85: Mourning on a New Day

282 35 15
                                    

//Yay, saya lanjutin lagi!!

Well, sort of. Saya minta maaaaf banget karena udah ninggalin EB untuk waktu yang terlalu lama, karena alasan yang nggak jelas. Tapi seorang penulis juga bisa stres dan terkadang butuh waktu buat "cooldown" (bahkan meskipun cooldown-nya berbulan-bulan....)

Anyway! Udah ada 14 chapter, coming up. Bakal saya usahain update seminggu satu chapter, jadi ada kurang lebih 14 minggu bagi saya buat bikin lebih banyak chapter, dan moga-moga kembali ngedapetin flow menulis :)

Dan bagi yang kangen sama Rira, maaf ya. Beberapa chapter ke depan ini nggak bakal bagus buat dia.

//

.

Ia bermimpi lagi.

Dalam mimpinya, ia kembali berada di Kastil Charonte. Suasana gelap perpustakaan tersebut takkan pernah lepas dari ingatannya. Disentuhnya salah satu buku-benda itu menembus tangannya seperti udara tipis. Rira berjengit sesaat, tidak percaya.

Di mana Maero?

Ia tahu ini hanya mimpi. Yang ia tidak tahu adalah mengapa Maero memanggilnya ke mari-mungkin hanya bermain-main, mengacaukan konsentrasi sang pengendali listrik yang sejati. Ditatapnya rak-rak buku yang lain. Ada yang aneh....

"Rira Ishida?"

Pemuda itu refleks berbalik. Tidak ada siapa-siapa.

Bagaimanapun, rasanya aneh mendengar nama belakang itu lagi. Ishida. Andaikan Yuki tidak mencatat sejarah kelahirannya di buku khusus pengendali listrik, mungkin ia sudah melupakan kata tersebut. Rira tersenyum tipis. Ishida-marga keluarganya di bumi. Satu-satunya bukti yang menunjukkan bahwa ia pernah menjadi manusia.

"Rira... Ishida.... Aku di sini. Di sini."

Apa ini hanya khayalannya, atau rak buku itu benar-benar berbicara?

Didekatinya salah satu rak. Campuran apak, amis, dan harum mawar menguar dari permukaan kayunya-terlalu kuat, sehingga ia refleks menutup hidung. Terdapat plang tulisan di puncak rak tersebut. Ilmu Elemental. Berisi buku-buku penelitian mengenai keenam elemen di Evaliot, sekaligus sihir-sihir terlarang yang bisa dilakukan seorang pengendali andaikan peraturan "dilarang menggunakan kekuatan pengendalian untuk mencelakakan rakyat" itu tidak pernah ada.

"Ada apa?" Rira bertanya pelan. Rasanya konyol mengobrol dengan sebuah rak buku, tetapi mau bagaimana lagi.

"Rira," rak itu menjawab. Suaranya tinggi, nyaris seperti anak kecil. "Di mana kautaruh boneka itu?"

Apa? "Boneka apa?" Ia mendengar dirinya sendiri bertanya. Sang pemuda melangkah mundur, mulai menghindari rak buku tersebut. Ada yang tidak beres.

"Kau buang, 'kan?"

"Jawab, Rira."

Kali ini, rak buku lain yang berbicara-dan suara lain pula. Suara seorang pemuda. Rira memijit kepalanya perlahan. Segala ketidakmasukakalan ini membuatnya pusing.

"Padahal dia sudah susah-susah membuatnya...."

"Dia mati, Rira."

"Jawab."

"Jawab!"

"Diam!" teriak sang pemuda pias. Ada dorongan aneh di hatinya untuk menangis, padahal ia tidak merasa sedih sebelumnya-hanya muak. Mimpi tidak berguna, pikirnya gusar. Maero sialan.

Suara-suara lain memenuhi ruangan ini. Asalnya bukan dari rak buku manapun, melainkan memantul-mantul di sekelilingnya. Suara teman-temannya.

"Rira?"

ElementbenderWhere stories live. Discover now