81: Cookie Clairvoyance

719 47 5
                                    

Pagi yang "tenang" di halaman depan menara pusat.

"Eh... apa-apaan ini?" tanya Takumi pelan, sebelah tangannya masih memegang poster sayembara itu. Dibacanya tulisan "DIINGINKAN SEGERA HIDUP-HIDUPKECUALI NOMOR 7" berulang-ulang. "Ini... benar-benar wajahku, 'kan?"

Seraut wajah dingin Takumi menatapnya balik dari poster itu. Dia tidak terlihat ramah.

Sakura segera merebut kertas tersebut, suaranya bergetar karena ngeri. "Yah, wajahmu. Memang." Kemudian tatapannya beralih pada teman-temannya yang lain, berpindah ke poster itu lagi, dan akhirnya tertuju pada Takumi. "Kalau kami berenam yang jadi buronan, itu... wajar. Tapi, kau?"

Giliran Ayumi yang menyambar poster tersebut. Namun alih-alih membacanya, gadis itu justru meremas-remasnya jadi bola, kemudian memasukkannya ke saku pakaian. "Ingat kata Grey Froth waktu itu? Yang katanya, dia... mengenal Pangeran tapi tidak ingin melaporkannya pada Denki?"

"Itu berarti kau sudah tidak aman lagi," simpul Genma cepat. Didorongnya bahu Takumi, menyuruhnya agar terus berenang. "Mungkin kita harus sembunyi dulu sebelum ke Muiridel. Bagaimana?"

Yang lain setuju. Lagipula Ayumi telah membawa mereka ke menara pusat; entah apa yang bisa dilakukan di tempat ini, berhubung Grey Froth juga tidak ada di sini lagi. Ayumi berenang mendahului mereka. Keenam temannya mengikuti, bergerak melewati rumpunan koral dan rumput-rumput laut kusut yang tumbuh tidak beraturan di halaman depan. Air di sini jauh lebih jernih dan biru dibanding air di pertambangan tadi.

Namun, bahkan ketika mereka telah sampai di pintu depan, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan dari dalam menara. Segalanya serba sunyi. Ayumi mengetuk pintu berkali-kali, menunggu dengan sabar—tetapi pelayan yang diharapkannya akan membuka pintu tidak kunjung datang. Aneh. Akhirnya, didorongnya pintu itu perlahan. Tidak dikunci.

Ayumi menghela napas berulang kali sebelum memberanikan dirinya untuk—

"Cepat, cepat, cepat, cepat!"

"Kenapa harus patroli sepagi ini, sih—"

"Pasang mata yang benar! Jangan ngelantur! Heh, kamu—bicara apa tadi?"

Ada yang datang.

Ketujuh remaja tersebut refleks menoleh. Tidak jauh dari mereka, hanya beberapa jengkal dari gerbang depan, sepasukan duyung berseragam penjaga berenang melintas—suara kibasan ekor yang bersamaan membuat lautan seolah bergemuruh ketika mereka tiba. Pasukan itu berhenti sebentar di depan gerbang menara pusat. Seorang duyung yang berada di paling depan pasukan—kelihatannya berperan sebagai ketua pasukan—terlihat membelakangi menara, menatap jauh ke perairan tenggara Lunaver. Masih belum menyadari ketujuh buronan yang hanya beberapa meter dari tempatnya berada. Belum.

Ayumi membuka pintu depan menara itu cepat-cepat, tetapi sekaligus tanpa suara—yakin bahwa setelah pembaruan status mereka sebagai buronan tadi, lebih baik menghindar daripada mati sia-sia. Didorongnya teman-temannya memasuki bangunan satu persatu. Si hiu betina ia tinggal di luar, tetapi hewan itu juga mengerti dan langsung berenang ke bagian belakang menara, bersembunyi. Gadis itu sendiri masuk, dengan mata terus terpaku pada pasukan di depan gerbang—untuk jaga-jaga. Jantungnya memburu.

"Eh, tunggu, Bos.... Bukannya itu...."

"Apa?"

"Rasanya tadi aku lihat ada orang di depan bangunan—"

"Mana? ... Sialan, kau, Hoger. Tidak ada siapa-siapa!"

"Tapi, tadi...."

Ayumi menghela napas lega. Huh, untung saja—

ElementbenderWhere stories live. Discover now