40.1: Rotten Roots

1.9K 77 1
                                    

Bau anggur dan semangka busuk merebak dari ruangan di balik pintu tersebut.

Sakura menghela napas lega—membayangkan menghela napas lega, karena bau busuk membuatnya harus menahan napas—menyadari bahwa mereka tiba di sebuah dapur. Dapur yang berada di dalam kantor pusat, di ruangan yang terbuat dari akar-akar pohon. Sakura mengibas-ngibas udara sembari berjinjit masuk ke dalam dapur, diikuti Genma yang membekap hidungnya dengan tangan. Buat apa berjinjit? pikir Sakura. Toh ini rumahnya sendiri.

Karena ini bukan rumahku lagi, jawab Sakura dalam hati. Paling tidak bukan sekarang.

Sakura mengangkat wajah, melihat atap dapur yang berbentuk setengah kubah dan ditutupi jalinan-jalinan akar. Pohon raksasa ini, tempat kantor pusat dibangun, benar-benar raksasa sehingga elf terjangkung pun merasa seperti tikus di hadapannya. Jalinan akar di sekeliling dapur sudah mengeriput dan berubah hitam kehijauan; berangsur-angsur mati. Sakura menelan ludah, menatap seisi dapur tersebut dengan harapan menemukan sedikit saja benda yang belum membusuk atau berubah. Semua perabotan dapur—kuali-kuali tempat merebus sup, guci berisi rempah-rempah, sebundel sayuran dari ladang, meja kayu tempat para pelayan memotong buah dan bawang, bahkan pemarut keju—menghilang tanpa jejak. Yang tersisa hanya gentong-gentong kayu. Banyak gentong dan lebih banyak gentong sejauh mata memandang—ditumpuk sampai menyentuh langit-langit, ditaruh berjejer-jejer, bahkan ada satu gentong yang jauh lebih besar dari gentong lainnya, dibaringkan begitu saja di atas lantai kayu. Sakura melihat sepotong semangka busuk ditaruh di atas gentong. Jadi dari situ asal baunya.

“Gila,” gumam Sakura, tanpa sadar menaruh tangannya di pundak Genma. “Semuanya berubah.”

Genma mengedikkan bahu dengan lembut. Sayapnya bergerak, menepuk-nepuk puncak kepala sang gadis angin. Mereka tidak bisa diam di sini lebih lama lagi.

“Kau tahu harus ke mana?” tanya Genma pelan. Di dunia elemen, bahkan pohon pun punya jiwa;  mereka mendengarkan setiap suara. Termasuk pohon kisut yang menaungi seluruh kantor pusat ini.

“Ke seluruh tempat ini, mulai dari halaman belakang,” jawab Sakura, sama pelannya. “Ingat soal pesta minum teh?”

Genma mengangguk. “Yah, tempat itu tidak bisa diakses dari luar—padahal kita melewatinya tadi. Pagarnya terlalu tinggi,” katanya. “Tapi bisa dimasuki dari dalam kantor.”

“Yap. Pengawasannya sangat ketat. Paling tidak, dulu,” Sakura menggumam. “Mari berharap bahwa dia suka minum teh. Di mana tempat yang lebih baik untuk menikmati hasil kerjamu; setelah memporak-porandakan Etheres dan semua penghuninya—kalau bukan di singgasanamu sendiri, sambil minum secangkir teh?” Gadis itu tertawa sinis. “Kedengarannya  lucu, ya?”

Sang pemuda api tidak berkomentar apa-apa, hanya menepuk–nepuk puncak kepala Sakura dengan sayapnya.

Terdapat sebuah pintu yang tidak mereka sadari sebelumnya, tertutup tirai cokelat pudar. Pintu itu berada di sudut ruangan, di sebelah gentong raksasa itu. Sakura menyibak tirainya dan memperlihatkan pintu itu kepada Genma.

“Kalau ingatanku benar, pintu ini mengarah ke ruang makan. Pengendali baji—err, pengendali pengganti itu bisa ada di mana saja. Mau ikut?” tanyanya lemah. Sakura sudah mengantisipasi penolakan. Etheres adalah kewajibannya, dan ia tidak berhak membuat pengendali lain terkena masalah karenanya. Genma bisa berbalik ke terowongan tersebut dan bergabung dengan pangeran dan para pengendali lain.

Namun, pemuda itu  justru menyeringai kecil.

“Lihat saja nanti,” kata Genma. Ditiupnya obor yang sedari tadi digenggamnya, berniat mematikan apinya. Bukannya padam, api obor tersebut malah berkobar semakin besar.

Sakura mendorong pintu kayu di hadapannya sambil menghela napas panjang.

ElementbenderWhere stories live. Discover now