66.1: Final Shot

1.6K 75 2
                                    

Genma tersenyum lebar, sedikit memiringkan kepalanya ke samping.

Dia hampir bukan Genma lagi sekarang. Hidup, bergerak, bersenjata—ia berjalan mendekati Aloysius dengan dua pedang tergenggam di tangannya. Pelan, pasti. Aloysius sendiri  bergerak menjauh dari pemuda itu, mengetahui apa yang akan diterimanya dan tahu bahwa cepat atau lambat ia akan mengalaminya. Ia hanya... harus melakukan sesuatu terlebih dahulu.

Aloysius sadar bahwa dua tusukan yang sebelumnya bersarang di dadanya akan “bereaksi”, dan kesukaran tubuhnya untuk mati akan dikalahkan oleh luka-luka tersebut. Ia akan mati adalah kalimat sederhananya.

“Lihat kau sekarang, Genma,” pria itu tertawa hambar. “Bukan apa-apa selain onggokan daging, tulang, dan... sialan.”

Genma menjambak kerah kemeja pria itu, mengguncang-guncangkannya, bernapas di depan bibirnya. Pemuda itu berbisik pelan.

“Aku menang.”

Dalam satu gerakan singkat, ditariknya mata kancing Aloysius yang berkilat-kilat, menyentakkannya, dan berhasil menguraikan jahitan benang di pinggirnya. Aloysius tercengang. Mata kancingnya yang sebelah kiri terlepas, memperlihatkan sebuah mata normal di baliknya—mata normal yang selalu terpejam dan selemah mata bayi. Sebuah mata yang tidak memiliki apa-apa kecuali lapisan putih berair.

Aloysius meringis pelan. Selapis tipis kulit tertarik dari tempat jahitan benang tersebut sebelumnya berada. Mata kancingnya terjatuh ke lantai.

Marah, ditusukkannya ujung rapier ke leher Genma dengan tangan kirinya yang masih berfungsi. Rapier itu menembus sampai ke sisi lain leher pemuda itu, menumpahkan darah ke bahu kemeja Genma—tetapi pemuda itu tidak merasakan apa-apa. Ia justru tersenyum. Genma mendesak Aloysius ke dekat jendela raksasa, mendorong-dorong perut pria itu dengan dua ujung pedang, tetapi ia mengelak. Aloysius mencabut rapier-nya dari leher pemuda itu dan menusukkannya ke sisi kiri perut Genma. Cairan merah segar memercik ke jemari tangannya. Pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan.

Dia tidak bisa mati.

Aloysius kembali mencabut rapier tersebut dan berlari menjauh. Posisinya berubah. Sekarang ia-lah mangsanya dan pemuda berambut merah ini ingin memakannya.

Ia berlari ke arah sudut ruangan terjauh, tempat bola-bola meriam disimpan. Genma mengejarnya, lebih cepat dari yang ia duga meskipun langkahnya terseok-seok. Aloysius berhasil mengambil satu bola, ketika pemuda itu menangkapnya. Genma menarik tangan kanannya, memitingnya keras-keras, memaksa pria itu kembali ke pertarungan kecil mereka—dan tangan itu putus. Lengan yang sebelumnya hanya bergantung pada secarik daging dan tulang yang menempel pada pangkal lengannya itu kini terlepas. Aloysius mengernyit sekilas, sementara Genma mengerutkan kening, membuang tangan itu ke lantai menara.

Dengan satu tangannya yang memegang bola meriam, Aloysius memukul kepala pemuda itu kuat-kuat, meninggalkan bekas merah kebiruan yang pekat di dahinya. Genma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyipitkan mata, tidak merasakan apapun dari pukulan tersebut. Kemudian Aloysius berlari lagi—kali ini ke arah meriam besar itu. Untuk pertama kalinya, rasa takut memenuhi paru-parunya. Ia tidak akan menang.

Aloysius berhenti di depan moncong meriam yang menganga ke arah langit malam, dengan cepat memasukkan bola meriam tersebut ke dalam meriam. Genma menatapnya marah dari kejauhan.

“Kau masih mau menghancurkan dunia ini sebelum mati?” tanyanya, gusar. Suaranya berubah serak dan dalam. Aloysius tersenyum sinis.

“Ya.”

Pria itu berlari ke bagian belakang meriam sebelum Genma mencapainya—meskipun akhirnya Genma berhasil menarik kerah rompinya, tepat sebelum ia membuka kenop di belakang meriam. Pemuda itu menariknya hingga berdiri dan menghajarnya, menyarangkan tinjunya ke pipi pria itu. Aloysius mengernyit. Ia hanya merasakan sakit yang tipis dan ringan, dan ia ingin membalas pemuda ini sebelum mati.

Aloysius menjatuhkan rapier-nya, menggunakan tangan kirinya yang bebas untuk mencekik leher Genma dan memutarnya—berusaha memutarnya. Sedikit kekuatannya yang tersisa seharusnya cukup untuk mematahkan leher pemuda ini.

Namun, Genma terlebih dulu menyentakkan bahu Aloysius dan menendang perut pria itu dengan lutut kanannya. Kali ini, serangan itu benar-benar menyakitkan.

Aloysius terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Tangan kirinya terlepas dari leher sang pemuda api dan ia menggunakannya untuk memungut sejumput bubuk mesiu dari saku rompinya. Tidak ingin mengganggu pemuda itu sekarang, dan masih dipusingkan setelah penyerangan berkali-kali tersebut, ia memutuskan untuk memerhatikan hal lain. Aloysius mundur teratur. Ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, kecuali....

Ia berlutut di belakang meriam, membuka kenop meriamnya, dan menumpahkan bubuk mesiu itu ke dalamnya. Jemarinya bergetar ketika ia menutup kembali kenop dan mundur. Sekarang tinggal sumbunya. Aloysius mengangkat telunjuknya ke depan bibir, meniupnya lemah. Api kecil berwarna hitam berderak-derak di atas telunjuknya. Didekatkannya api tersebut ke ujung sumbu meriam yang... mudah terbakar.

Moncong meriam yang gelap itu mengarah ke suatu siluet di kejauhan. Sebuah bangunan yang lebih jauh dari tempat Synthetic Elf dan Arashi memerintah.

Aloysius tertawa tertahan. Nyawa dan kewarasannya berada di ujung tanduk—akibat tendangan Genma dan serangannya yang menguras banyak darah. Ia tidak akan bertahan lebih lama di dunia ini. Dua tusukan di punggung, tamparan—tetapi bukan itu yang akan menjadi penyebab kematiannya. Kebenciannya sendiri dan kemuakannya pada Arashi dan Ælfric; melihat pasangan pembawa malapetaka tersebut membenci dan mengkhianatinya membuatnya mati perlahan-lahan. Bukan berarti ia ingin mati. Toh aku akan hidup lagi. Dihidupkan lagi.

Sumbu itu mulai terbakar; memendek sedikit demi sedikit.

Aloysius tertegun sesaat, merasakan seseorang mencapit punggung rompinya. Itu Genma.

Pemuda itu, masih dibutakan kemarahan dan sisi gelapnya, menarik tubuhnya hingga berdiri dan, dengan pedang pendek di tangan kanannya, menusuk perut Aloysius dan mencabutnya. Aloysius meringis.

Pedang itu akan menghantam tubuhnya sekali lagi sebelum Aloysius menahan pergelangan tangan kanannya, memuntirnya 180 derajat, menguncinya. Suara tulang berderak terdengar dari tangan itu dan Genma membelalakkan mata merahnya, kesakitan.

“Dengar, anak tolol. Semua ini akan ada balasannya nanti. Aku tidak ingin mati karenamu.”

Dan, dengan tangan kanan Genma berada dalam genggamannya, pria itu menusuk dirinya sendiri dengan pedang pendek itu, berkali-kali, tepat di jantungnya. Kemeja putihnya berubah merah; rompi hitamnya basah oleh darah.

Aloysius tersenyum tipis sebelum saat yang ditunggu-tunggu itu menghampiri dirinya. Hal terakhir yang diingatnya adalah meriam itu, membayangkan keributan yang akan terjadi ketika bola meriam tepat mengenai sasarannya. Dan meledakkannya.

Arashi. Ælfric. Sahabat. Pengkhianatan. Ketika aku seharusnya mencintai dua-duanya.

Genma terpaku ketika melihat bola mata putih Aloysius terbelalak sebelum saat-saat terakhir hidupnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa—kecuali tercengang. Pria itu hanyut dalam pikirannya.

Kalau aku bukan mati di tangannya, paling tidak aku mati di pundaknya.

Dan ia ambruk di bahu Genma, wajah pucatnya terbenam dalam kemeja pemuda itu dan rambut merah mencuat-cuatnya. Genma terhuyung sesaat, refleks menahan tubuh Aloysius agar tidak terjatuh. Namun pria itu sudah tidak bernyawa.

Suara ledakan meriam membangunkan Genma dari sisi gelapnya. Bola meriam yang berpijar terlontar ke  kejauhan, meninggalkan menara di tengah manor dan melintasi langit dunia elemen yang dingin.

ElementbenderWhere stories live. Discover now