22.2: A Broken Statue of a Broken Bloke

2.6K 137 0
                                    

"G-G-Genma?" tanya Sakura gemetaran, panik. "Bagaimana caranya kita kabur?"

Patung raksasa yang marah itu merusak pohon ke sana ke mari. Suara desingan gergaji nyaris membuat telinga mereka tuli. Ia mengejar siapapun yang lewat dengan semangat—entah itu Okuto yang buru-buru kembali ke lubang bawah tanah, atau Higina yang menghadapi patung itu seorang diri; mengacungkan kapak perangnya. Patung raksasa tersebut menurunkan tangan batunya ke tanah, meraih-raih siapapun yang berkeliaran di sekelilingnya.

Sementara itu, Ayumi bersembunyi di balik salah satu di antara sekian banyak patung di tempat ini. Untunglah hanya satu yang hidup. Ia bukan Higina dan Takumi—ia tidak bersenjata. Diremasnya miniatur biola yang—Tunggu.

Ini bukan biola lagi. Ayumi menarik tangannya ke hadapan mata dan melihat busur biola paling mengilap yang pernah dilihatnya. Benda ini pasti berubah dengan lembut di tangannya. Namun, di mana biolanya?

Ayumi menelan ludah. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat sebuah biola putih tercampak di tanah, tidak jauh dari kaki si patung raksasa.

***

"Pakai apa saja!" Higina mengumumkan. "Apa saja!"

Teriakan keras gadis itu menarik perhatian patung raksasa. Batu-batu seukuran kepala dilemparkan ke arahnya. Higina melepas jubahnya, kemudian mengepakkan sayapnya yang kini bebas; menyelamatkan dirinya dari hujan batu.

Patung itu melihatnya. Dia menggapai-gapai udara; gadis itu terlalu ramping untuk ditangkap. Menyerah, dia menggunakan sayap gergajinya. Bertekad mengiris-iris tubuh gadis yang sudah menjengkelkannya tersebut.

Higina tersentak.

"Untuk menghancurkan sebuah bangunan," gumam Takumi, membayangkan film-film tentang teror yang pernah dilihatnya. "Kau harus menghancurkan struktur dasarnya." Namun, ia tidak bisa membayangkan kemiripan sebuah bangunan dengan patung mengamuk di hadapannya. Patung ini tidak terbuat dari kayu atau besi.

"Pakai apa saja apa, Higina? Bulu dari sayapmu?" teriak Tabitha jengkel. Buru-buru terbang menjauh dari patung yang mengamuk, gadis itu menangkap sehelai bulu sayapnya sendiri dan meremasnya dalam genggaman. Itu kebiasannya kalau sedang gemas sekaligus panik. "Kami, 'kan, tidak—" Perkataannya terhenti.

Bulu putih di tangannya tidak meremuk; melainkan berubah bentuk.

Sementara itu, Sakura sibuk menenangkan dirinya sendiri. "Pakai apa saja, pakai apa saja...." Pilar tempatnya berlindung nyaris roboh setelah setengah bagiannya dirusak oleh patung tersebut. Karena perhatian monster itu sekarang teralihkan oleh Higina, ia bisa pindah tempat ke pilar yang lebih aman dengan mudah. "Pakai apa saja... apa?" Tanpa sadar, disentuhnya beruntai-untai kalung benang hitam di lehernya.

Benang hitam, pikirnya—teringat hari pertama kali Ochiru memberikannya kalung tersebut. Hanya beberapa utas benang yang diikat longgar sehingga mirip kalung. Meskipun Sakura lebih terpesona pada kalung emas beruntai-untai sungguhan yang dilihatnya pada beberapa orang, Ochiru bilang; pengendali elemen tidak boleh serakah. Namun ada sesuatu yang dipaksakan pada ucapan wanita itu. Seperti pesan rahasia.

Sakura menarik seutas benang dari lehernya dan—di luar dugaannya—benang tersebut berubah.

Pertama, hanya warna benang yang berubah; sewarna ranting pohon. Kemudian, benang itu mulai benar-benar terasa seperti ranting pohon—ujung yang dipegangnya menjadi sekeras kayu sementara ujung satunya memanjang, melentur, berduri. Tiba-tiba, angin berhembus keras.

"Kau ada di sana, Sakura! Lari atau mati!" Suara angin samar-samar memanggilnya, membuat Sakura sejenak melupakan monster di belakangnya. Gadis itu memainkan cambuk di tangannya dengan takjub. Ochiru baru saja memberikan pesan angin.

