90: Incognito

215 22 5
                                    

[seharusnya ini dipost Minggu kemarin, tapi ada masalah internet, jadi yaah. here you go!]


Saat gadis itu terbangun keesokan harinya, baik Nozomu maupun Furo telah pergi.

Tabitha berguling turun dari tempat tidur dengan malas. Dibiarkannya tubuhnya jatuh ke lantai; kemudian bangkit, dan meregangkan badan. Seluruh sendinya ngilu. Ada rasa kantuk yang masih membekas di mata, menggodanya agar kembali tidur. Sang gadis air menggeleng-geleng. Dilangkahkannya kaki menuju meja rias, menatap bayangannya sejenak (tubuhnya penuh lebam dari kepala sampai kaki), kemudian beranjak ke lemari pakaian. Lemari pakaiannya.

Nozomu bilang, semua barangnya ada di kamar ini. Termasuk baju-baju dan segala pernak-pernik masa kecilnya.

Dibukanya pintu lemari tersebut. Isinya segera berceceran keluar-segala macam gaun, sepatu, mantel, dan syal kini teronggok di lantai kamar-beserta tumpukan boneka kucing yang ia buat sendiri sewaktu masih kecil. Diambilnya selembar gaun, kemudian ditaruhnya ke atas kasur. Bisakah ia berganti pakaian hari ini? Mengenakan kostum pengendali air di situasi seperti ini mungkin bukan ide bagus. Namun gaun pelayan yang diberikan Ayumi juga telah robek dan berdarah di berbagai tempat.

Dikeluarkannya lebih banyak barang. Kebanyakan hanya gaun-gaun putih yang telah kekecilan. Nozomu bukan tipe orang yang tahu selera fashion anak umur tujuh tahunan, jadi pakaian yang diberikannya hanya berupa gaun putih polos dengan model serupa. Tabitha tersenyum tipis, mengamati salah satu pakaian masa kecilnya tersebut. Entah mengapa ia teringat saat-saat singkatnya bekerja sebagai pengatur pernikahan manusia.

Suara benda jatuh segera menariknya dari lamunan. Tabitha terkejut, refleks melangkah mundur.

Ternyata hanya sebuah kotak. Terjatuh dari rak tertinggi lemari pakaiannya; tertimbun di antara pakaian dan debu. Sang gadis air memungutnya perlahan-lahan. Dirabanya permukaan kotak tersebut sejenak, kemudian-

-suara pintu dibuka.

Dijatuhkannya kotak tersebut tiba-tiba. Gadis itu refleks menoleh; sebelah tangan siaga pada tombak pemberian Nozomu.

Di ambang pintu, seorang gadis pelayan menjatuhkan nampannya sambil ternganga.

.

"Awas, awas, awa-AAAAAAHHH...!"

"Maaf, Yang Mulia!" teriak Genma tanpa nada minta maaf sedikit pun; seringai lebar tersungging di wajahnya. Ia dan Sakura yang bertugas mengangkat sang pangeran kali ini. "Tanganku cuma gatal, oke?"

Andaikan ia bisa melihat ekspresi Takumi sekarang, mungkin pemuda itu sudah ngakak melihat mulut cemberutnya. Lagipula, "sang pangeran" tidak perlu sekhawatir itu. Dia hanya baru tercebur dua kali. Bukan salahnya; Takumi memang berat, sih.

Mereka telah melewati tiga pulau, menuju arah yang telah diberitahu Ayumi. Masih ada beberapa pulau lagi untuk dilampaui. Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda patroli atau rakyat biasa sekalipun. Masuk akal. Kepulauan ini termasuk wilayah Muiridel, dan jarang ada duyung yang mau naik ke daratan kecuali untuk urusan tertentu, sehingga tempat ini selalu terasa sepi. Sebuah keuntungan besar bagi keenam buronan kerajaan ini.

"Setelah kita sampai di Charonte, habis itu apa?" tanya Higina. Gadis itu harus berteriak agar suaranya terdengar di antara desingan angin. "Menurutmu, pengendali listrik pengganti pasti tahu kalau kita akan ke sana?"

"Pasti," sambar Sakura. Ia tahu pertanyaan itu ditujukan untuk Rira, tetapi berhubung pemuda itu diam saja, jadi lebih baik ia yang menjawab. "Ketahuan atau tidak, apa bedanya? Toh tidak ada gunanya juga sembunyi di-"

"Hati-hati."

"Hah?"

"Ada perkemahan tentara di perhentian kita selanjutnya," jawab Rira tiba-tiba, bahkan sebelum yang lain sempat berkomentar. "Mereka belum melihat kita. Terbang rendah."

ElementbenderWhere stories live. Discover now