Prologue

8.1K 369 20
                                    

Seorang gadis bersayap kelelawar merebahkan dirinya di atas tempat tidur beludru, memain-mainkan gantungan miniatur biola putih yang melingkar di pinggangnya. Kepalanya pusing. Bayangan-bayangan di langit berubah; terkadang ada aurora, sosok hitam melayang di udara—dan di atas tempat tidur itu sendiri, bayangannya berganti-ganti antara naga, monster, hingga gadis kecil.

Hal itu selalu terjadi setiap kali kepalanya pusing.

Rakyatnya akan dengan mudah mengetahui setiap kali pemimpinnya merasa sedih, tetapi akan lebih susah apabila sedang marah. Gadis ini tidak pernah marah. Hampir tidak pernah.

Nama gadis itu Ayumi, dan dia adalah pengendali elemen ilusi sekaligus pemimpin para shoreal. 

Shoreal adalah makhluk yang berekor seperti kuda laut. Satu dari sejumlah ras yang mendiami negeri Evaliot. Nyanyian seorang shoreal perempuan bisa membuat  nelayan menenggelamkan perahunya, dan sekali sang pengendali ilusi menyanyi, setiap orang bisa tersihir.

Tidak seperti rakyatnya, Ayumi tidak mempunyai ekor kuda laut. Dia adalah keturunan manusia yang diserahkan kepada pengendali ilusi sebelumnya, 121 tahun lalu, untuk dilatih menjadi pengendali ilusi berikutnya. Kedua orang tua kandung serta orang-orang yang hidup di masanya sudah lama meninggal.

Bagi manusia—andaikan ada manusia yang bisa melihatnya sekarang—Ayumi terlihat seperti berumur 17 tahun. Kulitnya yang putih langsat dan selalu memerah, matanya yang beriris merah pucat, lekuk tubuh tanpa cela dari ujung rambut ke ujung kaki, serta rambut hitam bergelombang yang menjuntai sampai ke pinggang membuat banyak pria tertarik padanya. Ayumi masih muda—banyak yang menganggapnya tercantik di antara para pengendali elemen. Beberapa laki-laki muda bahkan dengan polos memintanya sebagai pacar. Dan Ayumi selalu menggeleng. Tidak, terima kasih. Lebih baik mengurus desaku dulu.

Terdengar dengusan kuda di kejauhan. Gadis itu buru-buru menghampiri jendela.

Tempatnya tinggal adalah sebuah menara tinggi di dasar laut. Puncaknya ada di atas lautan, dan di situlah tempat Ayumi tinggal. Terdapat belasan cermin rias yang menjulang dari kaki sampai kepala. Cermin-cermin itu hasil penemuannya—beberapa membuat bayangan orang yang bercermin di depannya terlihat seperti monster, hantu, atau seratus tahun lebih tua. Hari ini, Ayumi tidak memedulikan tentang cermin apapun. Gadis itu lebih suka berdiam di kamarnya, mengurusi kepalanya yang sakit.

Suara kuda meringkik terdengar semakin jelas.

"Yang Terhormat, Nona Ayumi! Kami utusan dari kerajaan."

Ayumi segera menuruni menaranya secepat yang ia bisa, berpapasan dengan para pengawalnya dan mengangguk. Dua orang pengawal segera mengekornya menyeberangi pedesaan shoreal hingga mencapai permukaan.

"Kalian tetap di sana, bersiaplah apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan," intruksi Ayumi kepada para pengawal.

Suara berat seorang pria menyela perkataannya. "Tidak perlu sesiaga itu, Nona Ayumi. Kami hanya menyampaikan berita penting dari kerajaan." Langkah sepasang sepatu bot berderap mendekati bibir pantai nyaris menulikan telinganya. Ayumi bisa mengenali suara si pemilik sepatu bot. Itu Perdana Menteri.

Sang pengendali ilusi mengeluarkan kepalanya dari air dan segera berhadapan dengan—sesuai dugaannya—Perdana Menteri. Gadis itu tersenyum skeptis.

Perdana Menteri membalas senyumnya dengan hormat. Ayumi tidak terlalu menyukai pria dewasa ini. Dia terlihat sangat bijaksana—terlalu bijaksana, malah, dengan postur tubuh tinggi, rambut panjang cokelat-kelabu yang dijalin kepangan besar, dan ekspresi 'aku-tahu-segalanya' yang selalu terukir di wajahnya. Orang-orang seperti itu selalu membosankan.

"Kami, utusan kerajaan diperintahkan menyampaikan berita dan perintah kepada setiap pengendali elemen di kerajaan bahwa—"

"Tolong, cepat sedikit," kata Ayumi cepat-cepat. Sang perdana menteri mengernyitkan dahi, tidak menyangka sang pengendali ilusi akan terdengar seketus itu. Ia meneruskan pengumumannya.

"—bahwa Pangeran Takumi Kuro, telah menghilang."

***

Kabar hilangnya sang pangeran telah menyebar ke setiap penjuru kerajaan hari itu juga. Kata pelayan muda yang mengantar sarapan ke kamarnya, dan memegang kunci darurat kamar sang pangeran pada saat itu, Pangeran Takumi tidak ada—digantikan oleh genangan darah di tempat tidurnya. Dan hal pertama yang dilakukannya adalah—seperti orang normal lainnya—berteriak.

"Jendelanya t-t-terbuka! Dan p-pintunya terkunci! D-dan ada d-d-darah!" jeritnya di depan Raja dan Ratu, beberapa saat lalu.

Raja dan Ratu secara khusus memanggil keenam pengendali elemen untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Ayumi yang paling terlambat datang dengan setitik air mata di sudut wajahnya.

"Menghadap diri, Yang Mulia."

"Ayumi, wajahmu kenapa?" tanya Ratu lembut.

Gadis itu terkejut, kemudian buru-buru menyeka wajahnya.

Ruang singgasana hening, sehening lautan dalam. Keenam pengendali elemen berdiri di hadapan Raja dan Ratu serta kursi takhta mereka yang jangkung dan dilapisi beludru merah. Wajah Raja yang bergaris-garis kini terlihat letih, disibukkan dengan segala urusan pemerintahan. Sang permaisuri yang biasanya tampil segar, sekarang bahkan tidak memakai riasan apapun untuk menutupi mata sembabnya.

"Kalian sudah mendengar beritanya, 'kan," kata sang Raja. "Takumi—anak kami, dan teman kalian—menghilang; dan satu-satunya bukti yang ditemukan di kamarnya... tidak begitu mendukung teori bahwa dia kabur dari rumah." Ia beralih pada istrinya. Sang ratu berubah sendu.

"Darah, Yang Mulia?" tanya sang pengendali api—Genma—hati-hati.

"Ya." Dengan hati-hati pula, sang Raja menambahkan. "Semoga itu bukan pertanda buruk."

Sang pengendali kehidupan, Higina, menyela. "Maaf, Yang Mulia. Bukankah setiap darah adalah pertanda buruk?" tanyanya sopan.

"Setidaknya kita harus berharap putraku masih hidup," kata sang Raja. Air mukanya berubah gelisah.

Keenam pengendali elemen membungkuk hormat.

Mereka harus berharap.

ElementbenderWhere stories live. Discover now