Part 27 - Bound by Freedom

Start from the beginning
                                        

"Mand! Manda! Tungguin gue!" teriak Alexa kesal, namun ia hanya mendapat lambaian dari sahabatnya itu.

Alexa menatap El dengan wajah penuh kepanikan yang berusaha disembunyikan. Ia mencoba tersenyum tipis meskipun rahangnya terlihat tegang. "Lo udah di sini sejak kapan?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian.

El tidak menjawab langsung. Ia melipat kedua tangannya di dada, menatap Alexa tajam dengan bibirnya melengkung tipis, pertanda ia sedang menahan emosi. "Break off the engagement?" tanyanya dengan suara rendah, tapi cukup menusuk.

Alexa menelan ludah, mencoba memutar otaknya untuk mencari alasan yang masuk akal. "Eh, nggak kok. Gue cuma bercanda El, Iya bercanda. Lo tahu kan gue suka ngawur kalo ngomong?" ujarnya sambil tertawa kaku.

El memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tak berubah. "Bercanda, ya? Sayangnya, gue nggak lihat itu sebagai candaan, Alexa." Suaranya datar, tapi Alexa tahu betul itu adalah nada peringatan.

Alexa mendengus pelan, berusaha mempertahankan harga dirinya meskipun jantungnya berdebar. "Lo tuh kenapa sih? Gue cuma ngomong sama Daddy gue. Lo nggak perlu ikut campur!" Nada bicaranya mulai meninggi.

El melangkah maju, mempersempit jarak di antara mereka. "Gue ikut campur karena ini menyangkut gue. Dan kalau lo mikir bisa lepas dari gue dengan gampang, lo salah besar," ucapnya dingin, matanya menatap lurus ke mata Alexa tanpa sedikit pun gentar.

Alexa mendongak, menatapnya dengan sorot yang tak kalah tajam. "Lo nggak bisa maksa gue terus-terusan, El. Gue punya hidup sendiri, hak gue buat milih apa yang gue mau!"

"Sama kayak gue punya hak buat memastikan lo aman, Alexa," balas El, suaranya tetap tenang tapi tegas. "Kalau kebebasan yang lo maksud itu berarti lo bisa pergi seenaknya ke tempat-tempat yang ngerugiin lo, gue nggak akan tinggal diam."

Alexa mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, frustasi dengan ketidakmampuan El untuk memahami sudut pandangnya. "Lo nggak ngerti, kan? Gue cuma mau hidup normal, nggak dikekang kayak sekarang!" ucapnya geram menahan emosi. "Lo selalu aja bilang, memastikan gue aman. Lo lihat sendiri kan? Sampe sekarang gue gak kenapa-napa. Itu artinya, lo aja yang terlalu berlebihan El. Tolong pahami itu!"

El memejamkan matanya, berusaha meredam emosi yang mulai bergejolak dalam dirinya. "Lo juga nggak ngerti, Alexa. Dunia nggak seaman yang lo pikir, dan lo terlalu keras kepala buat ngelihat itu," sahut El dengan nada dingin.

"Lo itu terlalu berlebihan pokoknya! Gue nggak butuh ditemenin kemanapun, selalu diawasi, apalagi dikontrol kayak anak kecil!" seru Alexa, emosinya akhirnya meledak.

El menghela napas panjang, mencoba menahan dirinya agar tidak ikut terpancing lebih jauh. "Gue cuma pengen lo aman. Kalau menurut lo itu berlebihan, gue nggak peduli."

Alexa terdiam beberapa saat, mencoba membaca ekspresi El yang tetap tenang meskipun terasa begitu mendominasi. Dia tahu dia tidak akan menang mudah dalam argumen ini, tapi dia juga tidak mau menyerah. "Gue tahu kita nggak akan pernah sepakat kalau terus begini."

"Mungkin nggak," balas El, langkahnya mundur selangkah. "Tapi gue nggak akan berhenti. Lo boleh marah, tapi gue tetap bakal jagain lo, suka atau nggak."

Alexa menatap El dengan mata yang berkaca-kaca, bukan karena dia sedih, tapi lebih karena frustasi. Bagaimana bisa dua orang yang begitu keras kepala seperti mereka bisa bersama tanpa terus-menerus bertabrakan?

