66.2: Wounded, Sane and Alive

1.5K 73 3
                                    

Suara ledakan meriam menggetarkan seisi aula. Asalnya dari lantai atas, atau dari puncak manor—yang jelas, suara itu membuat Sakura tersentak dari posisi diamnya dan menutup telinganya lebih erat.

Sakura, Ayumi, Tabitha, Higina, Ayumi, dan Takumi perlahan-lahan menoleh ke tengah ruangan. Pemandangan di tengah lantai berkarpet mengagetkan mereka. Para tamu pesta telah tertidur, terkapar di lantai seperti boneka-boneka yang dibuang. Mulanya mereka mengira orang-orang tersebut mati—tetapi tidak. Samar-samar, terdengar suara dengkuran halus yang berasal dari para tamu. Di sudut lain ruangan, Hide telah menurunkan senjatanya (sebilah pedang yang dipinjamnya dari pajangan di dinding) dan menatap sekitar dengan heran.

Rira juga tertidur.

Kelima remaja itu, ditambah Hide, terbang mendekat. Mereka berkumpul di tengah ruangan, berlutut di sekeliling Rira, sementara Hide memeriksa denyut nadi sang pemuda listrik. Mata cekung Rira terkatup hingga tinggal segaris. Di sana-sini, terdapat bekas memar-memar kebiruan yang samar—seolah-olah pemuda itu telah bergulat dengan seseorang sebelumnya. Shurikennya tergeletak di lantai tidak jauh dari tubuhnya.

Hide menghela napas. “Bawa dia ke luar. Udara segar bisa memulihkannya.”

“Kenapa bisa...?” Ayumi baru akan bertanya, kemudian menutup mulutnya ketika mendengar suara napas Rira. Lemah dan pendek-pendek—seperti pernapasan orang sekarat. “Dia h-hanya di sini dan—“

“Itu urusannya. Bawa dia ke halaman, kemudian cari Genma,” potong Hide. Pria itu sendiri yang akhirnya mengangkat tubuh Rira dari lantai dan memapahnya. Takumi memegangi tangan Rira yang satunya, membantunya. Higina memungut shuriken yang tergeletak di lantai. “Anak itu menghilang ke mana, sih?”

“Tapi pintunya dikunci,” Sakura menahan napas. Matanya melirik ke arah pintu ruang aula. “Ada seseorang di baliknya—kemungkinan tentara-tentara yang kita hadapi kemarin-kemarin. Dikunci dari luar.”

“Kalau begitu dobrak,” saran Hide. “Ayolah, jangan patah semangat begitu. Anak ini tidak punya banyak waktu sebelum dia... yah,” diguncangkannya bahu Rira pelan. Pemuda itu tidak merespon. “Pingsan selamanya, diistirahatkan di dalam peti mati.”

Tidak ada yang ingin hal itu terjadi. Paling tidak selama kematian itu bisa dicegah.

Setelah menghancurkan pintu ruang aula dengan kapak yang dibawa Higina, mereka baru bisa meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya memastikan apakah ada orang di balik pintu tersebut sebelum merusaknya—dua tentara yang menjaga pintu ruang aula dari luar telah tergeletak di lantai, tertidur pulas. Namun, sebelum benar-benar melangkahkan kaki mereka keluar dari ruang pesta, samar-samar suara kepakan sayap dan langkah kaki terdengar dari arah belakang. Sakura menoleh, terkesiap.

“Hei.”

Itu Genma—tepat seperti yang mereka duga. Namun, ada yang lain dari pemuda itu. Kemejanya acak-acakan, topinya menghilang, kulitnya penuh luka lebam, dan ujung tuksedonya berdarah. Bekas tusukan senjata tajam dan lingkaran biru samar—yang mirip bekas cekikan—terlihat jelas di leher pemuda itu. Genma tersenyum lebar begitu melihat teman-temannya, seolah ia tidak menyadari luka-lukanya sendiri.

“Mereka lagi pesta tidur atau apa, sih?”

“Genma—k-kau—“

Melihat wajah ketakutan gadis itu, senyum Genma memudar. “Kujelaskan semuanya di luar, oke?” Tatapannya berganti-ganti antara Rira yang pingsan dan Hide yang membopongnya. “Tunggu. Kenapa dia?”

“... Ceritanya panjang,” gumam Sakura. Pasti kena masalah lagi, pikirnya. “Kujelaskan semuanya di luar, oke?”

