65.2: Neutralization

1.6K 75 2
                                    

Sakura melecutkan cambuknya ke bahu seorang wanita, yang langsung melolong kesakitan tetapi masih siaga dengan payungnya, mengacungkan ujungnya yang tajam ke gadis itu, seperti pedang. Ada sesuatu yang berubah dari orang-orang terhipnotis ini. Wajah mereka sedikit lebih pucat dari sebelumnya... dan sedikit berubah, bertambah jelek dan menyeramkan. Ilusi sedang bermain-main dengan ketakutannya.

Kenapa udaranya bertambah panas?

Ia mengendalikan pergerakan udara, yang secara otomatis juga suhu udara—tetapi ia tidak berpikir untuk mencoba menghangatkan udara sebelumnya. Tidak sepanas ini. Sakura mengelak ketika payung tersebut menghantam perutnya, kemudian ia terbang menjauh—ia perlu melihat api-api itu lagi, sudah berubah warna atau belum.

Gadis itu melirik tempat lilin yang berdiri paling dekat dengannya dan menelan ludah. Apinya bertambah besar, warnanya berubah—seperti api putih dan hitam dinyalakan di sumbu yang sama. Bukan abu-abu. Sakura tersentak ketika wanita bersenjata payung itu sudah berada di dekatnya. Tangan si wanita terulur, dan mencengkeram kaki Sakura.

Ia memekik.

Sakura berputar, tertarik turun dengan paksa oleh sebentuk tangan yang kini mencengkeram kakinya. Wanita itu menggeram-geram. Payungnya, yang dipegang oleh tangan satunya, menusuk-nusuk ke arah jantung Sakura, tetapi gadis itu masih terlalu tinggi untuk dijangkau. Sakura mempertahankan posisinya selama mungkin di udara dan mempersiapkan cambuknya.

Dan mengibaskannya.

Cambuk itu menghantam leher si wanita, dan—di luar dugaannya—langsung mengatup erat di seputar leher wanita itu, seperti ular yang mencekik mangsanya. Wanita itu menjerit dan meronta-ronta. Sakura menghindar ketika tinju si wanita melayang ke wajahnya; kepalan tangan bercincin itu hanya memukul udara kosong. Duri-duri tali cambuk menancap ke dalam daging leher si wanita. Darah mulai menetes pelan, kemudian memercik, membasahi gaun berendanya. Wanita itu masih memekik dan memukul-mukul. Tali cambuk melilit lehernya semakin kuat. Sakura menyentakkan cambuk itu, keras-keras, dan hal itu terjadi.

Lilitan cambuk mengalahkan tenaga si wanita. Tubuhnya tidak mampu menahan kepalanya lebih lama, dan leher wanita itu patah. Terdorong ke depan dalam sudut yang... tidak wajar.

Cambuk itu melonggar di sekeliling lehernya, meninggalkan leher si wanita yang membiru sebelum akhirnya ditarik kembali oleh pemiliknya. Wanita itu tidak bernapas lagi, jatuh ke lantai dalam suara gedebuk dan decit oleh sangkar besi dalam roknya. Lehernya tertekuk ke depan, seperti sebatang lidi, kepalanya terpelintir hampir 180 derajat dan kulit di pangkal lehernya robek. Bekas-bekas samar tempat cambuk itu pernah melilit masih terlihat di sana. Sakura mundur beberapa langkah dan tertegun. Ia menatap cambuknya sendiri. Benda ini... seolah memiliki sebuah jiwa.

Jiwa pembunuh, pastinya.

Terdengar suara Rira, samar-samar. Sakura menoleh.

"Tutup!"

Itu aba-abanya.

Setelah mengalungkan cambuknya ke seputar leher, Sakura menutup telinganya serapat mungkin dan terbang ke sudut ruangan terjauh. Teman-temannya yang lain selain Rira melakukan hal yang sama. Beberapa falcon pria, yang bertarung di udara dengan Ayumi dan di darat dengan Takumi, mendadak menghentikan serangan mereka. Ayumi dan Takumi berlari, menutup telinga mereka, ke arah jendela.

Rira akan melakukan sesuatu.

Pemuda itu berjalan ke tengah ruangan, kemudian terdiam, seperti patung. Para falcon ikut terdiam, terpengaruh olehnya. Bahkan Sakura seolah terpaku ke tempatnya—sayapnya tetap mengepak, tetapi tangan-kakinya membeku. Ia belum pernah melihat Rira mengendalikan pikiran orang-orang sebelumnya. Pemuda itu tidak pernah ingin melakukannya.

Namun, sekarang ia harus melakukannya.

Rira menggenggam shurikennya erat-erat di tangan kanan, mulutnya terkunci rapat, matanya terbuka lebar. Ia mulai menggerakkan shurikennya, pelan. Kemudian gerakannya bertambah cepat, liar, dan tahu-tahu pemuda itu sudah berkelit dan menari dengan senjatanya, seolah bertarung dengan musuh yang tidak bisa dilihatnya. Ekspresinya tidak berubah.

Sakura merosot dari posisinya. Sayapnya mulai bergetar, mengepak lebih lambat, membawanya lebih dekat ke lantai. Ia masih menutup telinganya. Sakura mengalihkan pandangannya sejauh mungkin dari Rira, tidak ingin terbawa pengendaliannya.

Kemudian, sesuatu mulai berubah. Pandangannya... berubah, berputar-putar dan berkunang-kunang, kertas dinding ruang aula yang cerah seolah berwarna hitam di matanya. Sakura mengernyitkan dahi. Sudah dimulai?

Detik demi detik berlalu. Ruang aula berubah sunyi—kecuali suara-suara aneh dari lantai atas. Sakura mulai melupakan namanya sendiri. Siapa dia? Arukas? Apa dia perempuan atau laki-laki? Hidup atau mati? Gadis itu ketakutan. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, menghela napas berkali-kali, yakin bahwa amnesia tiba-tiba ini akan berakhir. Gadis itu, untuk sementara waktu, hanya berani menatap dinding dan tidak menggerakkan bola matanya sama sekali.

Ada suara yang masuk ke dalam otaknya. Bukan suara hati kecilnya, lebih mirip... suara percakapan orang lain.

"Tenangkan dirimu. Tenang. Tenang."

"Mereka bukan diri mereka sendiri, Tolol."

"Belokkan pikiranmu. Jangan. Menoleh. Sedikitpun. Ke arahnya. Enam orang ini baik. Jangan takut. Jangan."

"Mereka. Membunuhi. Orang-orang. Kalian tidak ingin dibunuh, bukan?"

"Dia yang ingin membunuhmu, bukan kami. Tenanglah. Tidur."

"Berhenti melawan, Rira. Berhenti."

"Kami hanya ingin hidup. Dan membasmi yang pantas mati."

"Hentikan senjatamu, Tolol. Diam!"

Di tengah ruang aula, Rira ambruk ke lantai berkarpet, napasnya lemah dan jarang-jarang.

ElementbenderWhere stories live. Discover now