Bab 73

94 8 0
                                    

Bagian 73 : TITIK TERENDAH SEORANG DINARA

.

.

.

"Ara, ini sudah baju ke lima dan kamu hanya bilang semuanya bagus."

Dinara melirik ibunya yang kesal karena respon Dinara yang cukup dingin dan tampak tidak tertarik dengan yang sedang di lakukan sang ibu.

Dinara berdecak kecil, "apa bunda kurang paham bagaimana aku sekarang ?"

Ibunya dia. Sulit rasanya jika harus menjawab pertanyaan Dinara. Ibunya butuh seseorang untuk melengkapinya, tapi Dinara butuh seorang ibu untuk menuntunnya. Dan jika ibunya saja tidak mau mendengar apa yang di inginkan Dinara sebagai anaknya, apa harus Dinara mendengar semua yang di suruh ibunya ?

Dinara rasa, itu tidak perlu.

Pada akhirnya, hembusan nafas lelah dari tubuh Dinara keluar begitu saja. Dinara beranjak dari kursinya. Memasukkan ponselnya lalu maju mendekati sang ibu yang masih memakai gaun berwarna tosca dengan keemasan di setiap lekukan tubuhnya.

Tiba - tiba saja Dinara merendah untuk berlutut di depan ibunya dan di depan semua orang yang ada di sana.

Dengan lututnya diatas lantai, gadis itu membuang semua rasa malu dan menulikan pendengarannya dari orang di sekitarnya.

"Bunda, aku sangat merendahkan diriku kali ini untuk mendengar jawaban yang bisa membuat aku meninggalkan zona nyamanku yang sekarang sedang aku jalani."

Semua orang di sana berbisik. Dan Dinara sudah tidak perduli dengan apa yang mereka bisikkan dan apa pandangan mereka untuk Dinara.

Dinara janji, ini terakhir kali Dinara memohon.

Jika ibunya masih mau melanjutkan pernikahan ini, maka ibunya akan kehilangan sosok Dinara. Meskipun Dinara di berikan uang setiap minggu dan uang di setiap bulan, Dinara akan menyimpannya. Tapi Dinara mungkin tidak akan sudi melihat ibunya lagi.

Durhaka ?

Apa itu adil ?

Anak bisa durhaka kepada ibunya. Apa tidak ada hukuman bagi ibu yang sudah menelantarkan anaknya. Bukan dalam artian yang sebenarnya. Tapi menelantarkan dan membuat menderita. Batin dan juga mentalnya.

"Bunda bisa batalin pernikahan ini ? Demi aku bunda ?" Ucap Dinara lagi menunduk.

"Ara, kita sudah sering bahas ini. Bunda perlu bahagia."

Dinara sekarang tersenyum kecil. Lalu terkekeh. Dinara sudah tidak bisa menangis lagi. Apalagi di depan orang yang secara tidak langsung membuat hatinya sakit.

Dinara berdiri. "Terus, apa bunda ga bisa liat aku bahagia ?"

"Punya keluarga baru bisa membuat kamu bahagia, Ara ."

Dinara menggeleng keras, "apa bunda pernah tanya apa kebahagiaan itu ? Apa yang bisa ngebuat aku bahagia ? Kenapa bunda seegois ini ? Sampai tidak pernah bisa barang sedetik menanyakan kebahagiaan aku itu apa ? Pernah bunda bertanya ?"

Air mata Dinara sudah keluar. Tapi tatapannya masih dingin. Dinara tidak bisa mengendalikan air matanya. Bundanya diam.

"Bunda hanya berusaha mencari jalan yang terbaik."

"Apa dengan menikah lagi, bunda menjadi pribadi yang baik ?"

Hati bundanya sakit.

"Apa bunda tidak bisa untuk tetap nemenin aku ? Aku bisa kok bunda diam di samping bunda."

Dinara hampir saja kelepasan untuk mengatakan, 'yang aku tidak bisa adalah memenuhi kebutuhan biologis bunda' dan mungkin itu akan cukup kasar.

"Ara." Panggil bundanya.

Dinara mengangguk, "ga papa. Bunda." Dinara tersenyum.

