16.1: The Elementbenders: Founded

2.7K 141 4
                                    

Acara mulai berganti. Musik-musik ceria dimainkan; suasana khidmat dengan cepat berubah menjadi suka cita. Para tamu mengobrol dalam suara pelan, minum cocktail, bahkan mulai mencari jodoh sementara Aya dan Takashi berjalan menghampiri seorang pemuda berambut paling mencolok di pesta ini.

"Ameee! Jangan lupakan kakakmu, ya," sambut Aya senang. Dipeluknya pemuda yang masih kebingungan tersebut erat-erat, nyaris mencekiknya. "Aku terlalu gembira sampai-sampai melupakanmu. Kau tidak marah 'kan?"

Ame menghela napas begitu Aya melepaskannya. Marah? Ame tidak bisa marah lagi begitu melihat senyuman kakaknya yang merekah lebar. Ia mencoba melunakkan suaranya. "Tidak. Selamat berbahagia, ya... Nyonya Naharu."

Aya menunduk, tersenyum malu. Takashi tertawa sopan.

"Kau tidak pernah berubah. Masih sama seperti dulu. Terlalu murung." Diliriknya Aya yang sekarang sudah menjadi istrinya. "Tapi hidup terus berputar, Ame, lihatlah sisi baiknya. Kau sudah lebih dari 20 tahun...," ucapannya terhenti. Takashi tidak bisa menutupi kebingungan dalam nada suaranya—karena Takumi tidak terlihat seperti orang yang berumur di atas 20 tahun. "Atau seharusnya begitu."

"Ah! Masih ada orang yang ingin kukenalkan. Teman-teman kantorku... teman-teman Takashi, teman-teman kuliahku...." kata Aya tiba-tiba. "Ayo, Ame. Saatnya keluar dari cangkangmu. Teman-temanmu harus banyak, oke?" Disambarnya tangan Ame dan menariknya ke tengah keramaian.

"Teman-teman kampusku juga cukup!" elak Ame. Tatapannya beralih pada kakak iparnya, meminta dukungan. Namun Takashi justru mengangguk.

"Yah, sepertinya kakakmu butuh adik yang pintar bergaul... dan bisnis," dia mengedikkan bahu. "Turuti saja kemauannya."

***

Gadis itu masih terdiam, berpikir tentang sesuatu. Tabitha memainkan tangannya tanpa sadar—seperti yang selalu dilakukannya, sambil menatap kerumunan manusia tanpa ekspresi.

Inilah sifat asli sang pengendali air: pikirannya dalam seperti samudra. Dia memiliki sisi kedewasaan juga, walaupun kekanak-kanakkan. Dan perkataan-perkataannya sebenarnya sangat tajam; andaikan Nozomu tidak mengajarkan gadis itu sopan santun.

"Mengingatkanku pada Muiridel," gumam Tabitha setengah berkhayal. Sebelah tangannya bergerak menjauhi Rira. "Hazelnut, sekali-sekali kau harus melihat acara seperti ini. Lebih baik dibanding tinggal seharian di kastilmu...."

Pria itu membuang muka. "Mereka ketakutan akan sayapku," komentarnya pendek. Tabitha menoleh.

"...  dan perlu banyak bicara," gadis itu menambahkan. "Maaf, tapi... hatimu. Terlalu banyak yang disimpan di situ. Kata Nozomu-senpai—"

"Maaf kalau hal itu mengganggumu," potong Rira. Ia berusaha mati-matian menahan amarahnya. Dasar gadis sialan—Nozomu-senpai, Nozomu-senpai lagi. Tabitha terlalu manja dengan pengendali air sebelumnya; padahal umur mereka terpaut 124 tahun. Gadis itu perlu bangkit, mengendalikan elemen tanpa dibayang-bayangi "kakak"-nya lagi.

Dia memang menyebalkan sekali. Suka menyindir, dan "sasaran"-nya selalu dia. Rira mengetahui dirinya; seseorang yang juga sangat menyebalkan bagi Tabitha—menjijikkan malah, sehingga mereka lebih baik berjauh-jauhan. Bertindak seolah mereka tidak saling mengenal atau apalah.

"Maaf," kata Tabitha pelan. Didekapnya tubuhnya sendiri, menggigil.

Mereka diam-diaman lagi, sampai seseorang tiba-tiba merangkul bahu mereka.

"Ada petir di sebelah sana." Itu suara Genma. "Keras juga—haha, manusia tidak terbiasa mendengar petir di tengah pagi yang cerah," lanjutnya, dengan nada ceria dibuat-buat pada tiga kata terakhir. Ia melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling leher Rira dan Tabitha, menyeringai lebar. "Seharusnya kalian sudah berteman selama aku pergi. Hei, masih ingat tujuan kita ke mari?"

Mereka tidak akan lupa. "Menemukan Takumi," jawab Rira. "Tugas kita hampir selesai di sini—entah bagaimana."

"Masa'?" celetuk Tabitha antusias. Namun ia tidak mendapat jawabannya; sebuah keributan lain berjalan menghampiri mereka.

"Satu lagi, Ame. Satu, eh—tiga orang lagi!"

"Tiga orang lagi itu kau, Takashi, dan Jules. Selesai! Aku sudah kenal semua orang di tempat ini!"

"Aya, aku pikir ada lima. Bukan tiga."

"Takashi-baka! Kakak ipar macam apa kau!"

Ketiga orang itu tidak menggubrisnya. Aya, Takashi, dan seorang lain lagi. Apa sih maksudnya tiga dan lima? Tidak terlalu penting. Itu urusan mereka.

"Hei, kalian!"

Takashi benar-benar memanggil mereka. Genma, Rira, dan Tabitha refleks menoleh—menatap kedua pasangan tersebut dan satu orang lagi yang bersembunyi di belakang punggung sang pengantin perempuan; tangannya melingkar di sekeliling leher Aya dengan wajah ditundukkan. Seperti sedang menyembunyikan kepalanya. Orang itu kurang lebih setinggi Takashi—yang berarti ia harus menundukkan tubuhnya dalam-dalam agar bisa bersembunyi di balik sosok Aya yang ramping.

"Aku ingin berterima kasih karena kalian yang membuat pernikahan ini berjalan lancar," kata Takashi kemudian. Ketiga pengatur pernikahan itu mengangguk sopan. "Dan aku ingin memperkenalkan adik istriku. Namanya Ame Matsuzaki. Hei, man," ditepuknya punggung orang tersebut keras-keras. "Jadilah seorang pria dan beri salam tamu kehormatan kita ini. Mereka wedding organizer. Ayo."

Genma menaikkan alis. Ternyata Aya punya adik laki-laki. Mengapa orang itu tidak suka memperlihatkan diri di hadapan mereka bertiga?

"Ohayou... gozaimasu."

Adik laki-laki Aya menegakkan tubuhnya, kemudian mengintip di balik sosok kakaknya. Akhirnya dia benar-benar keluar dari "tempat persembunyian"-nya, menatap ketiga wedding organizer tersebut dan berkata singkat. "Ame Matsuzaki. Salam... kenal."

Dan betapa mengejutkannya si Ame Matsuzaki ini.

"G-Genma Raikou. Dia Rira Ishida dan dia.... Tabitha Naharu. Salam kenal."

Dialah Pangeran Takumi yang mereka cari-cari.

ElementbenderWhere stories live. Discover now