39.1: ... No, They're Not.

2.1K 80 11
                                    

Tabitha mengguncang-guncang bahu Genma dengan panik, sambil menepuk-nepuk pipi Sakura dan menatap khawatir ke arah Higina.

"Bangun, bangun," bisiknya. Para elf sedang sibuk mengatasi Rira dan Ayumi, yang menyerang sekaligus memaksa mereka bertarung menjauhi ketiga temannya yang pingsan. Taktik mereka berhasil. Para elf mudah dialihkan perhatiannya, terutama elf-elf yang kelihatannya tidak pernah mengepakkan sayap. Boneka, pikir Tabitha, ketika melihat salah satu elf memiliki mutiara putih terpasang di tempat sendi-sendinya seharusnya berada. Ia tidak terkejut. Tempat ini memang berubah semenjak keenam pengendali elemen pergi ke dunia fana.

Tabitha melihat Takumi keluar dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu—dengan biola milik Ayumi di tangan—mencari busur biolanya.

"Sampai kapan?" tanya Tabitha spontan. Sepasang sepatu daunnya nyaris lepas dari tumitnya dan kakinya sakit karena berlutut terus-terusan, tetapi ia tidak peduli. Ia melirik Sakura—gadis itu mulai siuman.

"Sampai kapan apa?" balas sang pangeran. Di tangannya kini terdapat sebuah busur hitam, ujungnya yang lancip ternoda darah. Seutas benang tersangkut di busur itu, meneteskan cairan merah berbau polimer. Tabitha menajamkan mata. Itu seutas kabel ungu setipis rambut; pembuluh darah.

"Sampai kapan mereka mengalihkan mereka?" ulang Tabitha, pandangannya tertuju pada sepasukan elf yang berkelahi dengan kedua temannya yang lain—Rira dan Ayumi yang sebisa mungkin membawa para elf semakin jauh ke dalam hutan, menjauhi kantor pusat. Para elf terlalu bersemangat memamerkan kemampuan bertarung mereka kepada remaja-remaja pengganggu Etheres—yang sebenarnya hanya ingin masuk ke dalam kantor pusat, menemui Synthetic Elf, dan bicara baik-baik dengannya. Pria-pria itu telah salah paham.

"Makanya, bangunkan mereka," jawab Takumi gemas. Tabitha terhenyak. Sementara sang pangeran menaruh busur biola di atas biolanya lagi, gadis itu beralih kepada teman-temannya, memandangi mereka dengan bingung. Ditengadahkannya kepalanya ke langit. Pohon raksasa tempat kantor pusat dibangun menjulang tinggi di hadapannya. Kayunya berkeriput dan nyaris berupa batang hitam tanpa daun. Tabitha menelan ludah.

Terdengar teriakan seorang wanita, diiringi suara benda terlepas dari pangkalnya. Perhatian Tabitha terpecah.

Itu Ayumi, sang gadis ilusi bersayap kelelawar. Seorang elf menjegalnya. Sang gadis terjerembab ke tanah, suara gedebuk pelan terdengar; gadis itu meringis kesakitan dan Tabitha bisa melihat dagunya robek terkena hantaman jalan berbatu. Ayumi bangkit dengan tertatih. Gadis itu mempererat genggamannya pada sebilah pisau berlekuk-lekuk, dan dengan lugas menebas kepala elf itu dari pangkalnya. Tabitha terhenyak melihat tatapan terkesima Ayumi; memandangi tubuh tanpa kepala tersebut sementara kepala yang terpenggal berguling-guling ke pinggiran jalan setapak, ke tempat yang lebih landai. Ayumi menjatuhkan pisau berlekuk-lekuk itu dan terduduk ke atas tanah berbatu, dikelilingi genangan darah—gadis itu terpisah jauh dari para elf dan Rira, dan masing-masing dari mereka tidak menyadari kehadirannya lagi.

Tabitha merasakan tekanan di lututnya dan menoleh. Sakura sudah bangun; rambut emasnya yang tergerai acak-acakan menempel erat di seputar pipinya. Gadis itu mengerang pelan, kemudian mencabut panah dari punggungnya.

