Bab 22

19K 1.7K 81
                                    

Bagian 22 : PERTANDINGAN BASKET RAHASIA

.

.

.

Ayahnya mendekati Dinara.

"Ayah ga ngerti apa yang kamu maksud, Ara."

Dinara benar – benar tidak habis pikir. Bahkan ayahnya saja tidak mengerti apa yang Dinara inginkan. Lalu siapa yang akan mengerti Dinara untuk saat ini ?"

"Apa ayah tau yang benar – benar Dinara butuhin ?"

Ayahnya diam. Dinara lagi – lagi tersenyum meremehkan. Tentu saja. Siapa yang tau apa yang dibutuhkan Dinara selain Dinaranya sendiri.

"Ayah ga tau ?"

Ayahnya menggeleng pelan lalu menunduk. Seakan mengakui apa kesalahannya dan tidak ingin mendebat anaknya sendiri.

Dinara cukup kesal, dia menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya kasar. Dinara sudah mengepalkan tangannya untuk meredam emosinya.

Ketika Dinara siap untuk melontarkan kata – katanya pada ayahnya, tangan lembut Bara mengenggam erat kepalan tangan Dinara. Di sebelahnya ada baby sister yang mengurusi bayi yang disebut sebagai adiknya Bara.

"Ara, kita bicara berdua. Boleh ?"

Sialnya, Bara kembali memenangkan hati Dinara. Kenapa Dinara sama sekali tidak bisa sebenci itu pada Bara. Semakin Dinara membenci Bara, Dinara semakin tidak bisa melepaskan Bara. Bahkan sebagai kakak tiri Dinara, Bara tetap bersikap selembut itu manjadikan Dinara salah paham akan hal itu.

Dinara di tarik keluar. Taman belakang keluarga Bara cukup luas. Ada kolam renang di sana. Dulu, saat masih pacaran dengan Dinara, Bara sering mengajaknya berenang di sana. Bisa di tebak, bagaimana jahatnya Silvi pada Bara dan juga Dinara ?

Dia sudah tau jika anaknya berpacaran dengan laki – laki yang sedang dekatnya. Bukan menjauh, tapi Silvi semakin senang melihat bunda Dinara menderita. Dan bagaimanapun juga, wanita yang Dinara niati akan dibencinya seumur hidup tidak bisa membuatnya benci karena ayahnya sangat menyayangi wanita sialan itu.

"Ara, lo ga bisa benci mereka bukan ?"

Dinara mengangguk pelan tanpa mau menatap Bara yang masih mengenggam tangannya. Benar – benar sial hidupnya. Kenapa hal ini harus terjadi pada dirinya. Banyak hal yang menyebabkan ini terjadi, salah satunya Bara yang mengijinkan ibunya meneruskan hubungan ini sampai titik ini.

Mengingat itu, Dinara melepaskan genggaman Bara. "Dan lo tau kenapa ?"

Bara kini mengangguk, "sori. Gue ga tau lo bakal sehancur ini."

Kini Dinara menatap Bara lalu tertawa meremehkan, "Lo ga tau gue sehancur ini, Bara ?"

Bara melayangkan tangannya untuk kembali mengenggam tangan Dinara tapi Dinara mundur selangkah. Dinara mungkin tidak ingin di sentuh lagi oleh Bara. Itu menurut Bara. Dinara bungkam. Tawanya tadi hilang digantikan gertakan rahangnya yang mengeras.

"Gue nyesel buat lo kayak gini, Ara."

"Ya. Dan harusnya lo memikirkan panjang tentang ijin lo buat nyokap lo."

Dinara pergi dari sana. Di taman belakang adalah bagian paling terbuka di rumah Bara. Tapi rasanya sangatlah sesak untuk Dinara tetap berada di sana. Dinara bertemu dengan ayahnya lagi. Dia sedang duduk disamping Silvi yang mengendong anak bayi perempuan dengan senyuman tanpa dosa.

Namun hal itu yang membuat Dinara sangat benci bayi itu.

Ayahnya berdiri lalu tersenyum kearah Dinara.

"Ara, ini ayah bawain ke mobil kamu ya." Ucapan ayahnya seakan bisa meluluhkan Dinara. Namun Dinara malah mendengus.

"Cari tau apa yang aku butuhkan dulu ayah," kata Dinara lalu menatap Silvi yang tersenyum seperti merasa bersalah. "Selanjutnya, mungkin aku akan memaafkan ayah dan wanita itu."

