1.2: Tea Party of Gloom

5.9K 296 10
                                    

Chapter 1.2: Tea Party of Gloom

Rambut emasnya bergerak-gerak mengikuti angin, dan salah satu helaiannya melingkar-lingkar di jemari pemiliknya. Seorang gadis berambut emas dan bermata multicolor duduk di kursinya sambil mengayunkan kakinya gelisah, sebelah tangan menopang pipi tirusnya. Bibirnya yang tipis, dan berlekuk-lekuk tajam mengerut. Mata yang nyaris memiliki semua warna pelangi tersebut berputar-putar. Gadis itu sedang memikirkan sesuatu.

“Kita tidak bisa diam saja,” katanya, setelah beberapa saat keheningan mendominasi meja pertemuan Etheres. Gadis pemilik rambut emas berliku-liku tersebut adalah pemimpin para elf beserta daerah Etheres, meskipun ia bukan salah satu dari mereka. Tubuhnya yang ramping, tipis, dan dibalut terusan tanpa lengan sewarna emas dan rok ala balerina nyaris tenggelam di atas kursi tingginya. Gadis itu bergumam kepada dirinya sendiri. “Jangan khawatir, Sakura.... Jangan khawatir...”

Etheres adalah satu dari lima teritori yang berada di Evaliot—yang lebih sering disebut “dunia elemen”. Penghuninya adalah elf, satu dari lima ras yang mendiami dunia elemen. Etheres adalah salah satu teritori tersubur di dunia elemen, dan para elf adalah penyayang binatang terbaik dibanding makhluk lain.

“Raja dan Ratu tidak mengizinkan kita mencarinya,” sanggah Tabitha, sang pengendali air berambut silver, bermata silver, dan berkulit pucat dengan nada tanpa rasa bersalah seperti biasa. Gadis kekanak-kanakkan yang sebenarnya sangat sarkatis itu memimpin teritori Muiridel, sebuah kota bawah laut yang didiami duyung. “Skakmat.” Ia tersenyum tipis, puas telah mengalahkan lawan bicaranya dalam satu pernyataan pendek. Gadis itu mengangkat cangkir berisi teh setinggi dagunya, ragu-ragu akan minum atau tidak.

Genma, sang pengendali api, bermata paling hijau di seluruh penjuru dunia elemen, dan memimpin teritori Pyrrestia sekaligus para falcon—ras superior berwajah persegi dan bercakar elang—tersenyum dengan arti ‘aku-suka-caramu-mematikan-percakapan’. Senyumnya sendiri memiliki banyak arti. “Memang. Dan sampai kapan? Langit sudah berubah. Lihat, tidak ada yang sama semenjak hilangnya sang pangeran.”

Seisi meja sunyi seketika. Lahan berumput di samping kantor pusat Etheres seolah melayu, berubah menjadi setandus gurun, meskipun semak-semak dan bunga-bunga liar masih tumbuh subur di sana-sini. Kesedihan seseorang dapat dengan mudah mengubah tempat ini. Meja-meja bertaplak indah masih digelar, kursi-kursi berlengan masih tertata rapi. Asap hangat mengepul dari teko-teko teh yang panas. Cangkir-cangkir dan piring-piring tersusun rapi di atas meja, menunggu tangan-tangan hangat menyentuhnya. Namun, para pengendali elemen sudah terlanjur kehilangan selera makan.

Acara minum teh ini berubah menjadi serius dan agak suram. Tidak ada yang benar-benar menikmati teh mereka. Bahkan Ayumi hanya memutar-mutar sendok di dalam cangkirnya. Etheres dan seluruh dunia ini berubah semenjak Ratu menjadi murung. Dan itu bukan berarti Raja tidak gelisah akan lenyapnya sang pewaris takhta kelak.

“Kita bisa cari dia di bumi,” usul Genma, memamerkan senyumnya yang paling lebar. Kali ini seluruh temannya menoleh dengan mata bulat. “Ya sudah kalau tidak mau, tapi kita tidak akan mendapatkan apa-apa kalau hanya berputar-putar di sekitar dunia elemen yang kecil ini. Bumi jauh lebih luas. Dan kita punya portal menuju ke sana. Di mana lagi kalau bukan di bumi?”

Tidak ada yang benar-benar menjawab usulannya, hanya seluruh pengendali elemen kecuali Genma yang berdesis kompak. “Sinting.”

Yang masih terlihat tenang di sana adalah Higina, sang pengendali kehidupan. Wajahnya yang dibingkai helaian rambut sewarna indigo hitam yang lepas dari sanggulnya terlihat lebih manis dengan kulit kuning langsat dan bibir yang seolah selalu tersenyum. Pengurus teritori Gaelea, pemimpin para fayre. Gadis itu menaruh cangkir teh dengan hati-hati kembali ke atas meja, benci melihat setetes pun menodai kimono sutra hitamnya. Dia sangat perfeksionis. “Bagaimana kau yakin Pangeran Takumi masih hidup?” tanyanya, dengan suara merendah.

Genma mengangkat sebelah alis. “Harapan.”

Sebuah kata singkat tersebut seolah mengunci mulut semua yang hadir. Harapan. Bahkan Tabitha tidak membantah lagi. Siapa sekarang yang skakmat?

“Kita... tidak bisa meninggalkan masyarakat di bawah kekosongan, Genma,” kata Ayumi lamat-lamat. Setengah kepada Genma, setengah kepada dirinya sendiri. “Apa kau juga tidak bisa membayangkan... peperangan?” cegahnya.

Mereka tahu maksudnya. Apabila mereka meninggalkan dunia ini, tidak ada lagi pemimpin bagi kelima teritori, dan keenam elemen di dunia elemen akan dibiarkan begitu saja—entah merusak atau menghilang. Terutama dalam situasi seperti ini.

Tidak ada yang bahagia mendengarnya. Bahkan sang pengendali listrik, Rira—seorang pemuda bermata kelam dengan pupil memanjang, kulit pucat, dengan lingkaran gelap di seputar matanya—hanya mendorong jatah tehnya menjauh.

Rira tidak mengurus teritori apapun. Ia tinggal di kastilnya sendirian di daerah Charonte, sebuah pegunungan berbatu dekat pantai Muiridel. Tidak benar-benar kesepian karena ia bisa mengunjungi pesta minum teh Sakura kapan pun ia mau, seperti sekarang.

“Para pengendali elemen sebelum kita,” celetuk Tabitha. “Maksudku, seperti Nozomu-senpai dan lainnya. Kita bisa pergi beberapa bulan dan meminta mereka menjaga teritori untuk kita.”

Seorang pelayan yang membawa seteko teh datang mengisi teko-teko teh kosong di tengah meja, kemudian pamit pergi. Mereka masih diam. Namun, Genma yang teringat hal terkait perkataan Tabitha barusan membantah. Alis merahnya mengerut.

“Mustahil. Aku belum melihat Ryuuhi-nii selama seminggu ini.”

Hening sesaat, sebelum sang gadis air menambahkan.

 “Hmm.  Nozomu-senpai juga.”

“... Nanaho-sama juga.”

“Ochiru-sama juga menghilang.”

“Yuki melenyap sejak seminggu lalu.”

“Atsuka-nee juga tidak kelihatan lagi....”

Mereka menatap satu sama lain. Satu misteri lagi untuk dipecahkan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now