36.1: Mindwasher

2.2K 88 5
                                    

Malam itu, Sakura tidak bisa tidur. Gadis itu terus bergerak-gerak di kasurnya, membolak-balikkan badan, dan menurunkan selimutnya sampai ke pinggang. Selimut itu hangat dan tebal—sekali lagi kebaikan Maurice untuk memberikan selimutnya dan selimut cucu-cucunya—tetapi Sakura masih gelisah. Saat gadis itu mulai berkeringat, ia langsung melompat dari tempat tidur.

Semalaman, Ayumi tidur satu kasur dengannya. Kelopak mata sang gadis ilusi yang biasanya cerah kini tampak sayu. Di tempat tidur satunya, ada Higina dan Tabitha—mereka tidak mendengkur, tetapi sudah terlalu pulas untuk dibangunkan. Tabitha membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam selimut hingga hanya kepalanya yang tersisa, sementara Higina hanya menarik selimut itu sampai ke perut. Sakura nyengir. Dasar Nyonya-Takut-Kedinginan.

Di kasur sebelahnya, Genma dan Takumi sudah tertidur pulas. Selimut yang sedikit lebih tipis nyaris menutupi seluruh wajah Genma, meskipun Takumi juga menariknya ke arah tubuhnya sendiri. Mungkinkah sang pemuda api dan sang pangeran agak egois? Meskipun sang pangeran keras kepala, dia mau mengorbankan kehidupannya di Fukui untuk menemui... dunianya sendiri. Sakura yakin, manusialah yang membuat sang pangeran hilang ingatan dan memotong sayapnya di suatu tempat bernama rumah sakit. Dasar makhluk-makhluk modern yang kejam.

Oke, jadi Genma yang egois. Sakura meringis. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa dia seegois—aah, terserahlah!

Ia tidak melihat Rira di kasur manapun, tetapi di sanalah dia—tertidur di atas sebuah sofa lembab dan gatal. Metsuki bergelung di pangkuannya, sama pulasnya. Sakura menghela napas. Tidur di sofa. Tidak ada bedanya dengan di apartemen itu. Pasti pegal.

Mereka sudah mengganti baju dengan pakaian yang disediakan Maurice dan Salvatrix. Pakaian khas elf. Warna hijau daun, cokelat kayu, dan emas dari biji-bijian yang menghiasi pakaian mereka bisa membantu menyelinap di antara kawanan elf, tetapi tidak bisa digunakan untuk menyamar. Keberuntungan yang sempurna. Sakura memang benci menyamar.

Disambarnya cambuk misterius tersebut dari atas meja. Sang gadis angin membuka pintu loteng dan perlahan-lahan menuruni tangga ke lantai dasar, merasakan angin hangat berbau ramuan menerpa wajahnya.

***

Sakura terkesiap melihat Salvatrix masih terjaga di ranjangnya, sementara Eve dan Zoe tidur berpelukan di sebelahnya. Di kasur satunya, terdapat Maurice—sedang mendengkur keras—dan Amabilis yang langsung terbangun begitu mendengar suara batuk Sakura. Salvatrix ikut menoleh.

“A-ada apa, Milady?” tanya Salvatrix sopan. Suaranya bergetar.

Sakura tertegun. Ia hanya ingin menyelinap keluar sebentar, tetapi ragu. Salvatrix dan Amabilis pasti bertanya macam-macam.

“Susah tidur,” jawab Sakura singkat. Salvatrix menghela napas lega.

“Kami juga, Milady. Suara-suara itu—dengar, ‘kan? Selalu dinyanyikan setiap malam. Hanya anak-anak dan lansia yang tidak terganggu,” komentar Salvatrix. Matanya beralih pada Eve dan Zoe, kemudian Maurice. Amabilis bergelung di samping kakeknya senyaman mungkin, dan Sakura langsung merasa bersalah karena anak itu harus merelakan selimut tebalnya. Udara malam yang dingin pasti membuat tidurnya tidak nyenyak.

“Suara apa?” tanya Sakura setengah berbisik. Lebih baik membiarkan Maurice dan dua cucu terkecilnya terlelap.

Salvatrix menjawab. “Musik aneh. Mirip biola... dan kecapi. Asalnya dari arah timur laut—dari kota bawah laut, mungkin. Dengar,” Si gadis jangkung terdiam sesaat, matanya terpejam. Beberapa detik kemudian, Salvatrix membuka matanya kembali. “Sekarang suaranya bertambah; ada paduan suara laki-laki dan perempuan. Duh! Amabil,” ia beralih pada si anak laki-laki. “Di mana sih penyumbat botol yang Kakek cari kemarinnya kemarin itu? Katanya ada di sakumu.”

“Jatuh di tengah jalan. Cari sendiri,” jawab Amabilis cuek. “Masih untung kalau hanya berakhir di tong sampah.”

