Bab 31

15.9K 1.5K 145
                                    

Bagian 31 : CERITA WAKTU DINARA HILANG

.

.

.

Setelah Dinara selesai pindahan walaupun belum menata barang, Dinara melakukan hal yang paling disukainya. Tidur – tiduran, males – malesan dan diam. Teman – temannya sudah pulang sejak sore tadi. Mereka ikut bantu memasukkan beberapa barang. Ikut makan dan juga mandi. Katanya, tubuh mereka lengket setelah bekerja keras untuk Dinara.

Ah, Dinara sebenarnya tidak ingin memberitahu teman – temannya jika dia pindah tempat tinggal. Namun sayang, Gege tidak bisa di ajak kompromi.

Malah membuat mereka datang ke sini dan menjadikan kamar kedua setelah kamar utama adalah kamar untuk mereka.

"Gue bakal dateng lagi besok. Gue mau nata ruangan itu." Ucap Desta semangat menunjuk kamar kedua dari tempat tinggal Dinara.

Di apartemen ini, Dinara punya dua kamar. Sama persis seperti kamar Fathur. Kata Desta, kamar yang itu mau di rombak jadi studio mini. Untuk nonton netflix atau nonton DVD doang. Bisa juga sebagai tempat menginap bareng dan ngobrol bareng. Ruangan itu cukup lega untuk semua hal yang Desta inginkan.

Gege sempat mengomel tadi, "emangnya, ini apartemen lo. Seenaknya aja nguba – ngubah ruangan punya orang."

Dinara bahkan tertawa terbahak saat itu. Dinara sebenarnya tidak masalah ruangan itu dijadikan apa. Lagian, di apartemen ini, Dinara akan memakai satu kamar saja. Jadi kemungkinan besar, jika tidak ada Desta, Dinara akan menjadikan ruangan itu sebagai gudang. Mungkin. Dinara belum sempat berfikir.

Dinara suka tempat ini. Setelah dilihat lebih lama, kamarnya jadi mengasikkan. Selain kedap suara, Dinara bisa senyaman ini hanya di sini. Maksudnya, dulu di kamar Fathur juga nyaman. Dinara kira, tidak akan sama. Tapi benar – benar sama. Hanya saja tata ruang yang sedikit berbeda.

Fathur sebenarnya ada di kamar sebelah. Persis di sebelah Dinara. Jangan ditanya dia kenapa di sini. Orang tuanya worker holic dan dia ditinggal disini dengan berbagai macam fasilitas yang ada. Dan tentu saja, Fathur memanfaatkan itu dengan sebaik mungkin.

"Semoga aja, ga mimpi buruk lagi."

Mungkin karena lelah, Dinara terlelap begitu saja. Tanpa ada obat dan alkohol.

Dinara terbangun tapi pandangannya gelap. Dinara lupa menyalakan semua lampu di apartemen barunya. Dinara meraba – raba di sekitar kasur berukuran queen size itu untuk mencari ponselnya. Sialnya, Dinara benar – benar kaget ketika ponselnya bergetar.

'Bara's Calling'

Dinara benar – benar bingung untuk sekejap, berterima kasih pada Bara yang sudah membantunya mencari ponsel sampai akhirnya Dinara bisa menyalakan seluruh lampu di apartemennya. Atau malah kesal bercampur marah, karena dia sedang tidak mau berbicara pada Bara.

Namun, Bara tidak akan berhenti menelponnya sampai Dinara benar – benar menjawabnnya. Dan pada akhirnya, Dinara mengalah.

"Kenapa ?"

'Lo di mana ? Lo pindah ga bilang gue, Ara ?'

Dinara sangat tau, jika Bara di sana menahan amarahnya pada Dinara. Namun sesuai janjinya waktu itu, bahwa, Bara tidak akan memarahinya jika Dinara berbuat aneh – aneh lagi.

Sedikit cerita tentang peristiwa Dinara mabuk gegara ibunya Bara melahirkan seorang anak perempuan dengan wajah hampir mirip Dinara, Bara membawanya ke satu tempat. Di mana Dinara benar – benar dimanjakan dengan pemandangan pedesaan. Tanpa sinyal pponsel dan bunyi bising pabrik dan kendaraan.

Di sana sunyi.

Bara mulai mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Bara mengungkapkan jika dia menyesali perbuatannya waktu itu. Di mana Dinara tidak tau harus berpegangan dan bersandar pada siapa saat melihat ayahnya menikah dengan ibunya Bara dan ibunya Dinara sedang ada acara keluar negeri untuk masalah rumah sakit.

