39.2: Dangerous Sanctuary

2.1K 81 5
                                    

"Kau mau ke mana?" tanya Genma, lebih terdengar seperti perempuan tua yang merajuk.

Sakura tidak menoleh. Ia hanya menghela napas. Mereka meyelinap di antara pohon-pohon tua, di atas tanah kering—yang butiran pasir hitamnya menodai sepatu mereka—sambil melirik ke sana ke mari, menghindar dari bahaya yang bisa datang kapan saja. Tanah di bawah kaki mereka bertambah lembek; cairan hitam meresap ke dalam sol sepatu mereka, dan baik Genma maupun Sakura terlalu muak untuk melihatnya. Mereka berjalan mengitari halaman belakang kantor pusat, kemudian berbelok ke kanan—barisan pepohonan menipis begitu mereka berjalan menjauhi pohon raksasa itu.

"Pagar menuju kantor pusat tidak bisa dilewati. Aku ingat—salah satu pengendali angin yang memasangnya, memasang semacam... jarum-jarum beracun di puncak pagar. Para elf tidak memercayai kaum fayre—tahu, 'kan—mereka harus memanjat pagar untuk masuk ke dalam. Entahlah. Kita tidak bisa menunggu sampai sayap kita sembuh. Jadi, kita butuh jalan pintas," Sakura menjelaskan. Sang gadis angin menghirup udara—bau polimer dan samar-samar bau semangka busuk memenuhi hidungnya, sehingga gadis itu mengernyit. "Jalan itu butuh api. Dan tempatnya gelap sekali."

"Hah?" tanya Genma—meskipun "hah" bukan kata tanya. "Memangnya aku obor, apa?" gerutunya, alisnya mengernyit. Sang gadis angin menoleh ke arahnya dan hanya memberikan tatapan putus asa.

Mereka mempercepat langkah. Sekumpulan awan mendung bergerak mendekati Etheres, meniupkan angin ke arah kedua pengendali elemen dan sekumpulan ilalang di sekitar mereka. Sakura mendongak memandangi langit dan bertanya-tanya bagaimana keadaan kelima temannya, terjebak di antara pasukannya sendiri dan memastikan elf-elf itu tidak mengejar dirinya. Masih ada yang mengganjal di hatinya: benarkan beberapa dari mereka hanya boneka?

Sakura tercekat. Ia tidak terlalu memerhatikan jalan ketika kakinya tersandung sebuah pagar pendek yang tertancap di hadapannya. Sakura terhuyung—untunglah Genma segera menangkap tangannya. Mereka mundur beberapa langkah, memandangi pagar pendek itu, dan Sakura tersadar.

"Ini tempatnya." Dengan hati-hati, diinjaknya segundukan tanah hitam di sebelah pagar itu dan, dalam suara gemuruh pelan, tanah tersebut luruh. Sakura refleks melompat ke belakang, dengan bantuan sayap di kakinya—menghindari longsornya tanah. Tanah tersebut merekah di hadapan mereka, memperlihatkan sebuah pintu horizontal berwarna cokelat tua. Pintu itu terbuat dari metal; tidak dikunci. Sebagai gantinya, sebarisan jeruji tembaga melindungi pintu tersebut dari siapapun yang akan membukanya. Di tengah-tengah jeruji, terpasang sebuah tempat lilin beserta sumbunya. Lilin itu padam—itu kuncinya.

Genma memandang Sakura, meminta penjelasan lebih. Namun gadis itu hanya mengangkat bahu.

Dengan ragu-ragu, dipungutnya sebatang ranting kotor yang tercampak di dekat kakinya. Didekatkannya ranting itu ke bibirnya, kemudian ditiupnya ranting kering itu kuat-kuat. Napasnya menimbulkan sekelebat api menari-nari di ujung ranting, ujung api yang panas menggelitik mulutnya. Genma menjauhkan ranting itu, memasangnya di tempat lilin yang terpasang di jeruji tembaga, dan—di luar dugaannya—jeruji itu bergemeretak. Terdengar suara ceklikan metal ketika sebarisan jeruji pelindung pintu tersebut bergeser ke samping, seolah mempersilahkan mereka masuk. Sekarang, pintu itu tidak dilindungi apa-apa.

Sakura mendorong pintu metal itu ke bawah; terbuka sesuai harapannya. Sekumpulan debu beterbangan keluar dari jalan masuk yang kini terbuka, membuat gadis itu terbatuk-batuk. Sakura mengambil ancang-ancang dan melompat masuk ke dalam terowongan di balik pintu. Genma mengikutinya. Sepatunya menimbulkan suara gedebuk keras di tengah kesunyian terowongan—beberapa tikus terlonjak dan kabur sambil mencicit-cicit.

Gelap total.

Terowongan ini kotor, berlumpur, dan dinding-dindingnya dicat sewarna malam. Sakura menyentuhkan jarinya di permukaan terowongan. Basah. Tangannya yang lain menggenggam bahu Genma erat-erat sementara mereka melangkahkan kaki semakin jauh ke dalam terowongan, hanya mengandalkan dinding terowongan di kanan-kiri mereka. Genma meraba sebuah obor padam di dinding; diambilnya obor itu dan ditiupnya. Obor itu menyala.

