15: Forgive Me, Princey

2.8K 157 0
                                    

"Lihat! Katanya dia adik si pengantin perempuan."

"Wajahnya kusut sekali."

"Wajahnya cute sekali!"

"Sst. Dia 22 tahun. Single!"

"Hih. 22? Masa'?"

"Anak yang ditemukan lima tahun lalu, ya?"

Setiap mata tertuju padanya ketika Ame melangkah masuk ke taman belakang restoran—atau tempat resepsi Aya. Kusut. Cute. 22 tahun. Single. Ame membuang muka. Dia merasa sangat tidak cocok berada di tempat ini. Memangnya di mana ia seharusnya berada?

"Heeei, Ame!" teriak suara yang sudah sangat dikenalnya. Jules. Gadis itu muncul secara ajaib dari tengah kerumunan ibu-ibu bergaun pesta, berlari-lari menghampirinya, kemudian menepuk punggung pemuda itu keras-keras. Ame meringis—teringat dua luka sayatan yang pernah ada di sana.

Jules benar-benar berbeda. Selama ini ia hanya melihat gadis itu dengan t-shirt longgar, jins yang juga longgar, dan gelang norak yang membuatnya terlihat seperti hippie. Sekarang dia lebih terlihat feminin—dengan gaun hitam selutut dan ikat pinggang besar yang pas dengan warna rambutnya, yang kini tertata rapi ke belakang. Mengesankan, memang—tetapi tidak memukaunya. Tidak ada ketertarikan apapun terhadap gadis itu.

"Tumben jadi perempuan. Namamu bukan Julian, iya 'kan?" tanya Ame sarkatis. Jules tertawa.

"Hei, aku lebih suka datang ke mari dengan tuksedo dan pantofel, tahu. Mengerti, 'kan, crossdressing," katanya ringan. Melihat beberapa perempuan yang menoleh ke arahnya, ia mengganti topik. "Kau keren juga dengan pakaian resmi, Say."

Ame tersenyum sinis. Setelan tuksedo sewarna malam dengan kemeja putih dan celana pantalon hitam, ditambah dasi kupu-kupu konyol berwarna merah yang amat sangat tidak sesuai dengan wajahnya yang kusut, 22 tahun, dan single. Terserah, lah. "Mereka masih menganggapku anak punk yang mengecat rambutnya." Ditatapnya karpet putih yang tergelar di sepanjang jalur pengantin. "Itu kakakku."

Setiap hadirin menepi agar bisa melihat kedua pengantin dengan jelas. Suasana berubah hening; tergantikan dengan musik lembut yang mengalir. Dan itulah mereka, Aya dan Takashi. Kedua mempelai berjalan memasuki tempat resepsi pernikahan dengan langkah anggun, menyusuri karpet putih yang membentang hingga enam meter jauhnya. Mungkin lebih. Kakaknya terlihat anggun dengan gaun pengantin, dan Takashi terlihat berwibawa dengan setelan megahnya. Ada sesuatu yang menakjubkan dalam pernikahan, baginya—seperti sebuah generasi baru, cabang keluarga yang baru.

Dibanding dengan orang biasa lainnya, kakaknya memang sedikit telat dalam urusan menikah. Perjodohan usia remaja adalah hal lumrah di Fukui. Aya tidak termasuk salah satu di antara mereka; bibinya tidak punya kewenangan untuk mengatur siapa suami Aya dan seterusnya. Paling tidak itu membuatnya bahagia, sebab sekarang Aya menikah karena cinta.

"Tidak berniat jadi best man?" celetuk Jules tiba-tiba. Matanya masih terpaku pada kedua pengantin yang sekarang sedang bersalam-salaman dengan para hadirin. Berjabat tangan, berpelukan, dan menangis haru.

Ame menjawab pendek. "Tidak."

"Tidak berniat menyusul kakakmu?" goda Jules.

"Tidak!"

"Tidak ada yang mau denganmu kalau kau cemberut terus," komentar Jules sambil lalu. Tiba-tiba gadis itu terkesiap, dan menoleh ke arah Ame lagi. Kali ini pertanyaannya hanya berupa bisikan. "Kau masih menyimpan barang-barang itu?"

"Ya. Sekarang kau harus mengembalikannya."

Jules menggeleng. "Tidak! Justru karena itulah aku memberikannya padamu." Ditariknya bahu Ame menjauh dari kerumunan. "Pisau itu... kau tahu pisaunya? Saat aku melihat benda itu, di meja Kenta-sama... Ada ukiran yang sangat, sangat, sangaaat mungil...." Gadis itu mengatur napasnya sesaat. "Di situ tertulis: maafkan aku, Pangeran Takumi. Aneh sekali! Kau tidak berpikir Kenta-sama yang mengukirnya, hah? Mustahil. Gaya tulisannya sangat... kuno, jelas-jelas beda dengan tulisan Kenta-sama. Aku tahu benda itu ada hubungannya denganmu, jadi aku... mengambilnya."

Ame terhenyak. Ia tidak heran Jules mengetahui soal Takumi, dia pernah menceritakannya sedikit. Namun, detail yang sangat mungil itu terlewat oleh matanya. Maafkan aku, Pangeran Takumi. Menyeramkan sekali.

Ia memperkirakan ingatan-ingatan menyakitkan datang lagi setelah mendengar nama itu, tetapi tidak. Tidak ada ingatan apa-apa soal itu.

"Wow. Terlalu berat buat otakmu, ya?" pertanyaan Jules menyadarkannya. "Aku mengambil katana juga agar tidak ada kecurigaan," tambahnya. "Oh, nikmati acaranya, ya, Say. Lihat-lihat sekeliling; barangkali kau menemukan putri impianmu!"

Jules berjalan mendekati kerumunan, mulai berbicara dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Sementara Ame merasakan pisau yang tersimpan di saku dalam jasnya mulai memberat. Apa masa lalunya memang seaneh itu?

***

Ketiga pegawai Miraculous Wedding itu tersenyum—paling tidak membuat kesan seolah tersenyum. Mereka berhasil. Ya, semua berjalan sesuai yang mereka harapkan. Dan yang paling membanggakan, merekalah pengatur pernikahan ini.

"Aya-san dan Takashi-san kelihatan bahagia sekali," gumam Tabitha sambil tersenyum-senyum sendiri. Ditatapnya kedua pengantin, menghela napas lembut. "Mereka saling mencintai, iya 'kan?"

Genma mengangkat bahu. "Segala hal tentang pernikahan ini terlalu manis buatku," ia tertawa pelan. "Hei, aku mau pergi. Kalian; jaga diri baik-baik." Dan ia memang pergi.

Kalian?

Rira menoleh. Di sebelahnya sekarang hanya ada Tabitha, masih memandangi hiruk pikuk resepsi dengan mata berbinar. Yap, lagi-lagi ditinggal berdua dengan seorang gadis yang lebih suka kucingnya daripada dirinya sendiri. Dan seperti biasa, Rira tidak tahu harus berbicara atau tidak. Percuma saja.

Bagaimana pun, ia bisa mencoba berbicara dengan satu-satunya orang yang tidak menyinggung-nyinggung masalah pangeran. Bukan Takumi, tentu saja. Rira bahkan ragu gadis itu mengetahuinya. Keempat temannya yang lain merasa harus bersikap sedikit berbeda di hadapannya, menjadi agak segan—semua karena "mantan pangeran" menyebalkan itu.

Semua pengendali listrik memiliki garis ningrat di darah mereka. Keluarga berdarah biru. Yuki sebenarnya adalah seorang putri anggota kerajaan, dan seterusnya, dan seterusnya. Rira bisa saja dipanggil Pangeran Rira andai wanita berambut pirang itu tidak menjemputnya dari kehidupan manusia dan membawa anak—sekarang pemuda—itu ke Charonte. Membebaskannya dari segala tuntutan menjadi sosok anak laki-laki sempurna yang menikahi putri cantik setelah menyelamatkannya dari seekor naga.

Ya. Di kerajaan lamanya, seorang pangeran harus merangkap menjadi ksatria.

ElementbenderWhere stories live. Discover now