51: Hide

1.8K 76 0
                                    

Takumi baru membuka matanya setelah kedua falcon itu melepaskan cengkeraman mereka dan mencampakkannya di atas lantai berbatu. Ia jatuh dalam posisi telungkup. Sebelah tangannya tertekuk ke dalam, pipi kirinya memar akibat hantaman lantai yang keras, dan untuk sesaat Takumi tidak bisa merasakan kaki-kakinya. Seluruh tubuhnya nyeri. Setelah beberapa detik, ia baru bisa merasakan sakit di kaki dan punggungnya. Seseorang—atau beberapa orang—baru saja menendangnya.

“Bangun, hei,” gerutu seorang falcon. Pria itu menendang punggung Takumi lebih keras. “Jangan buat kami malu.”

Takumi menggeliat. Bahkan untuk menegakkan punggung saja ia tidak bisa.

“Dia tidak bersayap, Wigstan,” komentar seorang falcon lain. “Baru pertama kali aku melihat falcon tanpa sayap. Kenapa bisa?”

“Palingan karena kecelakaan,” jawab Wigstan sambil lalu. Dia jelas-jelas tidak berpikir bahwa orang yang baru saja ditendangnya itu bukan orang yang ia cari, dan kalaupun ia menyadarinya, ia sudah terlanjur membawa Takumi ke sini. “Panggil Tuan Hide, cepat.”

Takumi masih terbaring di lantai batu ketika Wigstan melangkahi tubuhnya, berjalan mendekati pintu gerbang, dan memukul-mukul pengetuk pintu keras-keras. Sekali, dua kali, tiga kali. Setelah itu, mereka menunggu lama. Tuan Hide belum datang-datang juga.

Dengan mata setengah terpejam, Takumi berusaha mengenali lingkungan di sekitarnya. Ia berada di depan gerbang sebuah rumah besar. Lantai di bawahnya terdiri dari semen dan kerikil-kerikil halus yang menyakiti kulitnya. Ia tidak bisa melihat lebih banyak karena para falcon berkerumun di sekelilingnya, saling merapat dan tidak memberinya sedikit pun celah untuk kabur. Perlahan-lahan, Takumi menekankan tangannya ke lantai batu dan berusaha bangkit.

Apa ia masih ada di sekitar pasar itu? Tidak. Tempat ini tidak tercium seperti ikan asin atau bau-bauan aneh lainnya. Samar-samar aroma roti bakar justru tertangkap indra penciumannya, asalnya dari rumah besar itu. Takumi menelan ludah, meraba setitik liur di sudut bibirnya dengan wajah panas. Ia kelaparan. Beri liar di kantung pakaiannya berjatuhan sewaktu ia berlari dan tidak bersisa sebutir pun. Ia butuh sesuatu untuk memulihkan tenaganya, sesuatu yang mengenyangkan—bahkan meskipun hanya seteguk air.

“Bangun, Nak,” suara seseorang dari belakangnya—yang kedengarannya bukan suara Wigstan—mengagetkannya. Seseorang itu bahkan mengulurkan tangannya dan membantu Takumi berdiri. “Tuan Hide akan segera tiba. Maafkan kelancangan mereka, Nak, tapi kau pencuri cilik yang selalu lolos dari pengejaran mereka dan kini berhasil ditangkap. Bayangkan betapa bangganya mereka,” bisiknya dengan nada prihatin.

Takumi berhasil berdiri di atas kedua kakinya dengan susah payah. Para falcon, seperti dugaannya, bergerak merapatkan lingkaran di sekeliling Takumi dan melemparkan tatapan tajam kepadanya. Membentuk lingkaran di sekeliling penjahat yang tertangkap dan menahannya agar tidak kabur adalah semacam tradisi di Pyrrestia. Mereka menahan diri untuk tidak menghajar si penjahat; melainkan meminta seseorang yang lebih berwenang untuk mengurusnya. Dan karena Takumi tidak punya sayap, usaha yang dilakukan para falcon terkesan terlalu berlebihan.

Kerumunan kecil itu mendadak senyap begitu mendengar suara pintu mansion terbuka dan dua sosok bertudung merah melangkah keluar. Mula-mula Takumi tidak menyadarinya, tetapi sosok dua orang bertudung itu terlihat semakin jelas begitu mendekati pintu gerbang. Langkah-langkah sepatu bot kayu mereka terdengar—tuk, tuk, tuk. Salah satu dari orang bertudung itu mengintip dari balik jeruji gerbang dan bertanya pelan. “Ada apa?” Suaranya mengagetkan semua yang hadir. Suara perempuan dewasa.

Lingkaran falcon tersebut terbuka, memperlihatkan Takumi yang kelelahan dan berantakan di tengah-tengahnya.

“Kami membawa si pencuri cilik, si anak liar,” kata Wigstan percaya diri. Takumi melirik pria itu dengan kesal. Pria itu terlihat sama seperti pedagang biasa yang dilihatnya di sepanjang jalan yang dilaluinya—berpakaian kumal dan bercelemek kotor—tetapi pembawaannya sombong dan kasar, dan kelihatannya tidak terlalu ramah. Wajahnya brewokan dengan sepasang alis tebal yang nyaris menyatu di atas kedua matanya. Tampang yang mengingatkan Takumi akan preman-preman yang pernah menawarinya bir di pinggir jalan.

ElementbenderWhere stories live. Discover now