Carel mengangguk membenarkan. "Dia juga didenda puluhan miliar, dan semua aset yang dia punya dirampas."

"Kemarin gue lihat Kirana. Dia udah kayak orang gila di penjara. Bahkan dokter yang nanganin dia juga diserang." Alex berhenti sejenak, sebelum akhirnya kembali berucap, "Apalagi setelah denger vonis tentang Tares."

Kirana sedang ada dalam pengawasan Carel. Seperti rencananya diawal, ia memilih untuk tidak menyerahkan Kirana pada polisi karena ia sendiri yang akan memberikan efek jera padanya.

"Setiap perbuatan pasti akan ada perhitungannya. Begipun dengan Kirana dan Tares." Sedetik kemudian ponsel Carel berbunyi, dan ia memilih untuk menjauh sedikit untuk mengangkat teleponnya.

Pada saat yang sama, Alexa kembali menitikkan air matanya. "El... aku masih berharap kamu pulang," suaranya bergetar menahan isak.

"Jangan kamu pikir, aku sanggup buat kehilangan seseorang lagi." Kali ini air matanya tak terbendung, bahunya kembali bergetar menahan sesak di dadanya.

Entah sudah berapa ratus kali ia meminta pada Tuhannya untuk mengembalikan tunangannya. Namun sebanyak itu pula ia kembali menangis menelan pil pahit, tertampar oleh kenyataan bahwa El mungkin tidak akan pernah kembali.

Jauh dibalik rasa putus asanya, masih ada sedikit ruang dan kepercayaan bahwa suatu hari akan ada keajaiban dimana ia bisa melihat tunangannya kembali walaupun mungkin itu adalah sebuah kemustahilan.

Sebuah sentuhan hangat di bahu Alexa, membuatnya menoleh sedikit. Terlihat Alex ikut terduduk di sampingnya, menarik Alexa ke dalam pelukannya.

Alexa menghambur ke pelukan abangnya, bahunya semakin bergetar hebat, bahkan kini tangisnya semakin pecah. Tangannya mencengkram baju Alex, mencari tumpuan. Suara tangisan Alexa begitu pilu,

Tangan Alex mengusap kepala Alexa, mencoba untuk menenangkan adiknya. Tak ada kata yang keluar diantara keduanya. Batin mereka sudah terikat satu sama lain, perasaan mereka sudah terhubung tanpa harus bercerita.

Setiap Alex menemani Alexa ke pantai, perasaan sesak itu muncul berkali-kali lipat. Ia pun tidak akan pernah menyangka jika sahabatnya akan berakhir tragis seperti ini, bahkan meninggalkan luka begitu mendalam pada orang-orang terdekatnya terlebih adiknya—Alexa.

"Dek, lo harus belajar ikhlas," ucap Alex pelan.

Alexa menggeleng pelan, "Gue gak akan pernah ikhlas Bang." Suaranya teredam di dada Alex. Bahkan baju Alex sudah basah oleh air mata adiknya.

"Gue gak bisa... Kenapa dia jahat sama gue? Kenapa dia tega tinggalin gue?" suara Alexa kian melemah. "Kenapa—orang-orang yang gue sayang, selalu pergi gitu aja?"

"Kenapa mereka gak bawa gue?" ucapnya pelan sebelum akhirnya Alexa hilang kesadaran.

Alex memejamkan matanya, sebulir air mata keluar membasahi pipinya. Semenjak percobaan bunuh diri yang Alexa lakukan setahun lalu, Kesehatan Alexa semakin melemah, begitupun dengan kondisi psikis nya yang kian parah.

Tak jarang Alexa mengamuk di rumah, dan menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Selama itu pula Alexa mendapat perhatian extra dari keluarganya. Dokter mengatakan, jangan pernah meninggalkan Alexa sendirian, dimanapun dan kapanpun itu, Alexa harus selalu dalam pengawasan.

Bahkan pernah Alex beberapa kali memergoki Alexa tengah memegang benda tajam ataupun menggenggam botol detergen. Sejak hari itu, keluarga Alexa berusaha untuk menyembunyikann benda tajam atau apapun yang bisa membuatnya melakukan percobaan bunuh diri. Dokter mengatakan, kondisi Alexa lebih parah dan terguncang dari sebelumnya.

"Dua jam lagi kita berangkat ke Washington," ucap Carel menyadarkan Alex yang masih merengkuh tubuh Alexa.

Carel melirik kearah Alexa, yang sudah tidak sadarkan diri. Lalu ia berjongkok dan mengambil alih tubuh Alexa.

I'm Alexa [End-Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang