21.3: Wonder Lea

2.6K 143 4
                                    

Takumi dan kelima pengendali elemen sampai di tempat yang dimaksud Higina ketika hari telah beranjak gelap. Tempat ini hanya berupa sehamparan padang rumput yang dikelilingi rimbunnya pepohonan, semak-semak bunga, dan jamur-jamur raksasa; lumayan cantik di waktu malam. Tempat ini agak gelap karena tidak ada bulan yang menyinarinya. Tidak ada yang berubah; seolah tempat ini kebal oleh kerusakan yang dibuat pengendali kehidupan pengganti—paling tidak untuk sekarang.

Mereka baru beberapa langkah berjalan ketika sepasukan patroli berjubah cokelat kembali muncul dari sebuah bangunan; sedang berpatroli—mendesak mereka untuk bersembunyi di antara jamur-jamur raksasa yang tumbuh di pinggir padang. Tanah bergemuruh sementara pasukan berjubah cokelat tersebut berjalan melewati mereka. Si pemimpin pasukan; seorang laki-laki dengan jubah sedikit lebih mewah dari anak buahnya, menghentikan langkah dan menyuruh pasukan agar tetap tenang.

Si pemimpin terlihat sama buruknya dengan laki-laki berjubah cokelat lain; wajah gelap tertutup bayang-bayang sampai ke hidung, dan senyum tipis di bibirnya yang gelap. Mulutnya bergerak-gerak, menggumamkan sesuatu.

"Kembali ke pos jaga kalian," kata si pemimpin dengan tegas. "Aku sendiri yang akan menghadap Tuan Arashi. Dan satu lagi," laki-laki itu menyunggingkan seringaian aneh. "Temukan Belle Natura. Habisi dia."

Pasukan berjubah cokelat itu pun bubar. Si pemimpin berbalik arah ke sebelah kanan hutan, kemudian hilang di balik pepohonan. Jauh dari tempat kelima pengendali dan sang pangeran berada.

Sakura terhenyak. "Sinting. Orang-orang itu mengkhianati pemimpin aslinya. Ugh, anak itu di mana, sih?"

"Beberapa langkah di belakang kita," jawab Rira; mata kucingnya mengarah lurus ke depan. Ada sesuatu yang terlewat olehnya sejak tadi; padang rumput yang seharusnya hanya berisi bunga-bunga dan jamur kini memiliki bangunan-bangunan kelabu di tengah-tengahnya, seperti pilar-pilar—mungkin malah patung-patung. Langit yang suram ditambah penerangan yang kurang membuat bangunan-bangunan tersebut hanya terlihat samar dari kejauhan.

"Siapa Arashi?" tanya Takumi, berusaha mengisi keheningan. "Itu nama yang disebutkan orang berjubah tadi. Dia teman kalian, atau... pengendali 'pengganti'?"

Takumi mengucapkan pertanyaan terakhirnya dengan hati-hati. Tanpa diberitahu pun ia sadar bahwa "pengendali pengganti" pasti bukan topik bagus untuk dibicarakan dengan mereka, karena sekarang kelima-limanya menatap Takumi dengan kehati-hatian yang sama.

"K-kami tidak tahu," Ayumi berbisik. "Mereka... baru ada setelah kami pergi. Kemungkinan bukan orang baik...."

Tidak ada percakapan lagi. Berusaha mengalihkan dirinya dari situasi ini, gadis itu mulai  memerhatikan miniatur biola putih yang tergantung di pinggang gaunnya. Benda itu nyaris terlupakan karena beratnya yang ringan. Ia menggenggam erat miniatur tersebut; benda perak mungil kenang-kenangan ibu kandungnya sebagai penghubung terakhir si gadis ilusi dengan klan Shizukane di bumi.

Atau—kenang-kenangan dari pengendali ilusi terahulu?

Ayumi menggenggam biola mungil itu lebih kuat. Nanaho selalu bilang bahwa benda ini adalah peninggalan ibunya, tetapi siapapun bisa berbohong. Gerak-gerik Nanaho sewaktu memberikan miniatur biola tersebut lebih mirip sikap seorang kakak yang menyelundupkan senjata kepada adik kecilnya.

Senjata!

"Hei, kenapa masih di sini?"

