34: Medicament

2.1K 84 0
                                    

Genma merasakan sapuan sedingin es di pipinya dan menyadari bahwa seorang anak perempuan sedang berusaha mengelap wajahnya dengan segumpal kain basah. Sensasinya yang menusuk membuatnya mati-matian menahan sakit.

“Sudah cukup, oke?” Pemuda itu meringis sambil menjauhkan wajahnya. Si elf kecil mencibir. Genma tertawa—yang langsung disesalinya, karena sekarang pipinya benar-benar terasa bengkak—ditepuknya bahu si anak perempuan dan elf kecil itu berlalu.

Cucu-cucu Maurice memerhatikan dengan penasaran ketika kakeknya meramu segenggam besar dedaunan dan bahan-bahan obat lainnya, membanting-banting bahan-bahan tersebut di atas mangkuk. Sudah lama semenjak mereka melihat kakeknya seaktif ini—terakhir kali Maurice mengobati orang-orang, sang pangeran masih sering mengunjungi rongga pohonnya. Termasuk ketika terjadi insiden penusukan sang pangeran di Gaelea. Ketika ia memeriksa luka tusukan tersebut, Maurice terheran-heran mengapa luka tersebut tidak menggores sedikit pun organ dalam sang pangeran, padahal kedalamannya mencapai beberapa sentimeter. Maurice mengangkat bahu. Biarlah itu menjadi keajaiban medis.

“Iih, seram,” seorang anak perempuan lainnya berkata, menunjuk-nunjuk leher Ayumi. “Kalau sampai kena pita suara, bisa gawat.”

Ayumi menggeleng.  Ia sudah mengoleskan ramuan bunga yang diberikan Maurice di sepanjang lukanya, yang kemudian diberikannya pada Higina, karena jenis luka mereka hampir sama. Ramuan itu berbau harum. Luka tersebut menghalanginya untuk menolehkan kepala, dan Ayumi tidak mau membayangkan pita suaranya terpotong atau apapun. Hilang sudah semangat hidupnya kalau ia tidak bisa menyanyi lagi.

Sementara itu, Tabitha menjauhkan matanya sejauh mungkin dari luka merekah di pundaknya. Luka itu ternyata memanjang sampai ke tenggorokan, dan melebar hingga pedang pelayan itu terpental tulang selangkanya. Hati kecilnya bilang, sudah cukup. Aku bisa pulang, bergelung di tempat tidur seharian. Serahkan saja urusan mengantar Pangeran Takumi kepada pengawal, ksatria, terserah.

Namun, ia tidak bisa. Dan ia tidak mau berdiam diri sementara dunia elemen dirusak pengendali pengganti.

Rira bergegas bangkit dari kursi rotan tempatnya duduk, bahkan sebelum anak laki-laki itu memberikannya ramuan obat, kemudian menyambar kunci yang ditaruh di  meja dan membuka pintu rumah. Sang pemuda listrik menoleh ke arah Maurice sesaat, meminta izin, kemudian hilang dalam derasnya hujan. Teman-temannya baru akan menyusul ketika sebuah petir menggelegar membelah langit, seolah meneriakkan “diam saja di sana, Bodoh!” tanpa kata-kata.

“Oh, sial,” Maurice menarik janggutnya keras-keras. Salvatrix menepuk-nepuk bahunya. “Sial, dasar Maurice yang malang. Gil menghilang, kalian terluka. Amabilis tidak bisa diandalkan,” matanya terhunjam pada si anak laki-laki. “Katakan saja, Yang Mulia. Siapa yang—yah, membuat kalian separah ini? Berandalan?”

Takumi meringis. Lukanya ada di tengkuk, tetapi kebanyakan ada di punggung, padahal ia tidak mau memperlihatkan punggungnya untuk siapapun selain dokter. Bagian belakang tuksedonya juga sudah berlubang-lubang terkena gigi-gigi penghisap darah tersebut.

“Seperti majikan dan pelayan-pelayannya,” jawab Takumi. Jauh lebih baik mengatasi berandalan yang hanya ingin mencopet dompetnya daripada delapan orang yang berniat meratakan tubuhnya dan para pengendali elemen dengan tanah.

Elf tua itu berhenti membanting-banting adonan ramuan, kemudian menarik kursi di antara para pengendali.

Ruangan ini lumayan hangat karena adanya perapian yang terpasang di sudut, lengkap dengan api yang menari-nari dan bara hitam yang mendesis-desis. Interiornya sempit dengan dua tempat tidur terletak berjejer di tengah ruangan, diapit sebuah lemari dan meja makan. Di depan tempat tidur-tempat tidur, terdapat guci-guci kayu berisi bahan ramuan dan air minum. Dindingnya dihiasi pedang, tombak, dan panah. Para pengendali elemen duduk di kursi-kursi rotan yang ditaruh asal saja di ruang kosong yang tersisa, kecuali Sakura yang meringkuk di tempat tidur di sebelah lemari. Takumi berada di tempat tidur satunya, duduk di pinggirannya. Cucu-cucu Maurice berkeliaran di sekeliling ruangan.

“Ah, pasti. Kaki tangan Synthetic Elf,” gumam Maurice. Salvatrix menempelkan telunjuk di bibirnya, seolah perkataan kakeknya barusan adalah pelanggaran kriminal.

Takumi mengangkat alis, menunggu penjelasan selanjutnya. Namun, Maurice menggeleng.

“Hei, hei. Kuberitahu, ya,” si anak laki-laki, Amabilis, menambahkan. Anak itu muncul dengan kain tipis di tangannya dan sedang mengelap sayap ngengatnya. “Siapapun yang bekerjasama dengan Synthetic Elf itu tidak waras, tahu. Kemarin mereka berpatroli di Etheres, melucuti senjata-senjata. Para ibu disuruh bekerja di tempatnya. Katanya, dia hanya ingin melindungi Etheres dari pemberontakan. Bah, tidak usah, ya,” Amabilis mencibir. “Kami aman di sini. Kemudian, muncul orang-orang baru. Pelayan-pelayannya. Pemerintahan Synthetic Elf tidak setransparan pemerintahan Anda, Fairy Mistress,” ia beralih pada Sakura. “Benar, ‘kan, Milady? Istilahnya tepat, ‘kan?”

Sakura mengangguk lemah, sedikit terkesan akan kedewasaan cara bicara Amabilis. Ia ingat anak ini—orang tuanya adalah teman baik Ochiru dan Ren, pengendali angin sebelum wanita itu. Salvatrix pernah menjadi dayang pribadinya, sementara Maurice sendiri sudah hidup lama bahkan sebelum Ochiru dilahirkan. Kedua anak perempuan itu, yang berseliweran ke sana ke mari sambil mengomentari siapapun yang diganggunya, kemungkinan bernama Eve dan Zoe.

“Lebam di perut Anda parah sekali, Milady,” komentar Salvatrix sopan, setelah menyingkap dan memeriksa perut Sakura. Rona keunguan dan banyak pembuluh darah yang bengkak membuat sang pengendali angin menggigit bibir. Salvatrix mengambil semangkuk penuh ramuan dari meja makan. “Astaga, bahkan lebih dari parah sekali. Seperti lebam bekas dihantam besi baja. Yang seperti ini bisa menimbulkan trauma,” katanya dramatis. “Sayap Anda juga rusak, Milady.”

“Sebenarnya, sayap kami semua rusak, S-Salvatrix,” potong Ayumi sopan. “Kecuali Pangeran dan dia,” ia merujuk pada Tabitha. “Itu... ceritanya panjang.”

“Jangan tanya,” sela Takumi cepat-cepat.

 Tanpa mereka sadari, sementara kelima pengendali dan Takumi duduk dengan nyaman di dalam kungkungan rongga pohon Maurice, dunia elemen berangsur-angsur melayu sepenuhnya.

ElementbenderWhere stories live. Discover now