"Bagaimana caranya lari sementara mereka masih di sana?" gumamnya kesal, menatap teman-temannya yang sibuk beterbangan di sekeliling patung raksasa, menghindari sayap gergaji tersebut. "Tapi mereka cerdik, Ochi-sama—di sekeliling Wonder Lea ada banyak kehidupan. Kalau kami berlari ke sana, makhluk itu akan mengejar. Bayangkan berapa pohon yang terinjak kalau hal itu terja—"

 "Bicara dengan siapa, Milady?" tanya Genma kalem. Bulu-bulu merah dan hitam beterbangan di sekelilingnya ketika pemuda itu mendarat. Sakura tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba Genma menariknya dari pilar tempatnya bernaung, menuju lapangan rumput terbuka, setengah memeluk gadis itu erat-erat.

"Apa-ap—"

"Lihat."

Dan Sakura pun menoleh. Patung raksasa yang mengayunkan tangannya ke sana-ke mari itu sedang dipermainkan; teman-temannya entah mengganggu patung itu atau melemparkan sesuatu yang tajam ke arahnya, kebanyakan melempar ke arah sendi-sendinya. Salah satu dari mereka menggunakan sebatang tombak berwarna putih. Tunggu—seseorang itu Tabitha.

"Punya sesuatu yang lebih bagus?" tanya Genma malas. "Begini; kami kehabisan ide dan kita tidak mungkin berada di sini selamanya. Monster itu mudah terganggu. Dia mengejar siapapun yang berlari cepat."

Sakura menelan ludah.

"Ngomong-ngomong, apa itu?"

"Camb—maksudku tali." Diliriknya tangan Genma yang masih melingkar di seputar pinggangnya dan mengerutkan dahi. "Ke mana jarum jammu?"

Di tangan pemuda itu, terdapat sepasang pedang yang paling aneh yang pernah ia lihat—salah satu pedang berukuran lebih pendek dari yang lainnya. Pedang-pedang itu berukiran motif bunga bakung yang samar, gagangnya berwarna hitam kemerahan, dan bilahnya tajam—ujungnya nyaris selancip jarum.

Genma refleks melepaskan pelukannya. "Ternyata itu bukan jarum detik dan menit. Itu...  pedang. Ryuuhi-san memang gila." Ia menyeringai sesaat. "Sekarang—awas; di depanmu!"

Dia benar. Patung itu berjalan mendekati mereka, sayapnya yang terbuat dari gergaji raksasa kini mengarah kepada Sakura. Genma menepuk punggung gadis itu pelan, kemudian terbang pergi.

"Hei! Mau ke mana?"

Patung itu membungkuk ke arahnya, seolah mencium-cium. Jarak mereka yang sekarang hanya beberapa meter membuat nyali Sakura ciut juga. Gadis itu menahan napas begitu puncak hidung makhluk itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, matanya yang membelalak marah terhunjam ke arahnya. Kakinya membeku ketakutan. Kalau ia berlari akan lebih gawat lagi.

Terutama ketika patung itu mulai membuka mulutnya. Memperlihatkan sebuah rongga hitam gelap.

"Pernah melihat eksekusi kematian?"

Sang gadis angin terperanjat, melempar tubuhnya ke udara dan terbang menjauh pada saat yang tepat. Dalam seperberapa detik, kepala patung raksasa tersebut lepas dari lehernya, jatuh berguling-guling di tanah berumput. Mulut hampanya masih terbuka; tubuh batunya ambruk ke belakang—mencerai-beraikan struktur dasarnya sementara para pengendali lain beserta sang pangeran berlari menjauh. Bunyi berdebam dan asap berkerikil memenuhi udara. Tidak ada desingan gergaji lagi.

Mereka terduduk. Terlalu letih untuk bergerak; senjata-senjata dijatuhkan.

Kecuali tiga orang. Genma, Tabitha, dan Higina masih berdiri di atas reruntuhan sang monster patung, senjata-senjata mereka tertancap di tanah tidak jauh dari tempat leher patung itu terpotong. Sendi bola yang sebelumnya menyatukan antara kepala dan leher patung tersebut tercabut dari tempatnya, retak oleh hantaman kapak, tombak, dan—bahkan—pedang. Genma melompat turun sambil menyunggingkan senyum janggal khasnya.

"Selesai."

ElementbenderWhere stories live. Discover now