“Iih!” gerutu Salvatrix. Sayapnya yang terlipat-lipat di bawah punggungnya kini bergetar marah. “Itu penyumpal telingaku, tahu.”

Sakura tidak sempat menyela, atau mengoreksi perkataan Salvatrix bahwa kemarinnya kemarin itu lusa, ketika sebuah petir pecah dan mengagetkan mereka. Maurice mengerutkan dahi, kemudian tertidur kembali. Eve dan Zoe mengigau pelan. Salvatrix berdeham.

“Anda dengar... musiknya?” tanyanya. Sakura menggeleng. Gadis itu terlihat kecewa. “Oh. Keistimewaan pengendali elemen, ya.”

Salvatrix tidak melakukan apa-apa selain menutup telinganya sambil meringis. Sakura mengantuk lagi, sehingga ia terpaksa naik ke loteng dan kembali ke kasurnya setelah minta maaf kepada si gadis jangkung. Masih banyak pertanyaan yang menggantung di otaknya: mengapa beberapa elf yang mereka temui tadi siang adalah boneka bersendi bola dan mengapa lutut mereka sekeras batu—karena mereka hanya boneka? pikir Sakura skeptis. Gadis itu menggeleng-geleng. Beberapa dari mereka masih elf asli dan beberapa lagi hanya boneka—aah, terserahlah! Nanti juga ketahuan.

Ketika  ia menyusup kembali ke bawah selimut, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan—suara sama yang ia dengar di halaman rumah Clair. Sakura tidak menghiraukannya dan berusaha pergi ke alam mimpi. Musik biola, boneka bersendi bola, lautan cat minyak, pentas boneka, Katerina, Clair, dan Synthetic Elf tertinggal jauh di belakang.

Ketika malam berakhir dan sinar matahari mengintip dari balik atap yang berlubang-lubang, Sakura baru bisa bermimpi. Sayangnya, mimpinya tidak indah.

***

Dalam mimpi Sakura, ada seorang pria yang berdiri di hadapan sebuah rak buku. Bukan pria biasa, dan bukan rak buku biasa.

Rak buku tersebut tinggi menjulang. Puncaknya hampir menyentuh langit-langit, dipenuhi berbagai macam buku teori yang semuanya berlabel matematika. Penjelasan mendetail tentang aljabar, sistem koordinat... membosankan. Beberapa memang menarik, sisanya...

“... sampah,” komentar sang pria. Dia terbang ke deretan buku tertinggi dan mengambil salah satunya. Buku tentang keajaiban matematika. Dibacanya sedikit, dan langsung membuangnya—buku setebal 300 halaman tersebut jatuh ke lantai dalam suara gedebuk keras. Ia melayang ke rak buku lain.

Pria itu berumur 210 tahun—atau firasat memberitahu Sakura bahwa umurnya 210 tahun—dan kini tinggal di dalam kastil yang kebanyakan berisi buku. Banyak buku dan lebih banyak buku di setiap ruangan—kecuali satu ruangan di sayap timur, karena ruangan itu terkunci dan kuncinya entah di mana, jadi dia tidak bisa memastikan. Pria itu tidak pernah menangis, tetapi wajahnya yang kaku selalu terlihat sedih. Tuksedonya robek-robek dan kemeja di dalamnya hanya berupa potongan kain yang masih menempel di kulit. Ada bekas cakaran di sana—cakaran kuku yang ramping dan seukuran manusia—bekas cakarannya sendiri. Pria itu memakai celana merah bergaris-garis, tetapi warnanya yang mencolok justru menambah kelam suasana.

“Roman picisan,” gerutunya.

Diraupnya buku-buku dari rak teratas sebanyak yang ia bisa, mengernyit ke arahnya, kemudian membuang buku-buku itu ke lantai. Pria itu meraung frustrasi. Gigi-gigi serigala mencelat keluar dari rahangnya, dan di telinga Sakura—yang tiba-tiba sadar bahwa ia bermimpi—musik lembut memabukkan berdenging-denging.

Pria itu berteriak nyaring. “Persetan dia! Persetan mereka! Siapapun—tolong—hentikan mereka! Hentikan mereka, Tolol!”

Sakura mulai berkeringat; ia harus keluar dari sini—atau bangun sekarang juga. Di mana teman-temannya? Gadis itu ketakutan meskipun posisinya di mimpi buruk ini hanya sebagai penonton dan pria gila itu aktornya—di mana teman-temannya? Di mana? Tiba-tiba, pria itu menjatuhkan rak buku yang ada di hadapannya dan tangisnya meledak—sebuah akuarium kaca melekat di sisi belakang rak, menyimpan sesosok tubuh anak laki-laki pucat, berkimono merah, bersayap gergaji, memiliki tato simbol di...

Mata anak itu membelalak terbuka. Sakura terbangun.

ElementbenderWhere stories live. Discover now