Bab 33

15.8K 1.3K 56
                                    

Bagian 33 : PERJALANAN BARA DAN DINARA

.

.

.

Bara masih ada di apartemen Dinara walaupun malam sudah menjelang dan teman – teman yang lain sudah pulang. Bara masih menatap Dinara yang menonton televisi dengan muka datar. Sekali – kali Dinara mengambil camilan dan minumannya.

Sepertinya, Bara tidak dianggap keberadaannya oleh Dinara.

'Ara, gue mau ngomong."

Bara masih berusaha untuk mempertahankan sikap lembutnya sesuai janjinya kemarin – kemarin.

"Ngomong aja."

Desahan mulut Bara membuat Dinara meliriknya sebentar lalu kembali fokus matanya ke TV yang menayangkan program acara makan di pantai.

"Gue waktu itu ninggalin lo ada sebabnya."

Dinara berhenti dari segala aktifitasnya. Dinara makin pusing dibuat berfikir malam ini. Dinara sangat tidak ingin membahasnya. Tapi, Dinara rasa dia sudah siap dengan apa yang akan Bara katakan.

Cerita singkat tentang kehidupan Dinara sebelum dia bersikap dingin kepada Bara dimulai ketika dia selalu saja membully teman – teman sekolah menengah pertamanya yang dianggap lemah oleh Dinara. Saat itu, teman – temannya banyak. Memanfaatkan kekayaan dan keistimewaan yang Dinara dapat dari sosok kuat Dinara.

Saat itu, Dinara senang membully karena dia sudah sangat muak dengan keadaan rumah yang semakin tidak jelas. Kelas tiga sekolah menengah pertama, Dinara mulai berhenti membully karena menyukai Bara yang dengan sosok dingin dan membuat Dinara tidak bisa lepas dari pesona Bara.

Bara yang dengan sikap cueknya dan Dinara yang sikap manjanya kepada Bara.

Dinara membuat pengumuman sepihak kepada orang – orang di sekitarnya bahwa Bara dan Dinara sudah berpacaran sejak Dinara dekat dengan Bara. Bara tidak menyangkal dan tidak menerima. Dia diam dan Dinara menganggap itu seperti persetujuan untuk Dinara.

Tapi, Bara mulai menyukai Dinara. Atau lebih tepatnya mengasihani Dinara dengan segala jenis kehidupan yang Dinara miliki. Untuk itu, Bara mulai ada di samping Dinara. Kemudia, saat Dinara ada di posisi sulit memilih kemana dia harus ikut antara bunda dan ayahnya, Bara sudah mengetahui jika ayahnya Dinara akan menjadi ayahnya Bara juga nanti.

Bara sudah sangat menyesali atas kebohongannya saat itu. Bara tidak seperti Bara yang dulu selalu cuek dan dingin terhadapa Bara. Bara menjadi sosok yang hangat ketika Bara tau, ayahnya Dinara akan menjadi ayahnya juga.

Seketika, Dinara diruntuhkan dengan kenyataan pahit begitu Bara mengatakan siapa yang akan di nikahi ayahnya Dinara. Dinara merasa perasaannya sangat terkhianati. Dinara merasa seolah sikap Bara yang lembut dan mulai memperhatikannya itu adalah sebagai bentuk kasihan kepadanya. Dan Dinara benci itu.

Dinara berhenti sekolah normal. Dia sering sekali keluar masuk club. Dia sering bertemu dengan Fathur karena Fathur ada setelah Dinara tidak memperdulikan Bara.

"Gue ada urusan mendadak saat tau lo ada di sana, Ra."

Dinara tertawa pelan. Keadaan mereka sungguh sangat Dinara sesali. Harusnya, Dinara dari awal tidak pernah tertarik kepada Bara. Dan Bara seharusnya tidak muncul ketika Dinara sedang membully orang lemah saat itu.

"Urusan macam apa yang ngebuat lo pergi dalam keadaan gue sekarat, Bara ?"

Dinara membalas ucapan Bara dengan suara dalamnya. Suara terendah yang Bara ingat saat Dinara bilang dia tidak akan menganggap Bara sebagai kakaknya. Dan Bara hanya diam ketika ditanya Dinara seperti itu.