"Yang kamu sebut wanita ini sekarang ibumu, Ara." Masih dengan lembut ayahnya Dinara berbicara pada Dinara yang sudah bergegas untuk keluar.

"Bagiku, ibuku adalah tetap Bunda. Tidak ada yang lain."

Dinara pergi dari sana. Meloloskan mobilnya pada jalanan yang cukup padat sore ini. Dinara merasa pengap. Dia membuka jendela mobilnya. Menghirup banyak – banyak oksigen yang ada. Seperti tidak ada hari besok untuk menghirup oksigen yang mungkin sudah terkontaminasi zat kimia lainnya. Dinara begitu serakah menghirup oksigen di sekitarnya.

"Kalo bunda nikah, mungkin baiknya gue mati."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Dinara sudah ada di apartemennya saat ponselnya berdering.

'Lo udah sampe rumah ?'

Gege yang menelepon. Tumben dia langsung nelpon tanpa janjian terlebih dahulu. Dan kenapa juga sikapnya aneh.

"Hm, baru sampe apartemen. Kenapa Ge ? Tumben nelpon gue."

'Dari mana dulu lo ? Main ? Okay ga ajak – ajak.'

Dinara menghela nafas lalu mendudukkan bokongnya di sofa menatap televisi dan menyalakannya. Gege ini suka berfikir negatif sebelum mengetahui apa yang terjadi. Tentu saja, ini sikap Gege. Dan Dinara tidak terganggu oleh sikap Gege yang satu ini.

"Dari rumah bokap."

Terdengar suara orang kaget di sebrang telepon Dinara. Suara nafas tercekat lalu hembusan nafas kasar. Gege sepertinya kaget.

'Rumah Bara dan si pelakor ?'

Dinara terkekeh dengan sebutan untuk ibu tiri sekaligus ibunya Bara dari Gege. Pelakor mungkin terlalu bagus untuk orang seperti Silvi. Hanya saja sikap Silvi belakangan ini agak berbeda. Dia lebih memperlihatkan sikap lembutnya daripada sikap ular seperti waktu itu.

"Hem. Lo kenapa nelpon ?"

'Ya ampun. Gue sampe lupa mau mengabarkan hal tentang Bara lagi.'

Dinara diam. Dia sudah cukup dengan kabar Bara. Dan rasanya Dinara ingin menghilangkan Bara dari muka bumi ini jika bisa.

"Kenapa sama Bara ?"

'Katanya, tim basket kita bakalan tanding sama tim basketnya Bara diluar jam sekolah.'

Ah. Tentu saja. Dinara hampir lupa jika Bara adalah anak basket yang cukup terkenal di sekolahnya dulu. Saat dia dan Bara duduk di bangku sekolah menengah pertama, Bara merupakan sosok dingin dengan kegiatan super sibuk di tim basket. Pengatur strategi yang baik. Dan tentu saja, kapten tim basket dulunya.

"Terus apa hubungannya sama gue, Ge ?"

Gege terdengar mendesah di ujung sana. Sepertinya Gege mulai menyadari betapa lemotnya Dinara dalam urusan gosip dan cowok di sekolahnya.

'Ya ampun, Ra. Lo ga tau Bima ada di di tim basket sekolah kita ? Sama temen – temennya yang lain ?'

Dinara yang tadi berniat beranjak dari sofa untuk ke kamar mandi kini terduduk kembali. Bima tidak pernah kelihatan main basket selama bermain bersamanya. Dinara memang pernah melihat Bima main basket bersama teman – temannya di dalam tim ubur – ubur, tapi Dinara kira tidak seserius itu.

'Jangan – jangan lo beneran ga tau kalo Bima handal dalam main basket.'

Dinara menggeleng spontan.

'Kalo gitu lo harus tanyain langsung sama Bima. Di mana tempat dan jam berapa pertandingan itu dimulai.'

Dinara sekarang bingung. Bukankah pertandingan basket seperti ini harus disaksikan oleh anak – anak sekolah bersama – sama untuk tetap saling menyemangati ? Kenapa harus Dinara menanyakan langsung pada pemain ?

'Gue lupa lo anak baru.' Gege mendesah lagi, mungkin melelahkan untuk Gege berteman dengan Dinara yang tidak tau apa – apa tentang sekolahnya.

'Pertandingan ini rahasia diluar sekolah. Hanya undangan dari inti pemain yang bisa datang. Gue biasanya diundang sama Juan yang ikut main. Lo harus dapet undangan lainnya, Ra.'

"Kenapa gue harus dateng ? Emang Bima siapa gue ?"

Senior RuwetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang