57.2: The Six Separationists

1.7K 73 1
                                    

 “Mildgyd dan Mildred,” gumam Hide. “Bukannya mereka anak pembuat roti itu?”

Genma menatap pria tua itu, kebingungan. Mereka berkumpul kembali di ruang baca setelah makan malam. Senang rasanya memiliki seseorang yang dipercaya—seperti Maurice dan cucu-cucunya. Hide menanyakan mereka berbagai pertanyaan, yang kebanyakan tidak bisa dijawab dengan mudah oleh para pengendali elemen. Takumi duduk di kursi yang paling ujung, membaca buku tentang anatomi tubuh hewan. Hewan yang hidup di dunia elemen, tentunya.

“Aku lupa,” gumam Genma. “Mereka bilang mereka pelacur. Bukannya Oswald hanya punya satu anak?”

Hide menggeleng. “Tiga, sebenarnya. Mildgyd dan Mildred adalah dua anak tertua. Mereka bekerja di toko-toko—entahlah, aku juga lupa. Beberapa waktu lalu, Űbeltat memanggil ayah mereka karena diduga memasukkan sesuatu ke dalam kue pesanannya. Pria itu seharusnya dihukum habis-habisan menurut logika Űbeltat—yang tidak kusetujui, tentu saja. Tapi kudengar pria itu tidak pernah mendapat hukumannya. Mungkin ada semacam... pertukaran, baru-baru ini. Kalau kau paham siapa itu Űbeltat, kau akan tahu pertukaran macam apa itu.”

Genma mengerti.

“Ketika Űbeltat mengamuk lagi, kusuruh mereka bersembunyi di Gaelea. Di bunker bawah tanah tempat para fayre berlindung dari pengikut pengendali kehidupan pengganti. Entah mereka selamat atau tidak. Yang jelas, Űbeltat benar-benar frustrasi sekarang.” Hide terkekeh pelan. “Ceritakan yang lain saja. Bagaimana perjalanan kalian—secara keseluruhan?”

“Buruk,” sambar Sakura.

“Tapi Gaelea dan Etheres aman, untuk sekarang,” tambah Higina. “Menurutmu, apa tidak berbahaya meninggalkan dua teritori tanpa pemimpin sementara kami menelusuri dunia elemen? Kalau tidak, aku dan Sakura akan kembali ke sana.”

“Kusarankan jangan,” Hide tidak menggeleng, tetapi tatapan matanya mengindikasikan bahwa ia serius. “Meskipun pengendali elemen pengganti sudah lenyap—entah kalian apakan—masih ada satu pengaruh pengendali pengganti lain yang melingkupi dunia elemen. Keenam teritori secara keseluruhan, bukan hanya Gaelea dan Etheres. Kalian sudah tahu apa itu.”

Diam beberapa lama. Takumi mengangkat wajahnya dari buku yang ia baca, mengangkat bahunya dan kembali membaca.

“Pengendali keseimbangan,” ujar Rira kalem. Perkataannya yang tiba-tiba mengagetkan Metsuki yang bergelung di pangkuannya.

“Ya. Seharusnya aku menjelaskan sesuatu kepada kalian,” Hide menatap Rira sesaat, kemudian tatapannya kembali pada Genma. “Senjata-senjata itu. Kalian menemukannya, rupanya.”

Seisi ruangan hening, menunggu Hide melanjutkan perkataannya. Suara burung hantu samar-samar terdengar dari luar.

“Senjata-senjata itu tidak pernah digunakan lagi sampai sekarang. Sebelumnya, para pengendali elemen menggunakannya untuk keperluan perang—ya, mereka sendiri terjun di medan perang. Perang melawan satu sama lain. Evaliot penuh perpecahan. Salah satu perang kualami sendiri sewaktu aku masih mengurus Pyrrestia.” Ia terdiam sejenak. “Ryuuhi tidak pernah menceritakannya?”

Genma menggeleng, kebingungan. Ditatapnya sepasang pedang yang tertahan di ikat pinggangnya.

“Mungkin dia tidak sempat,” Hide menghela napas. Seisi ruangan berubah tegang. Bahkan Takumi pun menutup buku anatomi tersebut, memilih untuk mendengarkan cerita Hide. “Ada satu perang yang terjadi lama sebelum aku lahir. Aku lupa detailnya, tapi....” Tatapannya beralih pada rak buku di sebelahnya. “Salah satu pengendali api pernah menuliskan kisahnya. Perang terhebat yang pernah diderita Evaliot. Keenam pengendali... terpecah. Karena suatu alasan, mereka membagi diri menjadi dua kubu.” Ditatapnya keenam pengendali elemen satu persatu. “Kubu Gelap dan Terang. Gelap, diwakili oleh pengendali elemen listrik, menginginkan dunia elemen berubah dan berkembang, menerima teknologi manusia yang dikumpulkan pengendali listrik. Terang, diwakili oleh pengendali elemen air, menolak segala bentuk teknologi manusia karena dianggap meracuni kemurnian dunia elemen. Perang itu tidak begitu lama—tapi memiliki dampak besar bagi kehidupan dunia elemen. Kubu Terang kalah.”

Tidak ada yang bersuara. Tidak ada yang ingin menyela ceritanya.

“Padahal Kubu Terang berisi elf, falcon, dan duyung—saat itu elf dan falcon belum bermusuhan. Kubu Gelap hanya berisi shoreal dan fayre, dan pengendali listrik, tentu saja. Para pengendali elemen ikut serta dalam peperangan. Pengendali listrik berhasil membunuh pengendali air, menyebabkan Kubu Terang kehilangan pemimpinnya. Itulah sebabnya Kubu Terang kalah. Kubu Gelap menang, tapi pengendali listrik saat itu—aku lupa namanya—dihujat karena membunuh salah satu temannya sendiri. Dia dikucilkan di atas kastil, sendirian.”

Selama beberapa saat, para pengendali elemen tidak bisa berkata-kata. Takumi pun tertegun.

“Para pengendali elemen pertama—arwah para pengendali elemen pertama—datang setelah perang usai. Mereka khawatir perang antara Kubu Gelap dan Terang terjadi lagi, maka mereka memberi batasan bagi para pengendali elemen air dan para pengendali elemen listrik. Tidak bisa bersentuhan satu sama lain kecuali dengan rasa sakit yang amat sangat.”

“Sampai sekarang,” gumam Tabitha pelan, nyaris tidak terdengar.

Hide mengangguk. “Peraturan diubah beberapa tahun kemudian. Pengendali listrik boleh menerapkan teknologi manusia ke dunia elemen, tapi mereka harus menyaringnya. Mana yang bisa membahayakan kehidupan dan mana yang tidak. Rira pernah menemukan cara membuat kendaran bertenaga uap. Kau tidak pernah membuatnya, ‘kan?” tanyanya sambil tertawa. Sejenak, ia terlihat seperti Hide yang sebelumnya—selalu tertawa tanpa sebab.

Rira mengangkat bahu. Malas berkomentar.

“Lagipula, kita ‘kan, punya kereta ekspres,” Hide terkekeh. “Ah, sudahlah. Sudah malam. Tidur sana. Kau juga, Takumi. Aku hanya punya satu kamar kosong, tapi... ah, atur sendiri saja, lah. Aku juga mau tidur.” Hide bangkit dari kursinya. Ia berjalan menghampiri pintu, sepasang sayapnya meregang sesaat, kemudian melipat lagi. Ia berbalik dan menatap keenam anak itu—termasuk Takumi—masih duduk di sofa dan kursi. “Tunggu apa lagi? Tidur. Sebelum malam semakin larut.”

Para pengendali elemen menghela napas. Mereka tidak yakin bisa tidur setelah didongengi kisah peperangan, Kubu Gelap dan Terang—entahah. Yang mereka tahu, kisah itu bukan dongeng. Sama seperti yang pernah diceritakan Maurice.

***

 “Anda belum tidur, Milord.”

Seruan lembut itu mengagetkannya. Suara yang mirip Arashi. Aloysius menoleh, mencari sumber suara itu, tetapi hanya menemukan seorang pelayan perempuan berusia belia. Umurnya sekitar 120-an, tinggi semampai dengan wajah persegi yang cantik. Gadis itu memakai pakaian pelayan biasa dan celemek yang bernoda jelaga. Di tangannya, terdapat sebuah sikat hitam, biasa digunakan untuk menyikat jeruji perapian.

Selama sedetik, pria itu marah. Kurang ajar—dia memanggilnya tanpa membungkuk-bungkuk seperti rakyat jelata lainnya. Detik kemudian, kemarahannya meluntur, digantikan bingung. Heran karena gadis itu juga belum tidur. Gadis itu tidak berani menatap Aloysius secara langsung, melainkan terus-terusan menundukkan kepalanya ke lantai, memerhatikan karpet mahal yang melapisinya. Aloysius mencondongkan tubuh dari singgasananya dan mengamati gadis itu.

“Besok malam akan ada acara besar,” katanya, setengah bergumam. “Bersihkan ruang aula dan dekorasilah. Jangan ada setitik jelaga pun di sana.”

Gadis itu mengangguk. “Ya, Milord.”

Ada hal lain yang melintas di benak Aloysius. Gadis ini.... Ia bisa ber—tidak. Pembicaraan di pantai tadi mematikan seleranya. Ia tidak bisa menikmati malam sementara Arashi dan Ælfric berputar-putar di pikirannya.

“Pergilah,” gumam Aloysius, untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya berkata lembut pada seorang pelayan rendahan. Gadis itu tercenung. “Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran. Sana.”

ElementbenderWhere stories live. Discover now