Keenam remaja tersebut terlonjak. Higina tiba-tiba muncul dari belakang mereka, sayap ramping dan kimononya sekarang tertutup oleh jubah hijau yang menjuntai dari kepala sampai kaki. Hanya wajah dan tangan gadis itu yang terlihat. Sekilas, dia nyaris terlihat seperti seorang tentara berjubah yang tengah berpatroli.

Sakura mendesis. Ditatapnya Higina dengan gemas.

"Dari mana saja kau? Kami khawatir setengah mati!" gerutunya. "Jangan bilang kau tersesat di desamu sendiri."

"Memang tersesat," balas Higina, tersenyum ringan. "Banyak yang berpatroli di sana. Bukan salahku kalau aku harus bersembunyi setiap dua menit sekali."

"Bagus. Soalnya mereka semua ingin membunuhmu," tandas Genma tanpa tedeng aling-aling.

Higina mengernyit.

Tidak memedulikan reaksi gadis itu, sang pemuda api bangkit dari tempat persembunyiannya. Karena sekarang Wonder Lea sepi, ia bisa menampakkan tubuhnya tanpa ketahuan—dan keluar dari sana, yang sekarang ia lakukan. Keenam temannya mengikuti. Ayumi menyusul agak jauh di belakang; kakinya pegal, sayapnya terkilir dan tangan kanannya menggenggam miniatur biola yang tanpa sepengatahuannya telah berubah menjadi biola sungguhan. Ia bergumam pelan.

"Itu... patung?"

Mereka menghentikan langkah. Perkataan Ayumi benar. Di tengah-tengah padang, sejumlah bongkahan batu raksasa berdiri tegak melawan angin, dan—seperti dugaan Rira asebelumnya—adalah patung-patung marmer. Setiap patung berwarna abu-abu tua dan bertekstur halus, ukurannya sekitar tujuh kali tinggi fayre biasa. Bentuknya bermacam-macam. Kebanyakan berupa wanita dewasa dengan bibir tipis dan mata sedikit sipit, tersenyum lebar ke arah rerumputan, berpakaian minim, menerawang—beberapa bahkan telanjang. Beberapa patung lainnya menggambarkan seorang anak laki-laki berambut pendek dengan kimono yang kebesaran.

Takumi menengadah, menatap wajah salah satu patung wanita lekat-lekat. Semakin ia memerhatikannya, semakin ia sadar bahwa wanita itu memiliki wajah Higina. Para pengendali elemen mungkin juga memerhatikannya—dan itu mempertebal kecanggungan di antara mereka.

"Lebih baik kita menyamar," kata Higina tiba-tiba. "Aku punya kain-kain ini. Ada tujuh, salah satunya kupakai—lihat? Kalian pakai sisanya. Tutupi wajah dan sayap kalian sebaik mungkin. Kita bisa berpura-pura sebagai pasukan berjubah cokelat juga, hanya warnanya berbeda."

Ditunjukkannya keenam jubah tersebut pada teman-temannya. Hanya berupa kain hijau tebal, sedikit berdebu dan lusuh, sama dengan jubah yang dipakainya sekarang. Keenam temannya sadar bahwa mereka lebih membutuhkan "jubah" itu sebagai selimut daripada untuk menyamarkan diri. Udara di Gaelea sangat dingin, terutama di tengah padang rumput yang diapit pepohonan rimbun dan jamur-jamur raksasa. Higina juga merasakan hal yang sama.

Mereka sudah memakai jubah ketika berjalan melewati patung-patung telanjang tersebut sambil berusaha agar tidak menengadah. Jubah-jubah itu sangat lebar—terlalu lebar untuk ukuran pakaian, malah—untuk ukuran Rira dan Genma yang tinggi, kain hijau tersebut masih terseret-seret di tanah. Takumi memakai jubahnya sendiri dan merasakan bahannya yang tebal menarik-narik tubuh kurusnya dengan canggung. Tuksedo kusut juga masih melekat di badannya, memberikan kesan konyol pada penampilan Takumi secara keseluruhan. Jauh lebih konyol daripada memakai tudung telinga kucing.

Keenam pengendali elemen nyaris tidak dikenali lagi—jubah-jubah hijau tersebut mengerudungi kepala mereka, menyamarkan sebagian wajah mereka, menutupi keseluruhan tubuh dan sayap mereka dengan hanya menyisakan tangan untuk memegangi ujung jubah. Mirip anggota kerajaan yang menyamar sebagai rakyat biasa, Takumi mengangkat bahu. Ia segera berlari menyusul mereka. Semampu yang ia bisa.

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang