63.1: Mad Masquerade

1.6K 65 0
                                    

“B-berubah lagi,” bisik Ayumi, antara terpana sekaligus takut. Matanya terpaku pada api yang bergerak-gerak pelan di tempat lilin. “Putih, kemudian biru, merah... hitam lagi.”

“Tapi selain itu, tidak ada yang berubah,” bantah Tabitha, mulai panik. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan beserta hadirin pesta yang sibuk mengobrol atau mengadu senjata masing-masing. Tidak ada sedikit pun keanehan. “Kita tidak bisa begitu saja... mengeluarkannya di depan mereka. Harus ada alasan.”

“Mungkin kita harus keluar dari sini,” gumam Higina. Namun, Takumi menggeleng.

“Berpencar,” bisiknya. “Salah satu dari kita harus menemukan Genma.”

Sakura tertegun sesaat. “Tunggu. Jam berapa sekarang?”

“Sekitar... empat atau tiga jam sebelum tengah malam,” gumam Ayumi.

“Kalau begitu kita harus buru-buru,” timpal Tabitha. “Kita harus keluar dari tempat ini sebelum tengah malam.”

Tempat?” Higina mengerutkan dahi.

“Ya,” Sakura mengangguk setuju. “Kita harus keluar dari Pyrrestia sebelum tengah malam.”

***

Mereka telah berpencar ke sekeliling ruangan, sesuai usulan Takumi. Semuanya menghindari posisi di tengah keramaian orang banyak dan memilih berjaga-jaga di pinggir, dekat pintu masuk. Sesuatu akan terjadi. Para pengendali elemen merasakannya sedari tadi—tetapi Rira-lah yang paling menyadarinya. Ia bisa merasakan timpangnya komposisi energi di ruangan ini, dua energi api terkonsentrasi pada satu titik di atas mereka, saling berusaha memengaruhi satu sama lain. Warna api di tempat lilin berubah-ubah. Mereka mengendurkan kekhawatiran mereka terhadap Genma dan lebih memusatkan perhatian pada keadaan ruang aula.

Rira sedang berjaga-jaga di dekat meja wine ketika matanya mendadak berkunang-kunang. Seolah ada sesuatu yang menghantam kepalanya, meninjunya dari dalam. Ia terhuyung ke belakang, sayapnya refleks bergerak membentuk jubah yang melingkupi tubuhnya dari bahu sampai kaki. Punggungnya membentur pinggiran meja wine dan ia menundukkan kepala.

Seseorang menghajarnya dari dalam.

Pengendali pengganti itu lagi. Dia menerapkan pengendaliannya pada tempat ini—mungkin pengendalian kewarasan—tetapi teredam oleh keberadaan Rira, dan orang itu memaksakan pengendaliannya hingga menembus benteng pertahanan sang pemuda listrik. Rira menggertakkan gigi, membalas gelombang serangan itu dengan serangan pula—dengan menenangkan pikirannya dan berkonsentrasi sepenuhnya pada pengendaliannya sendiri.

Dan ia kalah.

Refleks, Rira menyentuh salah satu sudut mulutnya. Ada darah yang sebelumnya tidak ada di sana. Ia buru-buru membersihkannya dengan lengan kemeja, kemudian menunduk, menatap Metsuki. Kucing itu menunggu dengan setia di samping tuannya.

“Kenapa?”

“Meong.” Yang entah berarti “aku mendeteksi aura pengendalian yang tidak wajar di sini” atau “aku lapar”.

“Hmm. Hati-hati, Metsuki. Tetap di dekatku.”

Metsuki tidak pernah melanggar perintahnya, kecuali ketika ia lapar atau sedang sibuk bermain-main. Dalam keadaan biasa, ia bisa merengut kalau dipisahkan sehari saja dengan majikannya. Ia bahkan menolak ditinggal di mansion Hide selama majikannya pergi ke pesta topeng. Rira membawanya sembunyi-sembunyi—menaruh Metsuki di pundaknya dan menutupinya dengan sayap, tetapi ternyata hadirin pesta tidak begitu memerhatikannya.

Metsuki berputar-putar gelisah. Ia mengeong beberapa kali. Rira melipat lututnya, menyejajarkan dirinya setara kucing itu dan menepuk kepalanya pelan.

“Ada yang salah,” bisiknya. Metsuki mengeong mengiyakan. “Setiap situasi aman yang kita alami tidak akan berlangsung lama, iya ‘kan?” lanjutnya, setengah berharap bisa keluar dari manor ini sebelum situasi yang tidak diharapkan itu terjadi. Metsuki menggerak-gerakkan telinganya, seolah mengangguk.

***

Ayumi berdiri di kedua kakinya yang gemetar, sebelah tangannya mencengkeram sejumput kain dari rok gaunnya erat-erat. Rira benar. Situasinya berubah, dan ini jauh dari yang dibayangkannya sebelumnya. Ruang aula mendadak sunyi. Musik berhenti dimainkan. Hadirin pesta terdiam, seolah seseorang tak kasat mata berbisik di telinga mereka, menyuruh mereka berhenti.

Para pemain musik menjatuhkan biola mereka, linglung dan kebingungan. Para wanita menjatuhkan kipas mereka, antara terkejut dan ketakutan. Para pria melepaskan rapier mereka, menimbulkan suara dentingan logam yang teredam lantai berkarpet. Ayumi melangkah mundur. Keheningan yang tiba-tiba selalu membuatnya gugup.

Dari sini, ia bisa melihat teman-temannya yang lain—masing-masing berdiri di tempat yang berbeda. Mereka sama gugupnya dengan dirinya.

Orang-orang ini tersihir, pikir sang gadis ilusi, begitu melihat ke dalam mata para tamu yang kosong dan kelam. Berbekal pengalamannya selama meniti Gaelea dan Etheres yang penuh bahaya dan orang-orang sinting, Ayumi yakin bahwa salah satu (atau keseluruhan) dari para tamu pasti akan menyerang ia dan teman-temannya, tapi bagaimana caranya? Senjata mereka tumpul, dan para wanita hanya membawa dompet kecil dan kipas berenda. Bagaimanapun, apabila mereka benar-benar menyerang, para pengendali dan Takumi akan sulit melawannya.

Jumlah mereka banyak sekali....

Ada tujuh puluh, paling tidak seratus orang. Ayumi meringis ngeri. Hanya keajaiban yang bisa membantu mereka berenam melawan seratus musuh dalam ruang tertutup. Ia harus berpikir cepat. Apalagi yang bisa digunakannya, selain senjata? Pengendaliannya?

Itu dia!

ElementbenderDove le storie prendono vita. Scoprilo ora