Sebelum Alexa sempat merespon, Alex yang berdiri di belakang El melangkah maju dengan ekspresi datar. "Dek, Daddy pasti nggak akan senang kalo dengar lo mau putus tunangan lagi. Apa lo nggak mikir panjang dulu sebelum ambil keputusan?"

Alexa mendengus, mencoba melawan. "Kenapa sih kalian semua terlalu ikut campur hidup gue? gue cuma mau kebebasan sedikit, nggak lebih. Apalagi gue juga manusia, punya hak!" katanya, mencoba berdalih tak mau kalah.

Alex menggelengkan kepala dengan wajah penuh kesabaran. "Dek, kebebasan itu ada batasnya. Apalagi kalau udah menyangkut keselamatan lo," ucapnya pelan, tapi tegas.

El menambahkan dengan nada lebih dingin, "Kalau lo terus-terusan begini, bukan cuman hidup lo yang berantakan, tapi juga hidup orang lain yang peduli sama lo."

Alexa menggertakkan giginya, merasa sudut pandangnya selalu disalahkan. "Gue nggak pernah minta kalian semua untuk peduli sama gue sampai kayak gini!" teriaknya frustasi. "Kenapa nggak biarin gue jalanin hidup gue sendiri sih?"

Hening sesaat. El menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Tatapannya berubah lebih lembut, meski tetap tegas. "Karena gue nggak bisa," jawabnya lirih, tapi penuh makna.

Alexa terpaku mendengar jawaban itu. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana jalan pikiran El dan abangnya ini. Mungkin memang niat mereka adalah demi kebaikan Alexa, tapi bukan seperti ini yang ia inginkan. Alexa jadi berpikir, apa Alexa dulu juga merasakan hal seperti ini? Apa hanya baru kali ini ia mengalaminya.

Namun, bukannya luluh, ia malah merasa semakin bingung. Apakah ia benar-benar ingin kebebasan itu, atau ia hanya mencoba lari dari sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya?

Alexa menghembuskan napasnya gusar, "Tau lah terserah kalian! Jangan muncul di depan gue lagi sampai mood gue balik!" ucapnya menunjuk El dan Alex, sebelum berbalik dengan menghentakkan kakinya menuju kelasnya, meninggalkan El dan Alex yang hanya saling pandang.

Alex menatap El, mencoba membaca reaksi pria itu. "Lo yakin dia bakal ngerti maksud lo, El?" tanyanya pelan, meskipun ia tahu El tak akan pernah menyerah begitu saja.

El hanya mengangkat bahu sedikit, bibirnya melengkung dalam senyum yang nyaris tak terlihat. "Dia keras kepala, tapi gue lebih keras. Kalau gue harus nunggu sampai dia ngerti, gue bakal nunggu. Gue nggak peduli berapa lama."

Alex mendesah, merasa ada pertempuran besar yang sedang berlangsung di antara dua hati yang sama-sama kuat. "Gue harap lo tahu apa yang lo lakuin, Bro. Karena Alexa bukan cewek biasa yang gampang didikte."

El menatap ke arah di mana Alexa menghilang, matanya memancarkan keteguhan. "Gue tahu, dan itu justru kenapa gue nggak akan berhenti. Alexa butuh seseorang yang bisa jagain dia, meskipun dia nggak mau ngakuin itu."

Rava, yang sedari tadi hanya mendengar, akhirnya bersuara sambil bersandar di motornya. "Gue cuma mau bilang, lo berdua ini drama banget. Kalau aja ini sinetron, gue udah matiin TV-nya."

Semua orang memutar mata, tapi suasana yang tegang mulai mencair sedikit. Bian terkekeh pelan, mencoba mengangkat suasana. "Ya udah, gimana kalau kita bahas ini nanti? Gue lapar, dan gue yakin drama ini nggak bakal selesai dalam sehari."

El hanya mendengus sambil berbalik, ia menatap ponsel Alexa yang masih berada dalam genggamannya. Dalam hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Namun, ia juga yakin, ia tak akan pernah menyerah, apa pun yang terjadi.



TBC

I'm Alexa [End-Tahap Revisi]Where stories live. Discover now