Bab 17

16.7K 1.4K 23
                                    

Bagian 17 : KEJADIAN MASA LALU DINARA DAN BARA

.

.

.

"Jadi – jadi – jadi ."

Bima sudah duduk di depan Dinara. Mereka sudah ada di resto yang tadi ditunjukkan oleh Dinara. Meninggalkan teman – teman yang lain yang masih sibuk berbelanja. Dan tentu saja, Bima tidak sabar menunggu cerita Dinara.

Itu artinya Dinara akan mulai sedikit terbuka untuknya. Dan tentu saja, Bima senang akan hal itu. Kemajuannya baru di mulai. Mengenal lebih dekat dengan Dinara. Sekarang menjadi target Bima. Target selanjutnya, Bima masih memikirkannya.

"Lo tadi ngasih gue kabar buruk, dan lo masih penasaran sama kehidupan gue dulu ?"

Bima mengangguk pelan ragu, "sori, gue tadi ngasih kabar karena baru inget pas liat di depan gue ada yang buka WA."

Seketika Dinara tertawa.

"Apa ?"

Dinara menggeleng, "lo inget Bara nge- WA lo karena ada orang yang buka WA ?"

Anggukan polos Bima membuat Dinara tertawa lagi.

"Apaan si lo, ketawa ga bagi – bagi ?"

Kata Bima sebal. Namun Bima tersenyum, setidaknya Dinara tertawa.

"Ya lucu ga si, kalo lo ga liat WA orang tadi, lo ga bakal inget gitu ?"

Bima menggendikkan bahunya tak acuh, "bisa jadi. Ya gimana si namanya juga lupa. Lo ah." Bima mencebik kesal.

Sedangka Dinara masih saja terkekeh, "okay, gue langsung cerita aja kali ya ?"

Bima mengangguk antusias setelah melepaskan sedotan dari bibirnya.

Awalnya, Dinara bercerita bagaimana dia nakal sewaktu masuk sekolah menengah pertama, di mana itu adalah satu ke kecauan yang diakibatkan oleh orangtua yang sering bertengkar. Bagaimana pun, anak usia dua belas tahun, jika di hadapkan hal tentang orang tua yang bertengkar tetap saja membuat stress yang luar biasa.

Maka dari itu, Dinara menjadi sosok yang kasar kepada orang – orang yang lemah. Dinara benci pada orang – orang lemah. Maka dari itu Dinara mem- bully orang – orang lemah untuk menjadikannya semakin kuat.

"Itu ga bisa dijadiin alasan kenapa lo nge – bully, Di." Kata Bima setelah Dinara berhenti untuk sekedar berterima kasih pada orang yang membawakannya makanan di meja.

Dinara mengangguk, "gue tau. Tapi itu yang terjadi sama gue, Bim. Gue ga bisa liat orang lemah."

"Jadi lo ngerasa kuat gitu ?"

Dinara diam. Tentu saja tidak. Dia punya kelemahan yang mungkin tidak bisa orang lihat. Bima yang mengerti akan suasana canggung yang terjadi di antara mereka berdeham.

"Terus gimana cara lo berhenti nge- bully ?"

Dinara mengerjap lalu menatap Bima dan tersenyum. "Gue ketemu Bara."

Sekarang giliran Bima yang terperanjat. Kasusnya sama dengan dirinya. Dia sudah mem- bully orang selama ini. Kurang lebih dari dua tahun yang lalu. Dan semenjak ketemu Dinara, Bima berhenti. Berhenti begitu saja. Entah kenapa, tapi Bima memutuskan itu dengan mudah.

Dinara bercerita jika dia bertemu dengan Bara yang super dingin dan mengerjai Bara waktu itu. Tapi Bara selalu saja berhasil membuat Dinara marah. Di saat itu, Dinara yang butuh pegangan dan Bara ada di situ.

Bara selalu ada untuk Dinara. Dan mengerti Dinara luar dalam. Bara selalu bisa membuat Dinara menahan emosinya dan Dinara menjadi perempuan yang kalem. Di tambah lagi kata – kata Bara waktu itu sangat mengubah hidup Dinara.

"Lo boleh sedih. Tapi lo sebaiknya ga nunjukin sedih itu ke orang lain. Karena itu yang bikin orang ngeremehin lo."