"Kita bodoh," kata Sakura untuk pertama kalinya, setelah membuang panah beracun itu ke pinggir jalan. Tabitha menggeleng lemah.

"Masuk ke sana, cepat!" Diliriknya bangunan kantor pusat di sebelah mereka. "Lewat mana saja. Jaraknya hanya selangkah dari tempat kita berada... tertahan, maksudku."

Gantian Sakura yang menggeleng. "Pintunya dikunci, pagarnya tidak bisa dipanjat—dilompati saja tidak. Sayapku belum sembuh. Sialan." Dikepak-kepakkannya sayap capung yang ada di punggungnya. "Ramuan itu butuh waktu lama sebelum bekerja. Tunggu sebentar...." Sakura terdiam; matanya yang memiliki semua warna pelangi berputar-putar. "Ochiru pernah bilang ada jalan bawah tanah ke sana, tapi itu sudah lama sekali."

"Kalau begitu ke sanalah," desak Tabitha gemas. "Selagi masih ada waktu." Sakura melompat bangkit, mengalungi cambuknya ke sekeling leher, dan menyeka rambut emasnya ke belakang telinga—gadis itu menoleh ke arah Tabitha dan sang gadis air melotot balik kepadanya. Sakura menggeleng.

"Genma. Dia belum bangun?"

Sakura berlutut kembali ke atas tanah, kali ini di samping Genma. Dipandanginya kelopak mata sang pemuda api; bibir bawahnya terangkat sedikit, mengucapkan kalimat yang tidak bisa ditangkap Tabitha—kata-kata sayang, mungkin. Gadis itu tertegun. Diawasinya rusuk Genma yang bergerak kembang-kempis seirama dengan jantungnya yang berdenyut semakin lambat dari detik ke detik, satu-satunya bukti bahwa Genma masih hidup. Atau sekarat?

"Sakura?" panggil Tabitha pelan.

Gadis itu tidak menghiraukannya. Mata pelanginya beralih pada punggung Genma—pemuda itu jatuh telungkup—setangkai panah tertancap di sana, melubangi pakaiannya, menghunjam punggungnya. Sakura mencabutnya dengan tangan gemetar. Panah itu tersentak dari punggung Genma dan terlempar ke dalam semak belukar. Sang pemuda api belum terbangun. Sakura membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, bibir bawahnya gemetar.

Tabitha beringsut menjauh. Tidak; lebih baik bergabung dengan Rira dan Ayumi daripada menonton adegan sesedih ini.

Telapak tangan Sakura bergerak; gadis itu menyusuri pipi Genma dengan jari-jari gemetar. Merasakan kehangatan terakhirnya. Tidak ada tanda-tanda pemuda itu akan terbangun, bahkan gerakan kembang-kempis di rusuknya melambat. Sakura menjauhkan tangannya dari pipi sang pemuda api, memandangi wajahnya untuk yang terakhir kali sebelum ia—

PLAAKK.

"Bangun, dasar tukang tidur!"

Sepasang mata Genma membelalak terbuka.

"Sampai kapan kau mau di situ terus, hah?"

Butuh beberapa saat bagi Genma sampai ia benar-benar terbangun. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak. Sebentar saja dia sudah mengucek-ngucek mata, menatap Sakura dengan heran, kemudian berbisik pelan. "Pipiku sakit, Sakura." Gadis di hadapannya tidak terlalu terkesan.

"Siapa peduli," tandas Sakura. Ditariknya tangan Genma ke atas, memaksanya berdiri. Sayap Genma yang sedari tadi terkulai lemah menyenggol bahu Higina ketika akan bangkit, sehingga gadis itu terbangun juga. "Aku butuh bantuanmu. Ada jalan masuk menuju kantor pusat, tapi... ah, ceritanya nanti saja. Tabitha?" Sang pengendali angin melirik ke arah Tabitha. Dia sedang mati-matian meredakan tawanya. "Jaga di sini. Bisa?"

Tabitha mengangguk, tawanya memelan.

Gadis itu hanya mengawasi dengan cemas ketika Sakura dan Genma berlari meninggalkan jalan setapak, memutari halaman belakang kantor pusat sambil menyembunyikan diri dari setiap elf yang lewat.

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang