonton. Karena biasanya, setelah pertandingan selesai, otot – otot perut seperti itu tidak di jual secara bebas. Hanya khusus undangan.

Dinara terkekeh karena mengingat ucapan Gege saat itu. Dia sangat bersemangat untuk menyaksikan itu. Dan Gege benar – benar memaksa Dinara untuk ikut bersamanya. Haruskan Dinara meminta undangan khusus itu pada Bima ? Atau pada Bara ? Keduanya akan ada di lapangan yang sama bukan ?

Ponselnya berdering saat Dinara akan beranjak untuk memasak mie instan karena rasanya dia mulai lapar. Saat melihat siapa yang menelepon, Dinara tersenyum lebar.

"Hai, apa kabar lo ?"

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Dinara sudah ada di restoran korea. Dinara benar – benar sangat menginginkan mie korea itu. Jadi dia mampir sebelum menuju tempat yang sudah dijanjikan Fathur.

Yang meneleponnya tadi adalah Fathur teman lama Dinara. Sebenarnya, Dinara sudah dilarang keras untuk bertemu dengan Fathur oleh Bara tentu saja. Siapa lagi yang akan melarang Dinara bergaul selain dia, selaku kakaknya. Tentu saja.

"Ra, lo beneran ga perlu ijin sama Bara ?"

Dinara yang sedang menyantap mie –nya itu tiba – tiba diam. Lalu menyeruput mie –nya lagi. Dinara mengunyah mie itu dan langsung mengangguk begitu melihat Fathur yang menuggu jawabannya.

"Gue udah males sama dia. Abis ini gue join balapan ya ?"

Fathur menyeruput minuman yang sedikit beralkohol itu. Apa namanya ? Dinara lupa. Soju ?

"Lo yakin ?"

Dinara mengangguk sambil mengunyah mie miliknya itu. "Kenapa engga ? Gue udah lama ga ngegas bareng si Tirtan."

Tirtan adalah nama motor kesayangannya. Motor itu di dapatan Dinara saat Dinara menang balapan liar di area Fathur. Dan mungkin sudah waktunya Tirtan jadi bahan taruhan lagi. Lagi pula, motor di parkiran apartemen milik Dinara masih ada. Dan sudah jarang di pakai.

"Lo bakal ketemu lagi sama Renata dan Gesti, Ra. Lo yakin ?"

Kini Dinara diam. Kedua orang itu adalah musuhnya saat di dunia balapan. Tapi Dinara cukup akrab dengan kedua orang itu diluar dunia balap. Hanya saja, Dinara mengalami kejadian buruk saat terakhir kali balapan bersama dua orang itu.

Masalahnya, adalah taruhan. Saat itu, Bara –lah yang menjadi bahan taruhannya. Jika Dinara menang, Dinara boleh milikin Bara sepenuhnya, tapi jika kalah, Bara harus menjauhi Dinara bagaimana caranya.

Dan tentu saja, Dinara tidak bisa kalah dari mereka. Tapi kenyataannya lain, Dinara kalah karena jatuh terpeleset di belokan terakhir menuju finish. Dan Renata juga Gesti selalu menagij janji itu. Sampai saat ini, Bara tidak bisa lepas dari Dinara.

Atau sebaliknya.

Dinara tidak bisa lepas dari Bara.

Entah, tapi begitu keadaannya. Bara dan Dinara tidak bisa melepaskan satu sama lain walaupun yang satunya sudah meninggalkan seseorang lainnya tanpa menoleh ke belakang. Tapi dia kembali di waktu yang salah. Dengan segala penyesalan yang ada.

"Yakin seyakin – yakinnya."

Dinara sudah ada di atas motornya. Motor gede yang biasanya hanya disimpan dan di pakainya sekali – kali itu sekarang akan dipakainya untuk balapan. Entah kalah atau menang. Itu urusan nanti. Dan itu akan Dinara pikirkan lagi.

Dinara memakai helmnya lalu melajukan motornya. Hampir tengah malam dan sepi jalanan membuat Dinara melajukan motor dengan sangat amat cepat. Dia sudah tidak sabar sampai di tempat balapan itu. Fathur mengikutinya dari belakang. Tidak kalah cepat. Fathurhanya mengawasi dari belakang.

"Lo udah ga sabar atau gimana ?" Fathur mengajak Dinara berbicara saat sudah sampai di samping motor Dinara.

Dinara memelankan laju motornya lalu membuka kaca helm full facenya. Kemudian, balas berteriak lumayan kencang.

"Gue udah lama ga bermotor gini, Fat. Lo juga, gue lupa." Sahut Dinara mengantung.

"Apaan ?"

"Tangan lo gimana ? Bukannya lo harus di operasi waktu itu ?"

Fathur kehilangan daya tarik di jemari kanannya karena saraf terjepit. Fathur harus di operasi. Namun, hasil dari operasi itu tidak sepenuhnya berhasil. Ada di beberapa jarinya yang terkadar gemetar seperti tremor. Namun kata dokter saat itu adalah efek samping dari operasi. Sampai keluar dari rumah sakit dapat di hitung jari efek samping dari operasi itu dirasakan oleh Fathur. Itu yang dikatakan Fathur saat di tanya Dinara.

"Gue okay." Sahut Fathur melepaskan tangan kanannya dari gas lalu menunjuk Dinara dengan jari jemarinya bergantian.

Sialnya itu membuat Dinara tertawa. Entah kenapa, tapi Dinara senang jika Fathur baik – baik saja. Saat Bara meninggalkan Dinara, Fathur ada untuk menggantikan posisi Bara. Tapi, Dinara tidak puas. Karena rasa Bara dan Fathur beda.

Fathur lebih menyanyangi Dinara dari pada Bara. Tentu saja Dinara mengakui itu. Fathur pernah menyatakan perasaannya dulu. Tapi Dinara menolak. Berbagai alasan. Sampai di mana alasan sebenarnya, Fathur kertahui.

Dinara punya teman yang menyukai Fathur. Dan itu membuat Dinara tidak bisa menerima Fathur. Sampai saat ini, Dinara tidak dapat melupakan temanya yang sudah tenang di surga saat ini.

"Kalo gitu, bisakah kita balapan sampai ke sana ?"

Dinara mulai menaikkan kecepatannya lagi.

Tanpa disadari Dinara, ada jalan berlubang di sana. Dinara melindasnya, dan membuatnya terjungkal lalu terguling beberapa meter dari motornya.

"Aishhhh." Dinara mengumpat.

"Ra. Lo gapapa ?"

Dinara malah ketawa lalu membuka helmnya. "Gapapa, kayaknya tangan kanan gue bakal memar."

Fathur mengangguk lalu membantu Dinara berdiri.

"Kita ada di kawasan Samuel. Apa ga masalah ?"

Dinara tersenyum saat banyak motor mengelilinginya.

"Lo berada di tempat yang salah, Bung."

"Lo masih bisa berantem, Ra ?"

Dinara tertawa lalu mengikat tinggi – tinggi rambutnya, "kita coba aja." 

Senior RuwetOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz