37: Puppetshow

2.3K 87 2
                                    

Setelah percakapan yang aneh tersebut, Takumi dan para pengendali beranjak meninggalkan rumah Maurice.

Maurice menawarkan sarapan kepada mereka, tetapi Sakura menolak dengan sopan melihat cucu-cucu elf tua tersebut juga kelaparan. Persediaan makanan di rumah itu pasti sedikit. Sebagai gantinya, Salvatrix membekali mereka sebotol penuh minuman. Botol itu berwarna bening kehijauan dengan kulit kering dan seutas tali sebagai penutupnya. Itu lebih dari cukup.

Mereka mengambil jalan ke sebelah kanan, mengarah ke sebuah jalan sempit dikelilingi tanaman rambat dan jamur mungil—tidak ada gunanya menengok lautan cat minyak dengan tangan teramputasi mengapung-ngapung.di atasnya—terkadang Sakura nelangsa memikirkannya. Ia hanya berharap semoga ada yang mengevakuasi mayat anak-anak itu.

Selama beberapa saat, tidak ada percakapan. Langkah-langkah mereka di atas tumpukan daun gugur menimbulkan suara meremuk yang mengganggu, sehingga mereka harus menyingkirkan dedaunan ke samping jalan dengan menendangnya. Sepatu berbahan daun membuat kaki mereka terasa telanjang. Tabitha, yang belum berkata apa-apa sejak tadi pagi, mendekap tubuhnya. Gadis itu mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian Sakura; terusan selutut dengan hiasan daun, stoking sewarna emas, ikat pinggang dari akar pohon, dihiasi biji-bijian sewarna emas. Ayumi dan Higina juga memakai terusan yang sama.

"Dingin," gumamnya pelan. Teman-temannya tidak berkomentar. Jalinan tanaman rambat yang menjalari sebaris pagar reyot bertambah hitam dan kisut sementara mereka berjalan semakin jauh. Dedaunan di bawah kaki mereka menipis. Cabang-cabang pohon yang melengkung di atas kepala mereka bertambah kurus dan gundul, dengan dedaunan hitam menggantung lemah di ujung-ujung rantingnya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup lembut. Daun-daun tersebut lepas dari tangkainya, jatuh menghujani mereka.

"Cukup," gerutu Sakura. "Dia menertawai kita."

"Mungkin itu caranya menyambut tamu," kata Genma. "'Selamat datang di pertunjukan boneka, jangan salahkan kami karena tempat duduknya sedikit!'. Jangan anggap personal, Sakura."

Tabitha, yang masih mendekap tubuhnya sambil menggigil, tertawa sarkatis. "Yang benar, 'jangan salahkan kami kalau acara ini berubah menjadi pembunuhan!'"

***

Rumah Peregrine adalah satu-satunya rumah yang berbentuk seperti rumah pada umumnya. Tiang-tiangnya terpancang dari dalam tanah, terbuat dari kayu keras dan dicat hitam. Di halaman, terdapat sebuah kotak kayu berjendela tempat dalang memainkan boneka. Para elf dari segala penjuru berkumpul di sekitarnya, saling sikut agar bisa melihat pertunjukan boneka dengan jelas. Tidak ada kursi yang disediakan. Mereka tidak mengacuhkan anak-anak yang terjepit di antara lautan orang dewasa dan tujuh orang asing yang bergabung di belakang mereka.

Rumah itu—nyaris tidak terlihat karena kerumunan di hadapan mereka semakin memadat—terlihat seperti sekolah anak-anak di mata ketujuh orang asing tersebut. Dindingnya dipoles cat warna-warni dan beranda rumahnya dipenuhi boneka-boneka rongsokan, ditimbun bersama-sama dengan peralatan rumah tangga rusak dan lapisan debu tebal. Sejenis ivy merambati tiang, pagar, dan pintu rumah tersebut. Rumah itu kini lebih mirip rumah hantu.

Sang dalang sudah bersiap-siap di dalam kotak berjendela, tetapi belum membuka tirainya, jadi mereka harus menunggu. Beberapa elf muda bersusah payah menyelinap di antara elf-elf yang lebih tua, mengepakkan sayap mereka dan menonton kotak berjendela tersebut dari udara. Sekejap, langit dipenuhi anak-anak elf yang beterbangan ke sana ke mari dengan gelisah, menunggu acara dimulai. Suara dengung sayap memekakkan telinga.

Sakura menjulurkan tubuhnya, mencari sosok Amabilis dan adik-adiknya. Tidak ada. Mungkin mereka tidak suka boneka.

"Nah; kita sudah di sini. Sekarang pergi," kata Higina. Suaranya timbul tenggelam di antara helaan napas frustrasi dan gumamam para elf.

ElementbenderWhere stories live. Discover now