[43] - Bentuk perjuangan

Start from the beginning
                                    

"Lebih dari itu. Dean juga terlibat, aku semakin bingung. Kenapa orang-orang terdekatlah yang memberiku luka separah ini," ujarnya melirih.

"Dulu ... Dean memperkosa kekasihnya Ansell hingga gadis itu mengalami trauma yang berujung depresi, lalu dia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Sekarang, aku menikah dengan Ansell—laki-laki yang memiliki dendam terhadap Dean. Ansell menjadikanku pelampias dendamnya, dengan membuatku menderita mungkin itu akan cukup berpengaruh bagi Dean. Sikap Ansell terlalu manis, ketika aku mengetahui rencana busuknya aku masih saja mencintainya, bodoh bukan?"

"Dean?" tanya Tssalisa tidak percaya.

"Namun, kenapa harus kau? Apa yang terjadi di masa lalu tidak ada hubungannya denganmu, Grace. Tidak, kau tidak bodoh. Justru Ansell lah yang bodoh, bagaimana bisa ia menyia-nyiakan wanita sebaik dirimu?"

"Alasannya terlalu klasik. Hanya karena aku satu-satunya perempuan yang Dean cintai."

"Kenapa tidak bercerai saja?"

Grace tersenyum miring. "Aku takut dengan ayah."

"Kau bukan boneka, Grace. Masa depanmu tidak bisa terus-menerus dikendalikan oleh ayah!" Tssalisa mulai geram.

"Tapi aku yang memberinya janji."

"Lupakan janjimu. Karena janjimu itulah yang menjadi alasan kau terluka."

Benar apa yang Tssalisa katakan. Namun, haruskah ia mengingkari janjinya? Ia takut jika harus berhadapan dengan Damian, selama ini Damian bisa bersikap lembut hanya karena Grace selalu menuruti semua keinginannya, tetapi bagaimana bisa ia berhadapan dengan ayahnya ketika dirinya terang-terangan mengecewakannya?

"Mana Grace yang ceria dan tidak mudah menangis? Hari ini kau terlihat menyedihkan, Grace. Berhentilah menangis. Aku akan berbicara kepada ayah. Apa pun jawabannya, kau tetap harus bercerai! Aku tidak ingin melihatmu terus terluka."

"Tidak perlu, Tssa. Aku sudah memutuskan untuk tetap bertahan dengan Ansell."

"Bertahan dengan luka maksudmu? Kau tidak boleh seperti ini!"

Seorang laki-laki mengayunkan langkah kakinya mendekat ke arah dua perempuan yang saat ini tengah duduk di kursi ruang tamu. Entah, sejak kapan dia tiba di rumahnya, atau mungkin laki-laki itu mendengar semua obrolan Grace dan juga Tssalisa?

"Kau di sini, Tssa?" tanya Ansell sedikit mengintimidasi. Mendengar suara itu Tssalisa pun mendongakkan kepalanya.

"Aku ingin bicara denganmu." Tssalisa menarik tangan Ansell menjauh dari Grace.

"Berhenti membuat adikku menangis, Ansell. Kupikir menikah denganmu bisa membuatnya bahagia, tetapi adanya kau di samping Grace membuat dia semakin tertekan. Apa pun yang terjadi di kehidupan masa lalumu, itu semua tidak ada hubungannya dengan Grace!" Tssalisa menatap Ansell dengan tajam.

"Jika kau tidak meninggalkan acara pernikahannya, mungkin Grace tidak akan merasakan semua ini. Dia tidak akan terluka seperti sekarang."

"Maksudmu?"

"Dari awal akulah yang memilihmu untuk menjadi istriku. Namun, kau memilih untuk tidak menikah denganku, dan membiarkan adikmu hidup menderita. Semua penderitaan ini berawal dari dirimu sendiri, Tssalisa."

"Jadi, berhentilah mempengaruhi istriku. Aku mencintainya lebih dari apa pun! Sekali lagi kau mempengaruhi dia, aku tidak akan segan-segan menyakitimu!"

"Jangan ikut campur lagi. Aku tahu bagaimana caranya memperbaiki. Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakiti untuk yang kedua kalinya."

"Ck! Bagaimana bisa aku percaya?"

"Lagi pula, siapa yang membutuhkan kepercayaanmu?"

Tssalisa menghela napasnya. "Jika ini terjadi lagi, aku tidak akan segan-segan untuk menjauhkanmu dari adikku!" tegas Tssalisa, sebelum dia pergi meninggalkan rumah mewah milik Ansell—suami adiknya.

Setelah kepergian Tssalisa, langkah Ansell pun pergi menghampiri Grace yang masih setia duduk di kursi sana. Grace tidak ingin tahu apa yang Tssalisa bicarakan dengan Ansell, perempuan itu justru berterima kasih karena Tssalisa sudah datang dan sedikit menenangkan perasaannya, meski jauh dari lubuk hatinya ia masih merasa sedikit kecewa kepada kakaknya tersebut.

"Mau ke kamar?" ajak Ansell, ketika ia melihat wajah pucat istrinya. Grace hanya bisa terdiam seraya menatap Ansell dengan mata lelahmya.

"Kenapa?" tanya Grace.

"Kenapa?" Ansell mengulang kata yang sama.

"Pulang?"

"Sedang tidak ingin bekerja. Sebagai gantinya aku akan menemanimu di rumah." Ansell tersenyum. Lalu, mengelus puncak kepala istrinya.

"Mau selembut apa pun sikapmu, tidak akan membuatku percaya lagi, Ansell." Grace bersuara menatap Ansell sekilas, lalu pergi.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Where stories live. Discover now