Bima berdecak setelah Dinara menyelesaikan kalimat dari Bara di masa lalunya. "Kenapa dah ?" Tanya Dinara pada Bima yang tadi berdecak.

"Ya aneh aja. Cowok kayak gitu lo pacarin."

Kekehan Dinara terdengar di telinga Bima, "terus cowok yang kayak lo yang harus gue pacarin ?"

Bima mendelik, "iya. Kita pernah dalam satu sisi yang sama. Bukankah itu cocok ?"

Dinara menggeleng, "satu sisi yang sama tidak mengartikan bahwa kita sama – sama cocok, Bima."

"Kenapa ?"

Dinara menyuapkan makanannya, mengunyah dan menelan. Bima masih menungguinya.

"Ya karena kadang – kadang satu hal yang sama ngebuat kita harus berdebat tentang siapa yang terbaik di satu sisi itu."

Bima terdiam. Benar juga. Bima selalu merasa trik bully yang dipakainya sangat baik. Dan Putra juga selalu baik dalam hal itu. Mereka sering berdebat. Memperebutkan trik siapa yang akan di pakai.

"Ya udeeeeeh kalah deh gue." Seru Bima kemudian.

Dia melanjutkan makannya.

"Tapi menurut gue, perkataan Bara waktu itu ada salahnya."

"Kenapa salah ?" Tanya Dinara sambil mengerutkan keningnya.

Pasalnya, Dinara sangat amat setuju pada perkataan Bara waktu itu. Dan kenapa dengan Abima yang mengatakan itu salah. Tidak sopan.

"Ya salah. Lo boleh sedih. Tapi jangan berlarut – larut. Lo juga boleh tunjukin kesedihan lo ke orang lain. Supaya orang lain respect sama lo."

"Gue ga mau orang lain kasian sama gue gara – gara tau gue punya kesedihan."

"Ga ada salahnya orang lain kasian sama lo."

"Gue ga mau, Bim."

Bima menghela nafasnya. "Setidaknya dengan orang lain tau lo sedih, orang lain itu ga bikin lo tambah sedih dan malah ngehibur lo."

Dinara diam, "gue ga mau orang ngeliat gue karena kasian sama gue, Bim."

Anggukan dari Bima membuat Dinara menatap Dinara lembut, "gue ngerti. Tapi seenggaknya lo punya orang yang lo percaya kalo dia ga ngeliat lo gara – gara kasian sama lo."

Dinara diam.

Dinara hanya terkekeh, "by the way, mau lanjutin ga ceritanya ?"

Sebenarnya ini cara untuk mengalihkan pembicaraan agar tidak membicarakan hal itu lagi.

Bima menatap Dinara. "Lah belom selesai ?"

Gelengan dari Dinara membuat Bima tersenyum. "Lanjut dong lanjut, jadi gimana – gimana ?"

Dinara melanjutkan ceritanya, Bara membuatnya nyaman. Dan saat Bara tau tentang ayah Dinara dan juga ibunya sendiri, perlakuan Bara sangatlah berbeda. Sikap dingin dan tidak peduli ditunjukkan Bara pada Dinara hanya sekedar untuk membuat Dinara benci terhadap Bara.

"Sampai hari ini, gue ga pernah benci sama Bara. Gue cuman sangat kecewa. Dia menyembunyikan apa yang seharusnya gue tau sejak awal."

Dinara mendesah kecil.

"Apa jika Bara bilang semua tentang nyokapnya sendiri dengan bokap lo, lo ga akan kecewa ?"

Dinara menatap Bima. Dinara sejak tadi menunduk. Dia tidak ingin Bima melihat raut wajah sedih dirinya sendiri.

"Gue ga terlalu yakin, tapi rasanya pasti akan berbeda. Tidak akan sejauh gue sama Bara sekarang. Mungkin. Gue ga pernah tau."

Bima hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

"Gue tau lo ga benci sama Bara, tapi lo mengubah sikap lo di depan Bara. Apa itu balas dendam lo untuk Bara ?"

Gendikkan dari Dinara membuat Bima mengerutkan keningnya.

"Gue tau lo yang sekarang bukanlah lo yang sebenarnya, kenapa lo suka sekali nunjukin semua yang palsu, Di ?"

Dinara lagi – lagi menghela nafas berat.

"Kalau lo liat gue yang asli, lo bakalan kaget."

'Emang lo yang asli jadi bertaring dan berbulu ?" 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now