***

Seisi manor itu tertidur pulas. Ketika mereka akhirnya keluar dari bangunan manor dan berkumpul di pinggir jalan, beberapa belas meter dari pintu masuk manor, tempat Takumi menambatkan kudanya, tidak ada seorang tentara pun yang mengejar mereka. Tentara-tentara dan pengunjung pesta jatuh bergelimpangan di luar dan dalam bangunan manor, tertidur oleh pengendalian Rira. Rasanya terlalu mudah.

“Harus ada seseorang yang menjaganya,” Hide mendesah, mengguncang-guncang bahu Rira yang masih tidak sadarkan diri. “Napasnya mulai normal. Ck, ck—seharusnya dia tidak perlu memaksakan dirinya begitu.”

“Apa yang terjadi?” tanya Genma, menatap wajah pucat Rira dengan bingung. “Kukira kalian semua selamat.”

Seperti yang dijanjikannya, Sakura mulai menjelaskan semuanya—dimulai dari menghilangnya Genma, terkuncinya pintu aula dan hadirin pesta yang berubah 180 derajat. Kemudian Rira maju ke depan dan berusaha menetralkan mereka—istilah yang digunakan para pengendali untuk mengembalikan jiwa-jiwa yang “sesat” kembali ke jalan semula. Tidak ada pengendali listrik yang melakukan penetralan sebelumnya, karena tidak pernah ada dua pengendali listrik yang bekerja pada saat yang sama—kecuali sekarang. Dan ternyata hal itu menguras energi Rira.

“Kalau dia melakukan hal yang sama pada musuh-musuh lainnya, dia bisa benar-benar kehabisan tenaga,” komentar Sakura, sepasang mata pelanginya melirik Rira dengan prihatin. “Jumlah para tamu ada lebih dari 100 orang. Itu sebabnya dia kewalahan.”

Genma menggaruk-garuk belakang telinga kuda Takumi dengan gelisah. Kuda tersebut meringkik pelan begitu mengenali Genma. “Oke. Tapi kita harus ke mana sekarang? Sekarang tengah malam. Sebentar lagi pagi. Akan ada yang sadar bahwa orang-orang itu tertidur di sana, dan kalau mereka melihat kita dengan baju seperti ini,” ia melirik ke bawah, memerhatikan pakaiannya sendiri. “Mereka bisa curiga karena kita tidak ikut tertidur seperti yang lain. Paling tidak begitu kira-kira,” pemuda itu tertawa pelan. “Jadi... ada rencana?”

Hening sesaat sebelum Hide menjawab pertanyaannya.

“Kalian bisa tidur di rumahku lagi,” sahut pria itu. Namun Genma menggeleng.

“Tidak. Kami harus pergi sekarang. Melanjutkan perjalanan.” Ditatapnya Hide lekat-lekat. “Tidak ada yang bisa kami lakukan lagi di sini.”

Ia tidak terlalu tega mengatakannya. Hide sangat kesepian semenjak istrinya meninggal, dan kunjungan ketujuh remaja tersebut sangat menghiburnya. Sesaat Genma mengira Hide akan menanyakan alasan mereka pergi terlalu cepat, tetapi pria itu hanya mengangguk dan tersenyum lemah.

“Hati-hati kalau begitu,” katanya. “Yah, aku tahu kalian harus menyelesaikan tugas ini secepat mungkin. Memperbaiki dunia elemen,” Hide menghela napas, matanya menerawang pada pepohonan besar yang mengapit jalan besar menuju manor, tempat mereka berada. Obor-obor dipasang di sepanjang bantaran jalan, menerangi langit malam dengan api emas terang. Hide menatap api emas itu dengan curiga. “Kau sudah melakukannya, Genma. Menyingkirkan pria itu.”

Pemuda itu mengangguk singkat.

“Tapi... boleh... boleh kami minta perbekalan?” tanya Tabitha ragu-ragu. Ditimangnya Metsuki di pelukannya pelan-pelan, seolah menimang bayi duyung yang baru dilahirkan. “Sedikiiit saja.”

Hide tertawa, dan sambil memindahkan Rira ke bahu Takumi dan Genma, ia menjawab. “Banyak pun silahkan. Tunggu di sini.”

Keenam remaja tersebut hanya terdiam dan menatap sosok Hide yang berjalan meninggalkan mereka, kemudian, setelah beberapa langkah, menoleh ke belakang dan mengedipkan sebelah mata kepada mereka. Pria itu melompat ke udara sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, terbang menembus udara malam yang dingin dan berat. Perlahan-lahan, Takumi, Sakura, Ayumi, Tabitha, dan Higina melepas topeng mereka. Hati mereka diisi harapan baru—harapan untuk meneruskan perjalanan dan mengantarkan Takumi ke tempat ia berada. Dan, mungkin, menemukan Raja dan Ratu yang menghilang.

ElementbenderWhere stories live. Discover now