Part 73 - The Mission

Start from the beginning
                                        

"Rava?" napasnya tercekat.

Rava berdiri di sana, tangannya terangkat setengah, seolah menyuruhnya menyerah. Wajahnya datar, sulit ditebak apakah dia datang untuk membantu atau justru sebaliknya.

"Apa maksud lo...? Kenapa lo ada di sini?" suara Alexa bergetar, otaknya berusaha mencerna situasi yang berubah drastis.

Namun justru karena keterkejutannya itu, kewaspadaannya lenyap. Ia tak menyadari bahwa seseorang mendekat dari arah belakang.

Dalam sekejap, sebuah tangan bersarung muncul dihadapannya, menutup rapat mulut dan hidungnya dengan sapu tangan beraroma menyengat.

Mata Alexa membelalak. Tangannya refleks mencoba melepaskan diri, tapi tubuhnya dengan cepat melemah.

Pandangan kabur. Suara mulai menghilang.

Dan dalam hitungan detik, kegelapan menyambutnya. 

"Bawa dia, jangan sampai sakitin dia," perintah Rava lalu berbalik dan kembali ke mobilnya.

__________

Perlahan namun pasti, mata Alexa terbuka. Matanya menyipit saat pandangannya hanya melihat remang-remang gelapanya ruangan yang ia tempati. Sejenak ia terdiam, mencoba untuk kembali mengingat apa yang terjadi. 

Mulai dari ia sedang terdiam di balkon, mendapat telepon dari Rava, dan kabar bahwa El sedang dalam bahaya, hingga ia dihadang oleh beberapa orang dan akhirnya melihat Rava diantara mereka.

Ini jebakan batinnya. Bisa-bisanya ia tertipu begitu saja dengan trik murahan pikirnya. Dasar Alexa bodoh makinya pada diri sendiri. Ia mencoba untuk menggerakkann tubuhnya, namun sayangnya kaki dan tangannya terikat di kursi. "Sialan!" desis Alexa kesal.

Alexa mencoba untuk tenang, menatap sekitar. Ruangan ini terlihat seperti bangunan terbengkalai yang begitu luas sejauh mata memandang. Dengan dirinya yang tepat berada di tengah ruangan. Sesekali ia menggerakkan tangan dan kakinya membuat kursi yang ia duduki berbunyi dan menimbulkan gema yang begitu kentara.

Mata Alexa menyipit saat melihat CCTV yang berada di setiap sudut ruangan. Hanya ada satu pintu keluar yang berada tepat di hadapannya.

Alexa menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir rasa panik yang masih mengendap di ujung pikirannya. Ia tahu, ketakutan hanya akan mempercepat kehancurannya.

"Panik adalah musuh pertama," gumamnya pelan, mengulang kata-kata yang sering diucapkan oleh abangnya saat latihan.

Ia memaksa tubuhnya untuk rileks, menegakkan punggung sebisanya meski masih terikat. Fokus. Ia harus berpikir seperti agen, bukan gadis SMA biasa.

Perlahan, Alexa mulai mengaktifkan naluri bertahannya. Matanya menyapu ruangan sekali lagi, kali ini lebih teliti. Ia mulai menghitung jumlah CCTV—ada empat di setiap sudut, semuanya mengarah padanya. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya. CCTV di sudut kiri belakang tidak bergerak seperti yang lain. Tidak ada lampu indikator merah menyala. Alexa menyipitkan mata, mencoba mengingat pelatihan, kamera dummy biasanya dipasang untuk menakut-nakuti, bukan memantau langsung.

"Satu dummy. Tiga aktif," gumamnya pelan. Itu berarti ada celah pengawasan.

Lalu ia memusatkan fokus pada telinganya. Diam. Dengarkan.

Awalnya hanya ada suara detak jantungnya sendiri yang terdengar. Tapi setelah beberapa detik, ia menangkap suara samar—langkah kaki. Tidak berat. Bukan sepatu bot. Mungkin sepatu kets. Hanya satu orang, berjalan pelan... menjauh?

I'm Alexa [End-Tahap Revisi]Where stories live. Discover now