Sakura menghela napas lega. Cahaya obor yang berwarna putih temaram menerangi terowongan; sebuah lorong panjang tak terurus membentang di hadapan mereka. Lantainya tergenang cairan hitam. Di sana-sini, terdapat sampah-sampah mengapung—gulungan kertas, kaleng-kaleng tak terpakai, sekarung ikan busuk. Tempat ini lebih terlihat seperti saluran pembuangan daripada jalan pintas. Sakura memicingkan mata. Di dinding, terpasang sederetan lampu yang seharusnya menerangi terowongan. Siapa yang memutus jalur listriknya?

"Kenapa apinya putih?" tanya Sakura tiba-tiba. Dipandangnya obor di tangan Genma; terpesona akan api yang menyala di atasnya.

"Karena kalau apinya merah," jawab Genma, mata hijaunya menerawang. "Suasana hatiku sedang buruk. Dan kalau biru, yah—itu berarti aku sedang sangat baik, itu saja."

Genma teringat Pyrrestia; bagaimana api-api suci berwarna biru menerangi setiap sudut teritori tersebut dengan elegannya. Tempat itu diterangi cahaya biru, nyaris ajaib. Keajaiban itu berubah setelah sang pangeran menghilang. Warna biru ajaib itu berangsur-angsur berubah. Cahayanya memucat; menjadi putih—kemudian berubah emas, dan akhirnya merah. Semua di luar kehendaknya. Para falcon bertambah panik ketika beberapa obor menyalakan api hitam. Saat itu Genma sadar sesuatu harus diubah, dan mereka tidak bisa mengandalkan Raja dan Ratu yang sekarat karena kesedihan.

"Maaf," kata Sakura pelan. Rasa bersalah mendominasi nada suaranya. "Yah, maaf kalau kau tersinggung." Dilihatnya Genma menggeleng.

Terowongan panjang tersebut berakhir. Sebuah pintu berlumut terpasang di ujung lorong. Tidak dikunci, tetapi lumut tebal yang menjamur di gagang pintunya membuat Sakura ragu-ragu sebelum membukanya. Cahaya dari ruangan di balik pintu menyiram wajah mereka sesaat setalah pintu dibuka. Sakura dan Genma menyipitkan mata, menyesuaikan penglihatan mereka setelah beberapa menit hanya diterangi cahaya obor. Genma tidak bisa menaruh obornya di mana-mana, dan ia tidak mungkin membuang obor begitu saja di tanah yang digenangi cairan hitam, jadi ia tetap membawa obornya. Sakura membuka pintu kayu tersebut lebih lebar.

***

Bau alkohol menyeruak keluar dari leher salah seorang elf boneka yang terpenggal.

Takumi refleks menutup hidungnya, genggamannya terhadap busur biola Ayumi diketatkan. Pernahkah ia mencium bau ini? Ya, sekali. Sewaktu Takumi minum (dan langsung memuntahkan) bir yang ditawarkan preman pinggir jalanan. Tidak—bau yang ini jauh lebih busuk. Takumi mundur selangkah, nyaris tersandung mayat seorang elf boneka, kemudian mengalirkan perhatiannya pada para elf yang masih tersisa.

"Pulang," katanya, tidak tahu harus bicara apa. Para elf masih bersikap siaga. Tangan-tangan mereka menggenggam pedang-pedang terhunus, tombak, dan panah. Mereka elf asli, dan Takumi harus hati-hati agar tidak melukai mereka. Demi sang pengendali angin.

Rira, Ayumi, Tabitha, dan Higina berdiri siaga di belakangnya. Para elf memiliki pasukan tersembunyi di mana-mana—dan meladeni serangan seorang elf hanya membuktikan kecerobohan mereka. Tidak ada jalan lain—Sakura dan Genma harus sampai di kantor pusat dengan selamat.

"Pengganggu Etheres—" kata sang pemimpin pasukan—elf bermata satu yang entah siapa namanya. "—harus digusah keluar. Demi Synthetic Elf." Suaranya terdengar loyal dan putus asa pada saat bersamaan. Elf itu mengangkat pedangnya lagi, tetapi Takumi langsung menggeleng. Sang pemimpin pasukan menurunkan pedangnya.

"Kalian tuli, hah? Dia bukan pemimpin kalian!" gertak Takumi. Dia belum pernah melihat si synthetic-synthetic yang dielu-elukan para elf ini, tetapi kalau Synthetic Elf bisa menyihir seisi Etheres menjadi pasukan boneka, orang itu pasti sinting. "Pulang, atau kalian berikutnya."

Para elf bergerak mundur. Saat itulah Takumi menatap mayat elf boneka yang nyaris diinjaknya itu sekali lagi. Tubuhnya mengilap, terbuat dari plastik khusus. Mulut elf itu menganga lebar, memperlihatkan rongga kosong. Rahangnya hanya berupa rahang boneka. Bahkan  jari-jarinya tersusun dari sendi bola. Serabut-serabut pembuluh darah mengintip keluar dari balik pinggangnya yang miring, meneteskan darah buatan. Pembuluh darah itu mirip kabel. Takumi mengucek mata. Mayat elf itu terlihat nyaris seperti elf asli beberapa menit lalu—sekarang hanya berupa boneka rongsokan di matanya. Sulit dipercaya.

Dikembalikannya biola putih beserta busurnya kepada Ayumi. Takumi merebut pisaunya kembali dan mengarahkannya ke sang pemimpin pasukan. Ia berkata pelan.

"Etheres kalian tidak akan kenapa-kenapa, karena kami bukan pengganggu—hanya ingin selamat."

ElementbenderWhere stories live. Discover now