8.2: Early Morning

3.1K 151 2
                                    

Jam empat dini hari, Rira menjadi yang pertama bangun hari ini.

Tergolong siang, sebenarnya—Rira biasa bangun jam dua malam walaupun sebelumnya tidur sangat larut. Ia tidak bisa mengubahnya. Mau bagaimana lagi, sudah kebiasaan. Meskipun begitu, toh kurang tidur tidak bisa memengaruhi kondisi fisiknya.

Hal pertama yang diingatnya sesaat setelah ia bangun tidur adalah kucingnya. Seekor kucing dewasa, sangat kekanak-kanakkan, pengantuk, berbulu putih dan abu-abu. Kucing itu selalu ingin berada di dekatnya, hinggap di tengkuknya dan mencakar-cakar sepatu bot hitamnya. Dia bisa memahami perkataan orang lain—sama seperti semua hewan yang hidup di dunia elemen—meskipun Rira tidak bisa menerjemahkan meongannya secara harfiah. Selama mereka pergi mencari Takumi, ia menitipkan kucing itu pada seseorang yang bisa ia percaya—seorang wanita tua.

Ditatapnya sekeliling tempat di mana ia tidur. Salah satu sofa di ruang tengah. Ada Tabitha dan Genma juga; yang satu tidur sambil bertelekan pada lengan sofa untuk satu orang, yang satu lagi bergelung di atas sofa panjang dengan wajah damai, rambut cokelat panjang menyelubungi sebagian besar bahunya, dan ditutupi selimut tebal. Rira sendiri berusaha tidur sambil bersandar di sofa tidak jauh dari mereka berdua. Lumayan berhasil juga.

Gadis di dalam tumpukan selimut itu menggeliat, mengejutkan Rira untuk beberapa saat, kemudian tidur lagi.

Rira mencibir. Ia tidak pernah terlalu menyukai Tabitha—gadis itu selalu bisa mencari alasan untuk menyinggungnya. Lagipula, ia, Tabitha, dan Genma harus bangun lebih pagi daripada teman-temannya yang lain. Bukannya mereka harus kerja hari ini? Jangan-jangan ia harus membangunkan seisi ruangan dengan petir juga. 

Sepertinya tidak terlalu berbahaya. 

Rira menggeleng pelan. Lebih baik ia mencoba membangunkan mereka secara "tradisional" sebelum menggunakan pengendaliannya pada dunia manusia.

Sebagian selimut yang menutupi tubuh gadis itu tersingkap. Rira refleks mengulurkan tangannya, meyelimuti kembali tubuh Tabitha dengan kain tebal yang—seingatnya—berasal dari lemari di kamar tidur. Ketika ia menarik tangannya kembali, kulit pipi gadis itu bersentuhan dengan ujung jemarinya.

Rira mengernyitkan dahi.

Seharusnya ada rasa sakit di sini.

Tabitha menggeliat lagi: menguap pelan, membalikkan tubuh dan membuka matanya perlahan—sementara Rira sudah berjalan ke kamar mandi. Gadis itu menegakkan punggung. Ia mengucek-ngucek mata seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Hazelnut, kali ini giliranku mandi dulu—"

Percuma saja.

"Sekarang ini giliranku, Tabitha."

Seperti biasa, seberuntung apapun Tabitha, dia selalu kalah melawan Rira. Ini bahkan baru jam empat dini hari.

***

Ame hanya diam sambil menopang dagunya di atas meja makan pada waktu sarapan.

"Ada yang bisa kubantu, Otouto?" tanya Aya prihatin. Ditariknya sehelai roti panggang dari tumpukan roti di piring dan mulai mengolesi mentega di atasnya. "Merasa tidak enak badan lagi?"

Sepertinya Ame kelihatan semakin sakit dari hari ke hari. Dia sendiri sehat-sehat saja, tetapi hatinya tidak. Ingatan-ingatan dari masa lalu, mimpi-mimpi yang sulit dilupakan—pemuda itu kini lebih suka berjalan-jalan di luar, melihat-lihat sekitar, memberinya waktu untuk berpikir soal "rantai yang hilang" dari ingatan-ingatan tersebut. Aya sering melihatnya berusaha agar tidak melamun dengan menulis skripsi dan berbicara sendiri. Dan wanita itu semakin hari semakin prihatin saja.

"Nee-san, aku mau bertemu orang tuaku sebelum kau menikah," kata Ame akhirnya, menghempaskan diri di sandaran kursi. "Aku harus tahu siapa aku sebenarnya."

"Apa mengingat masa lalumu seberat itu?" tanya Aya lagi. Ditaruhnya roti panggang tadi ke atas piring. Sesaat, perkataannya mengingatkan Ame kepada Helen sang psikiater.

"Tidak juga," gumamnya lesu. "Terkadang mereka datang begitu saja. Di sesi terapi, di saat pulang dari kampus, di saat bertemu..." suaranya menghilang.

"Di saat bertemu apa?" Aya tercenung. Ame menggeleng.

"Tidak, lupakan saja."

Cowok itu melirik Aya sekilas. Apa hari ini ia akan menemukan orang yang mengaku mengenalnya sebagai "Takumi" lagi? Ayumi si pelayan kafe tidak masuk hitungan.

"Tapi kau harus kuliah, Ame," kata Aya setelah beberapa saat. "Dan aku ingat Haruna-san libur hari ini, jadi kau tidak perlu ikut sesi terapi. Aku pesankan pizza, deh," janjinya. "Pada jam kira-kira kau pulang kuliah, aku akan keluar sebentar dari kantor dan ke kedai pizza. Uangnya ambil saja di atas kulkas."

Aya bangkit dari tempat duduknya setelah menyelesaikan sarapannya, diikuti dengan Ame. Dia beranjak kembali ke dalam kamar.

"Pizza dari toko mana?" tanya Ame sambil menaruh kertas-kertas skripsinya ke dalam tas. Itu adalah skripsi yang harus ditulis tangan dan bukan dikirim lewat e-mail.

"Tentu saja dari kedai di dekat kantorku!" balas Aya setengah berteriak. "Enak, deh!"

ElementbenderWhere stories live. Discover now