Dinara hanya diam memandang ayahnya yang bertegur sapa pada tamu undangan saat itu. Bara tidak bisa berbuat apa – apa. Status Bara saat itu masih menjadi pacar Dinara. Dinara menangis dan meninggalkan tempat di mana ayahnya menggelar peristiwa tidak enak itu untuk Dinara.

Bara mengungkapkan, dia tidak bisa berbuat apa – apa karena bingung. Saat itu, Bara juga tidak bisa mengejar Dinara. Pegangan hati untuk membahagiakan ibunya adalah yang terpenting saat itu. Dan Bara menyesalinya.

"Gue beneran nyesel, Ara." Ucap Bara saat berada di villa yang di sewa Bara.

"Kemana aja lo selama ini, Bara ? Lo harusnya kejar gue saat itu. Lo masih pacar gue waktu itu."

Bara menggeleng, "gue udah minta putus sama lo, Ara. Dan gue udah jelas mengakhiri segalanya saat kita di Bali untuk memperjelas hubungan apa yang bisa kita tempuh setelah orang tua kita nikah."

"Apa gue setuju dengan sikap lo yang seenaknya itu, Bara ? Gue ga pernah setuju." Dinara mengucapkan itu dengan nada datar. Dengan nada tanpa intonasi dan tanpa menatap Bara. Seperti tanpa ada kesedihan.

"Ara."

"Gue benci sama lo. Lo ninggalin gue saat gue bener – bener butuh lo." Kata Dinara lagi. "Padahal, saat nyokap dan bokap gue berantem, lo janji akan ada di samping gue. Nyatanya ?"

Dinara benar – benar kesal untuk sikap Bara selama ini. Yang selalu menganggap remeh perasaan Dinara pada dirinya. Yang selalu cuek kepada dirinya. Dan yang selalu tidak peduli apa yang sedang terjadi padanya.

Dan sekarang Bara mengatakan dia menyesal ?

Dinara mungkin tidak akan semudah itu lupa hanya dengan kata maaf dan semua alasan penyesalan dari Bara.

"Gue harus apa supaya lo ga bersikap gini sama gue, Ra ?"

Dinara diam memikirkan apa yang akan terjadi jika Bara bersikap seperti Dinara waktu tergila – gila pada Bara.

"Lo harus bisa balikkin gue ke gue yang dulu. Yang jahat tanpa belas kasihan dan yang bisa semena – mena sama orang lemah. Gue benci orang lemah."

Lagi – lagi Bara menggeleng, "ada hal lain yang bisa ngebuat lo ga gini sama gue ?"

"Lo harus ngerasain apa yang gue rasain saat lo bersikap seperti ini ke gue yang dulu." Dinara mengangkat lengannya lalu melipat di depan dada.

"Apa gue harus bersikap lembut dan penuh perhatian sama lo ?"

"Itu bisa di coba."

Sebenarnya, setelah kejadian pernikahan ayah dan ibunya Bara, Bara sedikit melunak pada Dinara selaku adik titinya. Dan mungkin sebenarnya, Bara bersikap seperti itu adalah rasa sesal dan rasa bersalah pada Dinara. Tidak murni dari ketulusan hati Bara. Dan mulai sekarang, Bara akan menggunakan hatinya.

Bersikap lembut dan penyayang.

Dan perhatian juga menahan emosi. Sampai pada akhirnya, Dinara menghabiskan waktu seminggu untuk menenangkan diri lagi. Menjauhi alkohol dan obat. Tapi tetap tidak bisa. Dinara bahkan hampir tidak bisa tidur selama seminggu itu. Hanya beberapa jam dan terbangun.

"Ada, besok lo boleh ke sini." Dinara membalas ucapan Bara yang sedang bertelepon dengannya.

'Kenapa ga sekarang aja, Ara ?'

Dinara melirik jam dinding di atas TV. Lalu berdecak. Ini sudah jam sepuluh malam. Untuk apa juga, Bara menemui Dinara. Lagi pula, dia sedang malas bertemu berdua dengan Bara. Jika di temani Fathur, mungkin akan terjadi keributan di sini.

"Besok bakal ada temen – temen gue."

Terdengar hembusan nafas dari sebrang.

'Gue mau ngomong berdua sama lo.'

"Gue yang ga mau, Bara. Please, ngertiin gue lagi."

Bara lagi – lagi menahan nafasnya lalu menghembuskannya kasar.

'Okay, gue besok ke sana.' Ucap Bara pada akhirnya.

"Gue juga mau ngenalin tetangga gue. Dan gue harap lo ga terkejut." 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now