9: Prince-hunting

3.1K 156 0
                                    

Pagi-pagi. Saatnya berangkat ke tempat kerja masing-masing.

"Ingat: hari ini kita harus lebih teliti," kata Sakura serius, sambil memakai topi seragamnya. "Sekarang kita sudah tahu: Pangeran Takumi tidak mati. Dia benar-benar ada di Fukui. Dan, sepertinya, tidak mengenal Evaliot lagi."

"Iya—tapi bagaimana bisa?" tanya Higina sangsi. ""Sang Pangeran hanya mengelak, Sakura."

Genma meliriknya sambil tertawa pelan. "Yang itu sudah dibicarakan kemarin, Milady. Turuti saja apa katasi pengantar pizza," katanya ringan. Sebelah sepatu converse pun melayang ke arahnya.

"Iya, tapi..." Tabitha yang sedari tadi diam, kini bersuara. "Tidak ada kemungkinan seorang—maksudku tiga orang—pengendali—maksudku pengatur pernikahan—bertemu dengan pemuda yang baru berumur 175 tahun di tempat kerja," sambungnya. "Rasanya... ada yang salah sejak awal."

"Kecuali ketika suatu saat Takumi menikah dengan manusia," ujar Rira datar. Yang lain menoleh.

"M-menikah?" Ayumi terkejut.

Semua orang terdiam. Sampai akhirnya Sakura menepuk-nepukkan tangannya.

"Kembali ke intinya, teman-teman: mencari Pangeran Takumi tidak sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Saat kita mendapatkannya, bawa Pangeran pulang ke hadapan Raja dan Ratu. Bagaimana pun caranya."

***

Jadi ini yang namanya Miraculous Wedding, pikir  Aya. Kelihatannya lumayan juga.

"Hei," sapa seorang pria yang sedari tadi menunggu di depan pintu kaca, wajahnya berbinar begitu melihat Aya. Takashi, tunangannya. Aya hanya tersenyum sembari membiarkan pria itu memeluk bahunya erat.

"Hei. Sudah lama di sini?" tanya Aya hangat.

"Tidak. Baru saja," pria itu mengangkat bahu. "Tapi kita harus cepat. Mereka sudah menunggu di dalam."

Takashi membimbing Aya memasuki bangunan Miraculous Wedding. Beberapa pegawai terlihat keluar masuk gedung, berbicara di telepon sambil berjalan terburu-buru. Orang-orang Fukui seperti biasa. Kebanyakan dari mereka sangat gila kerja.

"Sekitar jam 1 nanti aku perlu mampir ke kedai Tuan Fukuda, Takashi. Err... yang fanatik terhadap segala sesuatu berbau Italia itu," celetuk wanita itu tiba-tiba. Diliriknya Takashi yang sedang memerhatikan kertas yang ditempel di dinding. Entah tata tertib atau hanya jadwal pulang pegawai.

"Oh ya? Buat apa?" tanyanya santai. Ia mengantar tunangannya ke ruang tunggu—berupa satu set sofa dan meja di sudut ruang resepsionis. Dari tempat ini terlihat pintu-pintu di lantai atas berlabel 'staff only'.

"Memesan pizza, tentu saja. Langsung di antar ke rumah. Untuk adikku," jelas Aya. Suaranya agak merendah begitu mengingat Ame. Ada rasa iba sebagaimana kakak pada umumnya, tetapi, hei, Aya 'kan bukan psikiaternya.

Kedua pasangan tersebut menunggu sekitar beberapa menit ketika terlihat tiga orang pegawai, kelihatannya orang-orang yang dipilih untuk mengatur pernikahan mereka, memasuki ruang tunggu.

"Ohayou gozaimasu, eh—bonjour!"

Salam yang konyol bagi seorang wedding organizer membuat Aya dan Takashi berbalik, mengamati tiga orang pegawai tersebut dengan lebih jelas. Dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, lebih tepatnya. Si perempuan tersenyum kepada keduanya, tetapi senyumnya ceria seperti... anak-anak. Paling tidak remaja.

"Ini bukan Prancis, Tabitha," komentar salah satu pria berambut merah. Pandangannya teralih pada Aya dan Takashi. "Selamat datang, Tuan Naharu dan Nona Matsuzaki. Senang bisa membantu Yang Muli—ehm. Anda."

ElementbenderWhere stories live. Discover now