Bara sangat tidak suka dengan darah. Mungkin itu bisa menjelaskan kenapa Bara lari dari Dinara dengan berlumuran darah. Dan jika Bara mengungkapkan hal itu, mungkin Dinara akan menganggapnya sebagai alasan.

"Urusan lo itu sama pentingnya kayak kehidupan gue ? Gimana kalo Fathur ga pernah lewat sana ?"

Skakmat.

Lagi – lagi Bara tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan Dinara.

"Katanya lo mau ngomong. Kenapa ditanya gitu aja lo ga bisa jawab ?"

Dinara benar tentang Bara yang lebih brengsek dari Fathur.

Bara sama brengseknya sama seperti Fathur. Atau bahkan lebih brengsek dari Fathur ?

Meninggalkan yang merupakan adik tirinya di jalanan sempit dengan lampu remang – remang juga dalam keadaan sekarat berlumuran darah. Apa yang lebih brengsek dari itu.

"Ara. Gue minta maaf, tapi alasan gue yang sebenarnya mungkin akan lo jadikan sebagai bahan cemoohan."

"Apa alasan lo sebenarnya ?"

"Gue takut liat banyak darah."

Dinara diam lalu tertawa. "Lo pernah ngobatin gue, Bara. Kenapa lo baru bilang kalo lo takut darah ?"

Bara menatap Dinara.

"Ara. Gue takut darah yang keluar banyak dari tubuh seseorang. Luka lo kemarin, ga sebanyak itu."

Bara benar – benar sangat takut.

"Apa lo pernah berfikir kalo gue punya trauma juga ?"

Dinara diam.

Bara pernah berkata jika ayahnya ditikam dan dipukuli di bagian kepalanya sehingga menyebabkan keadaan ayahnya kritis dan tidak bisa di tolong. Bara juga pernah bercerita jika ayahnya dalam kondisi kritis itu ditemukan oleh Bara yang saat itu masih berumur sekitar enam tahun. Dinara tidak lupa jika Bara juga sempat berkonsultasi pada ibunya Dinara untuk hal ini.

"Bukannya trauma lo udah sembuh ?"

Dinara bertanya pelan. Dia sangat tidak memikirkan keadaan Bara. Dinara sepertinya sudah egois ketika Bara sudah tidak memperdulikan keadaan Dinara waktu itu.

Bara menggeleng, "lo fikir trauma bisa sembuh total ?"

Dinara benar – benar memiliki emosional yang buruk. Dinara benar – benar hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan siapa yang ada di depannya dan sedang diajak bicara.

"Sori. Bar."

Bara mengangguk lalu menunduk.

"Gue ga pernah mikirin trauma lo itu."

Bara mendesah. "Gue ngerti. Lo juga punya trauma ditinggalkan sampai pada akhirnya, lo ga bisa menerima orang lain sedekat kita dulu."

Giliran Dinara yang mengangguk, ucapan Bara benar. Dinara tidak bisa menerima siapapun lagi kini. Dekat boleh. Hanya saja, Dinara tidak mau bergantung seperti dirinya bergantung pada Bara saat itu.

Karena setahu Dinara adalah, sangat sakit jika ditinggalkan begitu saja. Demi keuntungan diri sendiri atau orang lain. Dan Dinara sudah mengalami beberapa hal yang sama seperti itu.

"Gue ga bakal pernah ninggalin lo lagi, Dinara. Jadi please, terima gue lagi."

Dinara menerima pelukan hangat Bara. Masih sama dengan kehangatan saat Dinara menangis bingung harus bagaimana menghadapi bunda dan ayahnya yang akan bercerai saat itu.

Lantas setelah Dinara rasa cukup untuk pelukannya, Dinara melepaskan pelukan itu. Dinara menjauhkan Bara dari tubuhnya. Lalu menggeleng.

"Gue ga bisa menerima lo semudah itu, Bara."

Bara bingung, "kenapa ?"

Dinara tersenyum menghadap Bara.

"Gue ga mau lagi ngerasa kehilangan dan ditinggalkan, Bara."

Lagi, Bara berusaha menyakinkan Dinara tentang meninggalkan Dinara. "Gue ga bakal ninggalin lo. Gue janji."

Dinara tersenyum lebih lebar kali ini.

"Gue ga menerima janji seperti itu lagi, Bara." 

Senior RuwetWhere stories live. Discover now