47: Vidar

2K 79 0
                                    

“Rumah!” teriak Genma. Dibentangkannya tangannya lebar-lebar, seolah memeluk hutan itu dalam sekali rengkuhan. Sayapnya ikut terbentang di balik punggungnya.

Jadi selain aneh, dia juga sinting, Takumi bergidik. Keenam pengendali elemen telah memukaunya sepanjang hari ini, bahkan dari pertama kali ia menjejakkan kakinya di dunia elemen.  Sifat mereka unik dan sulit ditebak. Takumi menatap ke dalam mata mereka satu persatu dan menemukan... teman. Enam orang teman yang rela melakukan apa saja untuknya. Bayangan Jules berkelebat di otaknya. Gadis hippie itu satu-satunya teman yang Takumi punya di Fukui, dan satu dari sekian orang yang pernah menariknya ke dalam masalah besar. Katana curian itu....

Takumi memandang keenam temannya diam-diam. Para pengendali elemen juga menariknya ke dalam masalah besar, tetapi Takumi hanya tertawa begitu mengingatnya. Membawa keranjang bola basket dari lantai lima ke lantai satu lebih melelahkan daripada menyingkirkan boneka-boneka sinting itu. Ia tersenyum getir. Jadi ini sifat “Takumi” sebenarnya. Pangeran tanpa perasaan. Tidak merasa bersalah setelah membunuh orang. Takumi mengedikkan bahu, kemudian berlari menyusul teman-temannya.

Anehnya, semakin ia memikirkannya, semakin ia yakin bahwa “Takumi” yang sebenarnya adalah seorang laki-laki jahat berpikiran licik, bukan seorang pangeran. Atau mungkin itu hanya pengaruh Fukui yang sudah lama ditinggalinya? Takumi sudah menjadi bagian dari manusia selama lima tahun lebih. Selama itu, ia menghabiskan waktunya mempelajari biologi dan anatomi manusia. Dia masuk Fakultas Kedokteran dan bercita-cita menjadi dokter bedah suatu hari nanti. Begitu ia pulang ke rumah dari kampusnya, benaknya langsung disuguhi berita-berita kriminal dan laporan bunuh diri yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi swasta Jepang lewat televisi 21 inci yang dibeli Aya dengan harga miring di sebuah supermarket kecil. Banyak orang bunuh diri di Jepang. Takumi menutup matanya erat-erat, enggan mengingat-ingatnya lagi.

Yang lalu sudah berlalu.

Begitu ia membuka mata, dilihatnya Genma menganggukkan kepalanya ke arah pepohonan rimbun di sekeliling mereka dan menyuruh teman-temannya agar diam. Gerombolan kecil tersebut berhenti berjalan, mengikuti instruksi Genma. “Kita bisa istirahat di sini sampai besok.”

Takumi tidak memedulikannya. Ia lebih tertarik akan hutan itu sendiri; hutan yang sedari tadi tidak diacuhkannya karena terlalu lama melamun. Hutan itu terlihat mengagumkan dibanding pohon-pohon raksasa yang dilihatnya sepanjang hari di Etheres. Pepohonan di sini tinggi menjulang dengan cabang-cabang kokoh yang berjalinan satu sama lain, beberapa cabangnya tertunduk ke bawah dengan ujung ranting menyentuh tanah cokelat. Jarak antara pohon-pohon tersebut tidak terlalu rapat, tidak terlalu renggang; seseorang berbadan ramping bisa menyelinap di antaranya dengan mudah. Warna kayu cokelat tua dan daun hijau muda membuat Takumi bertanya-tanya, betapa miripnya hutan ini dengan hutan-hutan lain di Fukui... atau di bumi. Satu-satunya perbedaan adalah warna daunnya. Beberapa pohon memiliki daun cokelat terang hingga merah keunguan, mewarnai hutan rimbun tersebut dengan corak warna-warni yang semarak.

Semak-semak setinggi mata kaki tumbuh menjalar di lantai hutan yang subur. Ketujuh orang itu mencari-cari daerah yang tidak ditumbuhi semak-semak, menemukan sebidang tanah cokelat polos yang hanya dirambati sulur-sulur mungil, dan menatap satu sama lain. Sebidang tanah itu dipagari semak-semak berduri setinggi lutut yang pernah dilihat Takumi di Etheres. Takumi menyiapkan pisaunya, baru akan membersihkan semak-semak itu dari jalannya ketika Genma menggeleng. “Tidak usah. Kita bisa bersembunyi di baliknya kapanpun mereka datang.”

Para pengendali mulai menjatuhkan senjata mereka dan bersimpuh di atas tanah, kemudian perlahan-lahan duduk di lantai hutan, seolah-olah jebakan berduri bisa muncul kapan saja dari bawah kaki mereka. Telinga Takumi mulai gatal ketika seekor capung beterbangan di sekitarnya, mengganggunya dengan suara dengungan sayap. “Mereka?” tanyanya, menatap Genma denga alis terangkat.

ElementbenderWhere stories live. Discover now