"Antar aja baju yang bunda suka ke apartemen. Dan untuk undangan, kirim juga ke sana." Dinara bergerak menjauhi ibunya.

"Ah satu lagi," kata Dinara berhenti lalu menatap bundanya Dinara, "aku ga janji bakal dateng."

* * ** * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

'Bim, lo dimana ?'

Bima bangun dari tempat duduknya saat Gege menelepon dengan suara panik.

"Kenapa, Ge ?"

Gege sudah panik, 'ini udah jam setengah tiga tapi Dinara ga ada di apartemen.'

Lagi.

'Lo ga ada ngehubungin Dinara gitu ?'

Bima diam. Bima hanya menghubungi Dinara saat dia sudah sampai rumah. Dari sana, Dinara tidak ada menghubunginya. Setelah itu, Dinara sudah tidak menghubunginya.

"Gue cari dia."

Setelah mengatakan itu, Bima mematikan ponselnya dan masih mencoba menghubungi Dinara. Tapi nihil. Tidak di jawab. Bima langsung mengambil kunci mobilnya. Bebarengan dengan di bukanya pintu utama oleh Bima. Ibunya juga masuk.

"Mau kemana, Abim ?"

Bima sudah muak dengan panggilan itu. Lalu bergumam, "cari angin."

Setelah itu, Bima mengendarai mobilnya. Ke arah yang sama seperti waktu itu. Bima sudah tau dimana Dinara akan ada. Tapi saat Bima sampai di sana, Dinara tidak ada. Dinara tidak ada di sana.

Bima turun dari mobilnya. Mengambil ponselnya yang bergetar lalu melihat isi ponselnya. Ibunya, sedang mencoba mengubunginya. Tapi Bima tidak sedang ingin di hubungi. Jadi Bima menolak panggilannya.

Bima naik lagi ke mobilnya lalu mulai menjalankan lagi mobilnya. Menuju jalan pulang. Tapi saat Bima memutar, Bima melihat seseorang menuju ke arahnya.

Kakinya menginjak pedal rem mobilnya. Bima diam sebentar untuk memastikan penglihatannya. Lalu saat mobil itu berhenti, seseorang turun. Duduk di atas kap mobilnya. Itu yang di lihat Bima.

Kepalanya memutar lagi melihat seseorang sedang duduk di atas kap mesin mobil, menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan yang memeluk lututnya sendiri. Tangan Bima bergerak mengetik pesan singkat.

"Ma, aku ga pulang sekarang. Di sini ada yang lebih butuh aku, ma. Yang penting aku udah izin. Mama jangan marah. Aku bakal pulang pagi nanti dan jelasin semuanya."

Bima kembali memutar balikkan mobilnya lalu memarkirakan mobilnya di sebelah mobil yang sudah bisa di kenalnya sekali tatap.

"Di."

Dinara mendongkak melihat ke depan. Setelah memanggil Dinara, Bima kaget melihat Dinara menangis. Bima dengan cepat naik ke atas kap mobil.

"Di. Lo boleh nangis. Di depan gue. It' s okay."

Bima langsung memeluk Dinara. Dinara diam tapi nafasnya masih tidak teratur. Sesegukan dan air matanya menangis. Bima memperdalam pelukannya pada Dinara saat Dinara mulai memeluk Bima. Dinara sudah rapuh.

"Lo oke, Di. Gue ada di sini buat lo." Kata Bima pelan di samping telinga Dinara

Bima seakan ikut teriris hatinya. Baru saja, Dinara merasakan kebahagiaan dan berbagi segalanya dengan Bima, Dinara harus sakit lagi. Bima mengusap lembut kepala Dinara. Dinara masih menenggelamkan wajahnya di dada Bima.

"Gue sekarang cuman punya lo." Kata Dinara pelan tapi masih cukup terdengar oleh Bima.

"Please, jangan tinggalin gue."

Bima mengangguk. Pelan tapi Dinara mulai tenang. Tangisan Dinara berhenti. Pelukan erat Dinara sudah mulai mengendur. Dinara sudah bernafas teratur walau sesekali ada segukan yang masih tersisa.

"Bi. I need you."

"I'm here, Di. I'm here." 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now